Airmata semakin menderas, mengalir dipipi, jatuh didagunya. Gadis itu
berlutut. Memungut sebuah buku tebal yang kertasnya berhamburan ke
mana-mana. Ada luka dimatanya. Ada sakit yang terbias dari caranya
memandang buku itu. Kupandangi ia dari jauh. Iba menyelusup, namun aku
tak berani mendekat. Bentakannya beberapa hari lalu masih menyisakan
sedikit trauma.
Tapi perasaan itu terus mendesak, mendesak agar aku
mendekat. Menyapanya, merengkuhnya. Dalam nyata, bukan sekedar hanya
bayangan seperti yang selalu aku lakukan setiap kali kulihat gadis
pendiam itu. Sejak aku melihatnya satu tahun lalu, jangankan balas
menyapa, tersenyumpun ia tak pernah.
Wening bangun, kertas-kertas
itu telah terkumpul ditangannya. Tergenggam erat, seolah takut
kehilangan untuk kedua kalinya. Mata itu masih basah. Masih merah, masih
memperlihatkan perasaan luka yang begitu menyayat. Aku dapat
merasakannya sekalipun aku tak tahu apa yang dirasakan Wening saat ini.
Kakinya
bergetar saat ia melangkah, menyebrangi jalan sambil menggigit bibir.
Kusampirkan tas, berjalan terburu-buru untuk mendekatinya. Pedulilah apa
yang akan dilakukan gadis itu padaku nanti. Aku hanya takut langkahnya
semakin melemah dipertengahan jalan.
Wening yang menyadari
kehadiranku berjalan semakin tergopoh, berusaha tidak mengacuhkan aku
yang kini hanya berjarak beberapa meter darinya.
"Wening,
tunggu!" aku berseru. Wening mengabaikanku. Berjalan lagi, semakin
cepat. Semakin membuat kecemasanku meninggi, karena saat ini jalanan begitu ramai. Hingga akhirnya aku
bernapas lega saat Wening telah sampai diseberang jalan, kubalikkan
badan. Mendekati gadis cantik nan pendiam itu bukan perkara mudah, tapi aku tak akan berhenti sampai di sini. Dia
selalu sendiri, sengaja menyendirikan diri. Baiklah, mungkin tidak sekarang. Tapi nanti, nanti pasti aku akan menemukan cara untuk mendekatinya.
Kutatapi jalanan seraya berjalan pulang. Ingat
kembali kejadian yang terjadi pada Wening tadi. Saat seseorang menabraknya, membentaknya dengan kata-kata
yang tak dapat kudengar, merebut buku yang berusaha dipertahankan
Wening, melemparnya hingga kertas-keras itu berserakan. Dan yah.. hatiku ikut
perih melihatnya. Entah apa yang tiba-tiba membawaku ingin mengikutinya
tadi. Dan apa yang dapat kulakukan?
Kususuri lagi jalan,
ketika mataku tertuju ke arah sebuah kertas. Kertas yang tergeletak
begitu saja disamping trotoar. Ah, milik Wening!
Buku
ini hidupku. Satu-satunya yang tak akan kubuat hatinya terluka sekalipun
aku salah bicara. Salah menuliskan sesuatu. Tidak seperti yang lain.
Yang hidup. Yang akan marah jika aku melakukan kesalahan. Yang pergi
meninggalkanku dalam kesendirianku seperti saat ini. Mereka terluka atas
aku. Mereka pergi atas apa yang telah kulakukan pada mereka, padahal
mereka tahu. Tak pernah terlintas sedikitpun dihatiku untuk melakukan
hal itu. Menyakiti hati mereka? Tidak. Lalu apa yang terjadi padaku saat
ini? Adilkah ini? Aku sakit. Akupun ingin merasakan indahnya berbagi.
Pada yang dapat kupercayai. Semuanya. Tapi aku tak ingin ulangi lagi
kesalahan itu. Aku tidak mau ditinggalkan untuk kedua kalinya. Sendiri
saja. Cukup dengan sendiri, maka aku tak akan ditinggalkan siapapun
lagi. Berat, memang berat rasanya sampai mereka menyerahkan benda ini
sebelum pergi dari hidupku. Buku tebal ini. Buku tebal yang kini menjadi
teman terbaikku. Yang tidak akan meninggalkanku lagi. Yang tahu apa
yang aku rasakan. Sepenuh hati, tak akan kubiarkan siapapun merebutnya,
menghilangkannya. Dan kau, laki-laki yang selalu menatapku dari
kejauhan. Aku tahu itu. Maaf, aku tak ingin siapapun meninggalkanku
lagi. Biarlah aku dan catatan hatiku ini yang tahu, betapa aku pun
sebenarnya ingin mengenalmu.
Mataku masih belum
mengedip sampai akhir paragraf yang ditulis Wening dikertas ini. Wening
ditinggalkan lagi, bahkan oleh benda mati yang mungkin bisa terganti.
Tapi tidak secara hati, secara memori. Entah memori tentang apa itu.
Mata itu, airmata dan luka itu. Aku meringis. Hatiku sakit. Beberapa
detik kemudian, aku menelan ludah dan denting syukur bergema. Kutemukan
caranya. Kutemukan bagian terpenting dari perasaannya. Tunggu aku datang, dan akan kuperbaiki semuanya, Wening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar