
“Kamu
baik-baik aja, Nya?” tanyaku. Kuarahkan mataku kepada Vanya yang masih
sesenggukan sambil memeluk lututnya. Airmata jatuh satu-satu, membuat aliran
kecil di kedua pipinya yang tembam dan putih bersih. Vanya menengadahkan kepala
ke atas sambil mengusap airmata dengan telapak tangannya. Setelah itu ia
menarik napas panjang. Tangannya terulur ke arah sebuah tanaman dan memelintir
ujung daun. Begitulah Vanya. Vanya dan keadaan hatinya yang tidak baik.
“Lagi-lagi,
cewek lagi!” gerutu Vanya. Kali ini ia meremas ujung daun sampai beberapa helai
daun dari tanaman itu berguguran tak berbentuk.
“Ha,
kali ini, cewek yang mana lagi?” pertanyaanku terhenti ketika dari arah pintu
muncul sosok seorang cowok dengan T-shirt hijau tosca-nya. Jeans hitam dan
kacamata kotak menambah cool penampilannya. Tapi apa yang bisa dilihat dari
dia, sih, selain wajah tampan dan hartanya? Hatinya NOL besar, aku tahu itu.
Aku yang jadi saksi atas perjalanan cintanya sebelum dengan Vanya! Sebelum aku
mendarat dirumah ini dan jadi teman setia gadis manis ini.
“Maafin
aku sayang..” Satya memeluk Vanya dari belakang. Mau muntah aku melihatnya. Ia
mengecup puncak kepala Vanya yang sedang memejamkan mata. Biar kutebak, pasti
sebentar lagi Vanya akan mengatakan, “gak ada yang perlu di maafin.”
Kulihat
Vanya masih memejamkan matanya. Ia seolah menikmati kecupan ‘palsu’ yang
didaratkan oleh Satya, sebelum akhirnya menoleh dan bergumam.
“Iya,
aku maafin kamu. Tapi jangan ulang lagi.” Satya tersenyum. Mereka berdua
berpelukan sementara aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Antara tidak suka dan
aneh melihat Vanya yang berulangkali jatuh dikesalahan yang sama. Hey, kamu kan
bukan keledai, Nya!
Oke,
biar aku bercerita.
Sebelum
aku menemani Vanya di rumahnya yang mungil tapi nyaman dan bersih ini, aku
pernah berlabuh di berbagai tempat. Rumah gadis lain yang sama manisnya seperti
Vanya. Tambahan : juga sama-sama bodoh! Ups, maaf aku harus bilang begitu. Iya,
karena kalau aku hitung-hitung, Vanya tidak lagi masuk ke dalam daftar 10 gadis
yang pernah dikencani Satya. Satya sudah memiliki... ah, aku lupa berapa puluh
gadis yang pernah dicuri hatinya oleh Satya. Aku memang selalu berpindah-pindah
tempat. Tapi tak pernah lebih dari 2 bulan. Setelah lewat dari masa itu, para
gadis selalu sedia mengembalikan aku pada Satya. Lalu Satya akan ‘menitipkanku’
pada gadis lain yang baru. Dan begitu seterusnya. Seperti lingkaran setan yang
tidak pernah berakhir.
Tapi
aku sudah tiga bulan berada di rumah ini, dan entah kenapa aku merasa nyaman di
sini. Tidak seperti gadis-gadis lain yang hanya mendekatiku ketika mereka ingat
padaku, Vanya bahkan selalu menceritakan semuanya padaku. Aku merasa aku
berguna disini, setidaknya untuk mendengarkan cerita.
“Jadi,
siapa cewek itu?” nah, Vanya sudah tidak sesenggukan lagi. Mata beningnya mulai
memerah dan ia mengangkat wajah. Menatap Satya dengan tatapan menantang yang
meneduhkan. *ha?
“Dia
teman SMA-ku. Oke, dulu aku memang pernah jalan sama dia, tapi gak lama. Yang
tadi itu kami kebetulan ketemu dan yah... reunian!” Vanya agak menghela nafas
panjang. Entah itu alasan ke berapa ratus ribu yang ia lontarkan.
Sebelum-sebelumnya ia juga mengatakan hal yang sama kalau kepergok jalan dengan
gadis lain. Tapi, kalau biasanya gadis-gadis itu langsung ambil tindakan, Vanya
tidak. Ia memilih percaya pada Satya dan berpura-pura tidak menyimpan perasaan
apapun setelah Satya meminta maaf padanya. Tapi, hey! Aku tahu Vanya. Aku
benar-benar jadi tempat ia menumpahkan semuanya. Vanya hanya terlalu lemah
dihadapan Satya. Dia benar-benar menyukai Satya. Diantara semua gadis, Vanya lah yang paling
lemah dan paling sabar. Juga yang paling mampu bertahan lebih dari dua bulan.
Ini keajaiban untukku yang biasanya mendiami sebuah rumah tak kurang dari 2
bulan. Padahal ia bisa saja memutuskan cowok itu dan menerima cowok-cowok yang
banyak mendekatinya, tapi ia lebih memilih bertahan sampai ia benar-benar tidak
bisa, mungkin. Sebenarnya aku ingin memberi tahu Vanya bahwa Satya bukan tipe
cowok yang patut dipertahankan. Buktinya aku! Kalo Satya memang cowok setia,
aku pasti masih akan menetap disatu rumah saja. Betul kan? Memang menyebalkan
rasanya dijadikan ‘piala bergilir’ seperti aku ini. Untungnya, tubuhku tidak
rusak. Aku masih terlihat cute saat Satya menjemput dan mengantarku ke beberapa
gadis. Tentu saja! Mereka tidak pernah menyentuhku seperti Vanya.
Aku
sudah terlampau sering memberitahu Vanya tentang ini, tapi Vanya tidak
mengerti. Dan sepertinya memang tak akan pernah mengerti.
***
Seminggu
berlalu.
Sore
ini Vanya pulang dengan wajah paling manisnya dan langsung menghampiriku.
Menciumku dengan kecupan hangat yang membuatku semakin betah berada di sini.
Ah, mudah-mudahan dengan gadis semanis Vanya, Satya bisa berubah dan aku bisa
tetap berada di sini. Aku lelah harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain
terus.
“Semoga
semuanya gak bener ya Mi. Hari ini gue minta tolong sama Safti. Lo tau, kan?
Gue kemarenan baru denger kabar gak enak lagi dan kalo dipikir-pikir, lama-lama
gue capek juga dimainin terus sama tu cowok, walaupun gue tau gue suka banget
sama dia.” katanya sambil memelukku. Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi aku
merasa nyaman. Saking nyamannya, aku hanya mampu tersenyum diam-diam sampai
beberapa menit kemudian, bunyi ‘biip.. biip’ terdengar. Vanya buru-buru merogoh
saku jeans-nya. Ia mengerutkan dahi semenit kemudian. Masih diam, lalu menghela
napas. Sepuluh menit berlalu sebelum akhirnya...
“Satyaaa,
ternyata emang cowok b******k!” gumamnya tertahan. Raut wajahnya terlihat
menahan kesal. Senyumnya mulai memudar. Vanya sangat marah.
“Kenapa
lagi Satya kamu itu? Berapa kali sih harus aku jelasin kalo Satya-mu itu gak
ada penting-pentingnya buat kamu pikirin? Udahlah, putusin dia! Tapi... tapi
jangan lepasin aku..” Vanya menarik napas. Lalu,
“Gue
harus temuin dia langsung! Ini bukan yang pertama kalinya dan yang paling bikin
gue naik darah! Gue janji ini yang terakhir kali. Janji! Kalo kebukti dia salah dengan mata kepala gue
sendiri, gue gak mau bertahan lagi. Baru juga bikin seneng! Kenapa sekarang ada
berita gak enak lagi? Lama-lama gue capek..untung gue jebak dia diwaktu yang
tepat” waw! Aku baru pertama kalinya mendengar Vanya berkata seserius itu
walaupun Vanya belum menceritakan tentang misi penjebakan itu padaku. Dalam
hati aku senang, tapi tiba-tiba... yah, sebentar lagi aku harus meninggalkan
rumah ini dan berpindah ke tempat lain.
***
“Nya..
Nya... dengerin dulu! Yang kamu liat gak kayak yang kamu pikirin!” aku
mendengar suara Satya berteriak didepan halaman. Nadanya memohon.
“Gue
capek ngadepin elo Ya! Berapa puluh kali dalam tiga bulan ini lo ngeluarin kata
maaf? Maaf tanpa perubahan gak ada guna sama sekali! Kalo seandainya gak ada
yang kirim foto elo dengan cewek itu dan kirim gue info lewat BBM, mungkin gue
masih bisa nerima kata maaf lo. Tapi enggak sekarang. Sorry, kita putus!” kata
Vanya tegas. Aku sudah merasakan sesuatu yang tidak enak menyentuh bahuku. Sebentar
lagi aku harus pergi dari sini, batinku frustrasi. Tapi memang bagus Nya. Untuk
apa kamu nangisin cowok kayak Satya? Diluar sana banyak yang mau dengan kamu.
Cuma kamu terlalu sibuk mikirin Satya-mu yang gak ada apa-apanya itu!
“Dan
ngapain lo ngikutin gue sampe ke rumah? Pulang lo!”
“Nya,
please percaya gue. Gue bisa jelasin. Dia itu...”
“Dia
itu apa? Temen sekolah lo? Temen les? Temen kampus? Temen masa kecil? Simpen
aja penjelasan lo itu sendiri!”
Vanya
berlari ke dalam kamar setelah menyentak kasar, “tunggu di sini!” ia membanting
pintu keras-keras, lalu mengambil beberapa barang yang tergeletak di meja
belajarnya dan menatapku. Aku balas menatapnya dengan tatapan memohon.
“Kamu
gak akan ngembaliin aku ke Satya, kan? Pliis, aku mau sama kamu aja di sini.”
Vanya menghela napas.
“Mi,
kamu sama aku aja di sini ya?” Aku ikut menghela napas dan mulai menyunggingkan
senyum. Satya? Pedulilah mau kamu apakan Satyamu itu, Nya!
Vaya
keluar kamar lagi.
“Ambil
semua barang-barang lo! Tapi Mimi tetep gue simpen. Oya, satu yang harus gue
kasih tau ke elo! Kalo mau ngasih barang ke cewek, jangan kasih mereka barang
bekas. Apalagi digilir kayak boneka Teddy Bear lucu itu! Mimi tetep milik gue.
Dan asal elo tahu, cewek yang barengan elo di kafe tadi, temen SMA gue. Belum
pernah dia ikut kursus bahasa inggris. Ngerti??” Aku tidak tahu, dan tidak akan
pernah ingin tahu kenapa baru terpikir sekarang oleh Vanya untuk menjebak Satya
seperti ini, dan darimana ia mendapatkan ide seperti itu?
Pfiuhhh..
tapi aku gak peduli. Yang penting aku tetap disini dengan Vanya. Akhirnya aku
hanya menetap disatu tempat. Tak akan berpindah lagi. Dan tak akan jadi boneka
bergilir lagi. Aku akan jadi si pendengar setia yang hanya milik Vanya.Walaupun
hanya sebuah boneka, tapi aku juga punya perasaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar