Maaf  kalau akhirnya aku harus mengirimkan surat ini untukmu. Aku benar-benar  tidak bisa menghapus bayanganmu dari kepalaku. Aku benar-benar  merindukanmu. Sangat merindukan dan membutuhkanmu! 
Untuk  sekedar mengingatkanmu tentang cerita 4 tahun kita yang tiba-tiba harus  berakhir 6 bulan lalu. Masih ingatkah diary tebal yang kamu berikan  padaku saat hari pertama kita jadian? Halaman terakhir diary itu aku isi  enam bulan lalu, cerita tentang akhir perjalanan kita. Sesak rasanya  saat aku harus meneteskan airmataku di atas sana, padahal selama ini aku  selalu berusaha keras menjaganya agar tidak tersentuh. Oleh debu  sekalipun.
Masih  ingatkah kalung berliontin hati yang kamu pakaikan dileherku saat  anniversary pertama kita? Enam bulan lalu, untuk pertama kalinya aku  harus melepaskan itu. Tiba-tiba aku merasa leherku mengecil saat benda  itu tak lagi bertengger di sana. Mungkin kamu tak akan lupa hal konyol  apa yang terjadi di anniversary kita yang ke-dua. Kamu hampir lupa  ulangtahun kita saking sibuknya mengurus tugas-tugas kuliahmu. Kalau  saat itu aku tidak ngambek, mungkin kamu akan benar-benar lupa, dan  tidak akan rela huja-hujanan datang ke rumahku malam-malam sambil  membawakan sepotong kue tart. Benar-benar sepotong, sekerat, atau apapun  istilahnya! Kamu juga bawakan aku mawar.. mawar layu karena terkena  siraman hujan. Huhu. Tapi sejak malam itu, kamu jadi rajin kirimi aku  mawar setiap bulan sebagai tanda penyesalanmu. Tapi tidak sejak enam  bulan lalu. Keramik kecil tempat mawar yang biasa aku ciumi setiap pagi  kini kosong melompong. Aku sama sekali tak ada selera untuk membelinya  sendiri. Tahun ketiga, kamu bawa aku ke tempat yang katamu akan  membuatku selalu mengingat kamu. Kafe dengan background perkebunan teh.  Kamu mengajakku makan di sana. Saat itu gerimis dan kamu memelukku  seraya memberikan aku cincin perak, lalu berkata, "Happy third  anniversary, My Dearest Dzikra.." setahun terakhir, aku selalu rajin  mengajakmu makan di sana. Tapi seminggu sebelum kita putus, tempat itu  sudah tak ada. Bangkrut katanya. Lalu cincin perak berukirka namamu kamu  sendiri yang melepas dan melempar benda itu ke dasar sungai, sungai di  taman tempat kamu mengakhiri cerita kita. Tahun ke-empat, tahun terakhir  kita bersama. Kamu menghadiahiku sebuah mug bergambarkan wajahmu dan  wajahku. Tapi lima jam sebelum kita putus, tak sengaja aku menyenggolnya  dan pecah. Pranggggg! Hancur berkeping-keping tanpa sisa. Apa kita  memang buka jodoh? Kenapa kamu memutuskan aku sepihak tanpa sebab?  Kenapa kamu meminta aku untuk membuang semua kenangan tentang kita? Apa  salahku?
Hari  ini dan enam bulan ke belakang, aku selalu merindukamu dan menyebutkan  namamu dalam doaku. Aku membutuhkanmu, benar-benar membutuhkanmu. Aku  masih berharap semua yang terjadi antara kita hanya mimpi buruk yang  akan segera menghilang jika aku terbangun nanti. Tapi ternyata tidak.  Karena sampai hari ini kamu menghilang sama sekali, tidak mengabari aku  apalagi mendatangi rumahku. Apa kamu akan dengan rela melupakan  hari-hari indah kita? Pertengkaran-pertengkaran kecil yang selalu  berakhir dengan melingkarkan jari kelingking kita? Celotehan-celotehanku  yang kadang membuatmu kesal, tapi jika sehari saja kamu tidak  mendengarnya, kamu malah jadi kelabakan sendiri, seperti katamu? Kamu  tidak ingat kita pernah menghabiskan waktu di rumah sakit selama  seminggu? Kamu menemaniku tanpa keluh. Ingatkah kamu janji kita untuk tetap saling menjaga meski ada banyak hal yang mengganggu, termasuk gadis yang sering kamu ceritakan itu? Gadis yang kamu bilang akan dijodohkan denganmu? Sekarang, memudarkah janji itu?
Ada  sejuta cerita jika aku harus menuliskannya di sini. Aku tak sanggup,  karena aku takut aku akan benar-benar nekat mencarimu, sementara kamu  meminta supaya aku tidak menghubungimu lagi. Kamu tahu bagaimana  rasanya? Lebih dari sekedar disengat lebah! Tapi entah kenapa, tiba-tiba  hari ini rindu itu sangat menyengat kalbuku. Ada apa denganmu?  Baik-baik saja kah dirimu? Kuharap begitu. Karena aku takkan pernah  lelah merindukanmu sampai kamu memberiku alasan tentang perpisahan  kita...
Dzikra  masih hendak menulis lagi ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Ibu  masuk dan menatap Dzikra dengan tatapan iba. Tangannya menggenggam  sebuah surat berwana cokelat ditangan kanannya..
"Dzik.."  seru Ibu pelan. Dzikra menoleh setelah menghapus titik bening yang  mengalir perlahan dipipinya. Ibu balas tersenyum, mengerti benar apa  yang dirasakan Dzikra.
"Kenapa Bu?" suara Dzikra tersendat.
"Kamu gak pa-pa? Lagi apa?"
"Gak pa-pa, Bu. Ini lagi... nulis." jawab Dzikra tanpa bohong.
"Ada surat untuk kamu. Ibu taruh disini ya. Eh, kamu kan belum makan. Mau ibu masakin apa?"
"Hmm..  sayur bayam & perkedel jagung kayaknya enak, Bu.." sahut Dzikra.  Ibu keluar kamar setelah berkata iya dan mengingatkan Dzikra tentang  surat yang baru saja diterimanya.
***
"Ini  alasannya. Maaf, kami (Aku dan Kinanti) terlalu sakit untuk  memberitahumu langsung. Kamu sendiri tahu bagaimana keadaan Ibu. Kuharap  kamu bisa datang."
Memo  singkat yang terselip dibalik undangan pertunangan itu menyentak batin  Dzikra seketika. Menusuk-nusuk ulu hatinya tanpa ampun! Kinanti adalah  teman baiknya semasa SMA, yang merupakan teman semasa kecil Bagas.  Dzikra mengenal Bagas dari Kinanti. Bagas memang pernah bercerita bahwa  ibunya yang terserang penyakit stroke selalu keukeuh menjodohkan Bagas  dengan gadis lain, tapi Dzikra tidak tahu bahwa gadis yang selama ini  dibicarakan Bagas adalah... Kinanti, sahabatnya. Lalu kenapa Kinanti  tidak pernah bercerita?
Ia  mengalihkan pandangan ke arah selembar kertas yang sudah nyaris penuh  oleh tulisan tangannya. Sekuat tenaga ia menahan agar airmatanya tidak  jatuh. Tapi pada akhirnya, kristal bening itu luruh juga. Ah, benarkah  kita memang bukan jodoh? Benarkah ini jawaban atas kerinduannya hari  ini? Inikah jawabannya? Dzikra menelan ludah. Pahit. Ia kehilangan minat untuk benar-benar mengirimkan surat itu, kini. Yang tersisa hanya perasaan sesal yang mendalam. Serasa ada batu  besar yang menghalangi paru-parunya untuk sekedar menghela napas. Tangan  kanannya meraih surat yang hendak ia selesaikan. Kemudian ia meremas  dan melemparnya ke luar jendela kamar. Biar hujan yang meluruhkan  kertas itu hingga hancur, sehancur hatinya. 
tulisan yang bagus :)
BalasHapussalam kenal dan terimakasih sudah mampir ke blog "bias senja" ^^
terimakasih..
BalasHapusiyaa, salam kenal juga. terimakasih jg sudah mampir =)