"Kalo kita suka, ya kejar sampai dapat.." katanya saat aku melontarkan pertanyaan yang sama. Aku sudah pernah bertanya tentang 'kenapa dia bisa bersamaku sampai saat ini?' berpuluh-puluh kali. Dan dia selalu memberiku jawaban yang sam. Tapi entah kenapa, saat ada hal yang mengganggu kepalaku, aku selalu bertanya soal itu. Refleks. Mungkin karena aku berusaha untuk melupakan hal-hal tidak nyata yang merusak jalan pikiranku dengan mendengar jawabannya itu.
"Nah, waktu sama Atha, kok bisa nggak sampai dapet?" dia menghela napas dan menatapku.
"Dia udah bikin aku kecewa," sahutnya tipis.
"Bukannya aku juga pernah, malah sering bikin kamu kecewa?"
"Dia nolak aku diem-diem.."
"Bukannya aku.." aku diam, kugantung kalimatku.
"Kamu bukan nolak. Tapi minta aku nunggu, kan?" Potongnya cepat. Aku kembali melamun. Seketika aku sadar bahwa percakapan ini memang tidak bermakna, tapi cukup untuk membangunkan rasa ketidaksukaannya. Dia berulangkali menjelaskan padaku bahwa dia tidak suka aku membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu. Itu terdengar seolah aku meragukan keseriusannya. Dan aku malah terus melakukan itu. Berulangkali. Seharusnya dia marah, tapi yang dilakukannya malah tersenyum, menjawab pertanyaanku dengan baik-baik. Bukannya tenang, aku jadi merasa bersalah akhirnya. Perasaan bersalah itu bercampur menjadi satu dengan pikiran-pikiran lain yang melayang dan membentuk sebuah lukisan abstrak yang tidak dapat kujelaskan.
"Kok ngelamun?"
Aku tersentak. Seketika aku bangun dari lamunanku dan balas menatapnya sambil tersenyum.
"Ada apa?"
"Nggak ada," sahutku, padahal aku tahu aku tidak jujur, dan pandangan matanya bisa menangkap ada kebohongan yang kututurkan dalam ucapku tadi. Perasaan bersalah lalu mendera, memukul-mukul perasaanku dengan sebuah godam tak kasat mata.
***
Hal itu terus mempermainkan pikiranku. Aku bertemu dengan sosok yang dulu pernah singgah dihatiku saat bersamanya. Dia tersenyum dan menyapaku! Tersenyum padaku. Menyapaku. Ini nyata. Tuhan, kenapa perasaan ini menjalar lagi ke hatiku? Cukup. Ini memang bukan
yang pertama kalinya, dan seharusnya dia-ku (yang sekarang) berhak untuk tidak memberiku
kesempatan (lagi), setelah dia mengetahui cerita itu. Tadi dia hanya tidak tahu kalau aku bertemu lagi dengan masa laluku. Jika aku katakan, aku tahu dia akan berbicara begitu lembut padaku. Hal itu akan semakin membuatku merasa sangat bersalah. Maka aku memilih diam dan berkata tidak ada apa-apa. Tapi kenapa aku malah benar-benar semakin merasa bersalah sekarang? Pertemuan singkat tadi tak pelak membuat waktuku tersita oleh sebuah perasaan yang entah apa. Aku diam, kutarik nafas dalam-dalam sebelum aku memejamkan mata dan pulas. I'm OK. Aku akan baik-baik saja, pikirku. Menenangkan diri dengan tidur sepertinya akan jauh lebih baik. Lagipula semalam aku tidur terlalu larut. Kantuknya masih menyisa sampai siang ini.
Bruno Mars berteriak nyaring saat
mataku masih terlalu berat untuk terbuka. Aku mengerutkan dahi saat deretan nomor tidak kukenal tertera di display HP-ku. Siapa? Mungkinkah...
"Halo," sapaku hati-hati.
"Lea, apa kabar?" suara itu! Aku langsung membulatkan mata. Dulu aku dan masa laluku itu tak sempat saling bicara, karena kami tidak yakin bahwa kami memiliki perasaan yang sama. Tapi setelah aku memiliki dia-ku (yang sekarang) dan dia memiliki oranglain, barulah kami sadar... bahwa kedekatan kami dulu karena kami.. ah, sudahlah!
"Aku.. baik. Kamu gimana? Apa kabar, cewek barumu?" tanyaku. Perasaan bersalah semakin menggantung. Seharusnya aku tidak mengangkatnya tadi. Seharusnya aku tidak bicara dengannya karena ini hanya akan membawaku pada kenangan-kenangan indah yang terpenggal tanpa akhir dengannya, dan itu akan membuatku larut dalam hal hal seharusnya sudah kulupakan. Ah, mungkin ini alasan kenapa dia-ku yang sekarang tidak suka aku terus membahas masa lalunya. Dia tidak ingin menyakitiku. Ah, tidak ingin menyakitiku? Astaga!
"Haa, sekarang udah nggak. Kamu sendiri?"
"Baik-baik aja," kataku datar.
"Ah, padahal tadinya aku.. aku ingin selesaikan yang belum sempat kita selesaikan beberapa waktu lalu," dadaku bergetar hebat. Tanganku gemetaran. Dulu aku memang benar-benar menyukainya. Sangat. Dan mungkin masih sampai saat ini. Buktinya aku masih saja dag-dig-dug berbicara dengannya padahal kita tidak saling bertatap muka. Kalau saja aku masih sendiri saat ini, mungkin aku bisa dengan mudah mengatakan "I do" untuk menjawab apa yang baru saja dikatakannya.
"Kenapa selesai ceritamu yang sekarang?" Ops! Aku segera menutup mulut. Salah ucap. Aku khawatir percakapan ini akan semakin memanjang dan akhirnya aku masuk ke dalam jerat cerita lamaku.
"Karena selama dengannya, yang aku pikirin cuma kamu." Jleb! Sedalam sumur. Aku mendesah. Tiba-tiba aku merasa gamang. Luar biasa gamang. Ini pertama kalinya kami bertemu kembali setelah setahun penuh kami tersekat jarak, waktu dan ruang. Tanpa komunikasi. Tapi ternyata dia masih menyimpan nomorku. Kenapa harus sekarang menghubungiku lagi?
Sejam berlalu. Dia bercerita banyak padaku dan aku larut mendengarkan. Hingga sampai pada bunyi biip, SMS masuk. Aku jadi kaget.
"Km kmna? Aku telp. daritadi sibuk. Lg keluar? Baik2 aja, kan? Tumben gak ngabarin.."
Aku tertegun membacanya. Ya Tuhaaan, kenapa aku bisa sampai selupa ini? Bayangannya kembali bermain dikepalaku. Dia-ku yang setahun terakhir ini mengisi cerita yang sempat terpenggal. Sosok yang menurutku nyaris mendekati sempurna. Hap! Dia yang menjaga perasaanku. Dia.. dia yang... hari ini kembali aku buat tidak suka dengan perkataanku, dan yang nyaris aku buat kecewa jika dia tahu apa sebenarnya yang kurasaka hari ini.
Klik!
Aku mematikan telepon. Tak peduli pada dia lama-ku yang tiba-tiba datang. Hari ini. Hanya hari ini setelah sekian ratus hari. Tidak seperti dia-ku yang sekarang. Yang selalu ada, bahkan ketika aku tidak butuh.
Aku menekan nomor telepon yang sudah kuhapal diluar kepala.
"I LOVE YOU.." kataku saat dia baru saja berkata, "Halo.. kamu ke mana? Gak ada apa-apa, kan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar