
Nada menatap ke jendela kaca yang dipenuhi titik-titik air. Hujan deras yang turun sejak tadi belum juga berhenti, sementara cup
berisi Cappucino Latte yang dipesannya sudah ludes setengah jam yang lalu. Nada
menopang dagu, menghela napas cepat dan membuangnya lambat-lambat. Rinai hujan
turun berirama, menyenandungkan sebuah ketenangan ke balik hati Nada yang
dibuat kacau oleh peristiwa bulan lalu. Ramadhan dan Diana. Halah!
Sudahlah. Ini minggu ke-tiga sejak Nada
rajin berkunjung ke kafe ini. Memesan cappucino latte dan memandangi jalanan
dari balik jendela. Hanya itu yang dilakukannya setiap kali datang kemari. Tapi
minggu ini, ada hal lain yang membawanya datang lagi. Entah apa. Nada
memalingkan wajah dari jendela, mengedarkan wajah ke semua arah ketika..
“Boleh, aku duduk disini?” Nada menoleh dan mengerutkan
dahi. Seorang cowok berkaus abu dengan jeans hitam yang dua minggu terakhir
juga dijumpainya ditempat ini tersenyum kecil, seraya mendaratkan tubuh didepan
Nada sebelum Nada meng-iyakan. Nada balas tersenyum, tapi detik berikutnya wajahnya kembali fokus pada
rintik hujan diluar sana.
“Lagi galau, ya?” tanyanya lagi. Menyeruput minuman yang
berada dalam cangkir yang digenggamnya, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Nada.
Nada menoleh, menggeleng pelan.
“Ini memang kafe langganan kamu, atau kamu datang ke sini
kalau perasaanmu lagi nggak baik?” tanyanya lagi.
“Dua-duanya.” Sahut Nada singkat.
“Hari ini, alasannya pasti yang ke-dua.”
“Hah?”
“Perasaan kamu lagi nggak baik, kan?” Nada mengerutkan dahi semakin dalam. Tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Kembali hanyut dalam lamunannya, menatapi jendela. Cowok itu diam, tapi Nada tahu bahwa ia tengah diperhatikan. Hal sama yang selalu dilakukan cowok itu dua minggu terakhir dikursi yang berbeda. Bedanya, kali ini ia bersuara. Menyapa. Dan mendekati. Nada menyandarkan kepala pada sandaran sofa krem, matanya menerawang ke langit-langit kafe. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk meninggalkan tempat ini sejak ia bertemu dengan cowok yang sekarang duduk didepannya.
“Perasaan kamu lagi nggak baik, kan?” Nada mengerutkan dahi semakin dalam. Tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Kembali hanyut dalam lamunannya, menatapi jendela. Cowok itu diam, tapi Nada tahu bahwa ia tengah diperhatikan. Hal sama yang selalu dilakukan cowok itu dua minggu terakhir dikursi yang berbeda. Bedanya, kali ini ia bersuara. Menyapa. Dan mendekati. Nada menyandarkan kepala pada sandaran sofa krem, matanya menerawang ke langit-langit kafe. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk meninggalkan tempat ini sejak ia bertemu dengan cowok yang sekarang duduk didepannya.
***
Sejak mengetahui bahwa orang yang ia
sukai, Ramadhan, menjalin hubungan dengan teman dekatnya, Diana, Nada tidak
tahu apa yang ia rasakan. Kecewa, mungkin ya. Marah, memang. Tapi apa yang
dapat ia lakukan, sementara Diana dan Ramadhan sudah saling mengenal bahkan sebelum
Nada mengenal mereka?
Suatu siang pulang sekolah. Sehari setelah Nada mendengar
kabar itu, Nada terjebak hujan saat pulang dari sebuah toko buku. Hujan lebat
yang memaksanya menepi di pelataran kafe ini. Kedinginan, lapar, dan haus. Itu
yang Nada rasakan saat ia menoleh ke dalam kafe dan menemukan seorang cowok
duduk manis dipojok kafe tengah meneguk secangkir minuman. Beberapa detik penuh
ia terpaku, sebelum akhirnya memutuskan masuk dan mengambil tempat diseberang
si cowok. Memesan cappucino latte dan menatapi jalanan. Sesekali mencuri
pandang ke arah cowok yang dilihatnya tadi. Minggu kemarin, dijam yang sama,
Nada kembali ke sana, dan mendapati cowok itu lagi. Minggu kemarin cowok itu tersenyum
kepadanya.
“Kamu belum jawab pertanyaanku. Perasaanmu lagi nggak baik,
kan?” lamunan Nada buyar sepenuhnya. Ia menatap cowok yang duduk didepannya
beberapa lama.
“Mungkin ya. Mungkin juga nggak.” Jawab Nada. Cowok itu
tersenyum.
“Sikap kamu nggak bisa menyembunyikannya,” kata si cowok
kalem. Sekali lagi ia menyeruput minumannya. “Minggu kemaren, dan dua minggu
yang lalu aku juga lihat ada sesuatu yang lagi kamu pikirin.” Cowok itu
menyimpan cangkirnya. Menghela napas pendek dan menyimpan kedua tangan ke atas
meja. Nada mengerjapkan mata, menggigit bibir dan mendekatkan wajah ke arah si
cowok.
“Kamu..” seru Nada tertahan.
“Ya.. memangnya aku nggak merhatiin kamu? Sejak pertama kali
kamu datang dua minggu yang lalu, minggu kemarin. Dan sekarang..” senyum paten
itu merekah. Memaksa jantung Nada untuk berdetak lebih cepat.
“Ta-tapi..”
“Kamu boleh cerita kalau kamu mau..”
“Bukan masalah berat,”
“Masalah hati?” tanyanya. Nada tersenyum kecut.
“Kamu.. kenapa sering ada disini?” kalimat yang sempat
tertahan ditenggorokan Nada itu kini sudah mulai lumer. Ia bertanya dengan
suara datar, tidak terlalu ingin tahu. Mata si cowok menyipit.
“Tempat ini bisa bikin kepalaku berpikir lebih tenang.
Apalagi kalau hujan dan embunnya nempel di jendela. Romantis, kan?” Nada
tertawa kecil. Cowok itu tetap memasang wajah serius. Sungguh-sungguh dengan
ucapannya.
“Kok sama?” akhirnya keramahan Nada tercipta juga. Telapak
tangan Nada menyentuh jendela, mengusap embun yang membuat pemandangan menjadi
kabur.
“Karena aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Aku nggak
tahu kamu kecewa karena apa. Marah karena apa. Tapi sikap kamu sejak datang ke
sini dua minggu lalu menggambarkan semua itu, persis seperti apa yang aku
rasakan, dan itu yang membuatku tertarik untuk mendekati kamu sekarang. Saat
ini, akupun tengah dilanda kecewa. Sama sepertimu.”
“Oya?” Nada meyakinkan. Cowok itu mengangguk.
“Kamu menyimpan semuanya sendiri. Makanya kamu bersikap
seperti itu. Seandainya kamu cerita. Ayo, kamu bisa percaya sama aku. Aku
mengerti gimana rasanya kecewa dan aku nggak mau oranglain merasa hal yang sama
karenaku, biarpun aku belum mengenal siapa kamu,” Ada keseriusan dalam nada
ucapan itu. Nada menatap lagi cowok itu, lebih lama dan lebih serius hingga
akhirnya senyum Nada merekah luas.
“Ah, maaf. Mungkin nggak sekarang. Tapi aku pasti akan dan
selalu mau dengar semuanya, sekalipun kita belum kenal.” Nada mengangguk lagi.
Kekecewaan itu melenyap seketika.
Telepon berdering sesaat setelah si cowok menyelesaikan
kalimat terakhirnya. Si cowok mengangkatnya, berkata serius dan kembali
menyimpan ponsel-nya ke dalam kantung setelah mengucap salam.
“Aku harus pergi. Tapi aku janji akan bikin kamu cerita,
seenggaknya supaya kekecewaan—tentang apapun itu—yang kamu rasakan hilang. Ya?
Namaku Anggit. Minggu depan kita bertemu lagi. Ditempat ini.”
Hujan bernyanyi semakin merdu. Menuai ketenangan hatinya
untuk kesekian kali. Mata teduh itu. Dada bidang yang terlihat dari kaus ketat
yang cowok itu kenakan. Hah! Ternyata itulah yang menarik Nada untuk kembali
datang dan enggan pergi dari tempat ini, selain alasan untuk menenangkan diri. Dan
minggu depan Nada akan kembali ke sini, bertemu dengannya lagi. Di sini,
ditempat ini.***
Gak ada terusannya ya?
BalasHapushehe iya, cuma sampe sini aja
BalasHapus