Selasa, 16 April 2013

Coretan Terakhir Krayon Biru-mu

"Gue nggak mau pisah sama lo.." dia masih belum mengalihkan tatapannya dari mataku, sementara aku berusaha untuk menghindari mata itu. Aku meraih kerikil kecil disamping tempat aku duduk dan melemparkannya sejauh mungkin sambil menutup mata.

"Lebay."

"Gue serius.."

"Iya gue tau," kataku cuek. Aku memaksakan diri untuk tersenyum setelah mengatakannya, lalu menepuk bahunya beberapa kali. Dia menelan ludah dan balas menatapku dalam-dalam. Tatapan yang selama ini selalu bisa menghangatkan, selalu bisa meneduhkan, dan selalu bisa mewarnai segalanya sejak pertama kali aku menyukainya. Menyukai mata itu. Tapi sore ini, aku tahu bahwa aku tidak akan bisa merasakan keteduhan itu lagi dari matanya. Sore ini, mata itu justru menggoreskan warna lain di perasaanku. Warna yang entah bisa kunikmati atau justru akan berusaha kuhapus.



"Kok malah jadi lo yang mellow begini, sih? Lo itu mau mulai hidup baru.. harusnya lo girang. Bahagia, gitu.." sahutku lagi. Diam-diam aku menghela napas dan berusaha mengonsentrasikan pikiranku pada kenangan-kenangan yang tiba-tiba berkelebatan di kepala. Kenangan dengannya, dengan mata bundar yang sukses mewarnai kanvas putih kehidupanku.

"Gue sayang sama lo, Cil.." tangan besarnya merangkul bahuku, menarik kepalaku untuk bersandar di dada bidangnya. Dadaku mulai berdegup nggak beraturan. Ini kali pertama aku mendengar detakan jantungnya secara langsung, dan tiba-tiba ada sesuatu yang bergolak didalam perutku.. 

"Gue baru sadar kalo ternyata orang yang paling gue butuh didunia ini selain Mama dan Oka adalah elo, orang yang selalu setia disamping gue, apa dan gimanapun keadaan gue.. bukan cewek-cewek yang gantian dateng di hidup gue dan pergi gitu aja.. gue minta maaf." tangannya semakin erat memeluk bahuku. Sakit, sih.Tapi aku nyaman berada dalam pelukannya seperti ini. Kenapa baru sekarang lo sadar? Kenapa lo malah peluk gue justru saat lo mau pergi? Ada sesuatu yang berdesakan ingin keluar, dan kutahan sekuat kubisa sampai tenggorokanku sakit rasanya.

Aku menggigit bibir kuat-kuat, lalu menghela napas panjang.

"Kalo penyesalan adanya didepan, nggak akan ada orang yang salah ambil keputusan." suaraku terputus.

"Harusnya orang yang bakalan jadi temen gue itu elo, bukan Gianka. Lo yang tau segala-galanya tentang gue, lo yang paling ngerti segalanya tentang gue. Dan elo... lo sahabat terbaik gue." dia mengecup puncak kepalaku. Lama. Aku diam tak bergeming. Mendengar kalimatnya barusan, tenggorokanku akhirnya tidak mampu lagi membendung air bening yang berdesakan ingin keluar.

"Jangan bilang gitu dong, Lih! Gue jadi sedih, tau.." aku melepas pelukannya, biarpun sebenarnya aku nggak ingin. Kedua tanganku sibuk me-lap air bening yang berdesakan ingin keluar dari mataku. "Gue tau kok lo sayang sama gue. Gue juga sayang sama lo. Gue tau lo nggak bisa hidup kalo nggak ada gue. Hidup lo bakal berantakan kalo lo jauh dari gue. Gue pasti bakalan kangen ngomelin lo, bentak-bentak lo, bawel-in lo.. lo temen gue yang bisa bikin gue mati pelan-pelan saking pusingnya sama tingkah sok kecakepan lo itu." aku menghentikan kalimatku dan tertawa tipis, untuk menutupi bahwa aku memang nggak akan bisa jauh-jauh dari cowok sok kecakepan yang sudah kukenal sejak sepuluh tahun terakhir ini, meskipun kadang kelakuannya bikin aku maunya nyekek dia sampe dia sadar. "Tapi.. the show must go on, kan? Mungkin sekarang ini waktunya ada orang yang gantiin posisi gue.." aku merubah posisi duduk. Menekukkan kaki dan memeluk lutut, masih sambil memandangi rumput-rumput hijau yang setengah basah terkena air hujan semalam. Aku meraih ransel biru butut pemberian Galih dan mengeluarkan secarik kertas, kotak pensil, serta kotak krayon dan mulai menggambar. Entah apa yang bisa kucoretkan diatas sini.

Dia, cowok urakan yang duduk di sampingku, menatap langit biru dengan pandangan kosong.
Dari sikapnya aku tahu, dia memikirkan hal yang juga tengah kupikirkan saat ini. Sebelum kejadian itu, aku sudah melarangnya untuk pergi. Sebelum kejadian itu dan dia bercerita banyak tantang Gianka, aku sudah mengingatkannya banyak hal. Sebelum kejadian itu, aku berusaha untuk terus menahan perasaanku pada Galih. Bukan perasaan sayang sebagai sahabat. Tapi lebih dari itu. Iya, sebelum kejadian itu.. semuanya terasa indah. Indah, meskipun aku harus berjuang setengah mati untuk menyembunyikan perasaanku dan bersikap biasa saja. Mendengar ocehannya tentang cewek-cewek, memarahinya kalo dia berani bolos kuliah, sampe mengingatkannya tentang bahaya rokok, udah jadi menu harianku setiap hari. Tapi sejak aku tahu kalau aku orang pertama yang mengetahui ceritanya, perasaanku tak urung tersentuh juga. Aku bahkan sempat menjauh dari Galih dan berusaha untuk menghilang beberapa saat, setidaknya sampai aku benar-benar bisa menyerap segalanya dengan kepala dingin. Aku tahu latar belakang keluarga nya, aku tahu alasan kenapa Galih bersikap seperti itu. Aku bisa mengerti perasaannya, bahkan aku sempat berharap, bahkan yakin cuma aku satu-satunya cewek yang nantinya bakal ada terus disamping Galih. Seumur hidup. Itu yang membuatku percaya... seberandalan apapun Galih, dia tidak akan senekad ini... tapi kenapa ini bisa terjadi? Aku putus asa, sakit hati teramat sangat, walaupun kadang akal sehatku ikut turun tangan dan berkata, "Galih juga manusia.. sama seperti gue, bisa khilaf kapan dan dimanapun aja," cuma kalimat itu yang bisa meredakan emosiku kadang-kadang, sampai akhirnya aku memutuskan untuk tetap disampingnya menghadapi serangan berbagai pihak, menguatkan dan menyabarkannya, membesarkan hatinya, memberi dukungan serta... memarahinya sebagai sahabat. Sahabat.

"Cil.." dia memanggil namaku. Aku masih anteng dengan tanganku dan krayon pemberiannya di ulangtahunku yang ke sembilan belas kemarin. Aku nggak menyahut.

"Acil, gue ngomong sama lo.. gue lagi serius." aku menghentikan pekerjaanku. Sedetik, aku mengamati gambarku. Eh, aku menggambar seorang pria yang sedang bersiap pergi ke kantor, lengkap dengan kemeja dan tas cangklongnya, lalu seorang wanita cantik dengan piyama lucu sedang menggendong bayi perempuan cantik yang gambarnya belum selesai kuwarnai. Kenapa tiba-tiba aku menggambar ini.

"Kenapa lo baru bilang kalo lo sayang sama gue lebih sari sekedar sahabat, malah sejak..."

"Stop! Kalo bahas soal itu, gue nggak mau jawab." aku menutup telinga, lalu berpura-pura meneruskan gambar saat tangannya lagi-lagi menarik bahuku dari belakang.

"Gue beneran nyesel, Cil. Harusnya elo yang jadi Ibu dari anak-anak gue, harusnya elo yang nantinya ada disamping gue, harusnya elo yang gue lamar untuk jadi pendamping hidup gue, harusnya..."

"Astaga! Bisa nggak sih lo nggak secengeng ini? Minggu kemaren, kita udah sepakat untuk ngabisin waktu barengan sampe hari H lo tanpa ungkit-ungkit soal itu. Apa lo mau gue ngamuk-ngamuk lagi? Jangan ngerusak mood gue, apa susahnya sih? Kan bentar lagi lo juga nggak bakal ada terus disamping gue.." aku menggigit bibir kuat-kuat saat selesai mengatakannya. Setengah menyesal, setengah sedih harus mengucapkan kalimat itu lagi.

Lalu jeda beberapa detik penuh. Kami jadi diam-diaman. Aku nggak berani melihat matanya.

"Cil.."

"Yang udah kejadian, ya udah aja. Harus gimana lagi? Kan lo juga nggak bisa ngulang semuanya dari awal. Yang jelas, gue udah pernah ingetin lo. Lo harus terima resiko, seberat apapun itu. So, enjoy your new life. Oke?" aku mengerling sok kuat, padahal dalam hati aku nangis sejadi-jadinya. "Udah mau sore, lo mau balik? Tunggu gue selesaiin gambar ini dulu." aku berniat mau mengambil warna biru untuk latar gambarku, saat tiba-tiba...

"Huh... warna birunya patah. Sayang banget, deh. Keseringan dipake kayaknya nih. Padahal ini kan warna kesukaan lo, ya?" aku menyesal dan menatap gambarku yang barus setengah jadi. Galih menarik kertas yang kugenggam, lalu mengamatinya dalam-dalam.

"Lo ngapain gambar beginian?" tanyanya. Aku nyengir dan menggeleng sok polos. Kenapa harus warna biru yang habis? Apa perjuanganku juga harus terhenti di sini? Krayon biru tadi, krayon terakhir yang bisa kutorehkan diatas kertas tentang Galih, tentang kehadiarannya yang mewarnai hidupku seperti krayon. Cerita kami memang nggak akan selesai sampai di sini. Tapi perasaanku padanya harus segera ku rem. Berhenti. Sampai di sini.

"Lih.."

"Huh?"

"Lo harus janji satu hal sama gue sebelum kita bener-bener nggak bisa sedeket ini lagi."

"Apa?"

"Berubah. Lo harus jadi contoh yang baik buat calon penerus lo.."

***

Delapan bulan berlalu.
Aku masih asik membereskan kertas-kertas yang berserakan di dalam rak buku. Kertas-kertas gambar yang kubuat sejak Galih menghadiahiku sekotak besar krayon. Dulu katanya, biar aku ada kerjaan lain selain ngomelin dia ini itu. Terbukti, sampai detik terakhir aku bertemu dengannya di bukit itu tahun lalu, aku jadi produktif menggambar. Hari ini, entah kenapa aku ingin merapikan gambar-gambar yang kebanyakan menceritakan perasaanku pada Galih, serta hal-hal konyol yang kulalui dengan dia.
Saat tanganku menyentuh kertas ditumpukan paling atas, aku tertegun. Ini gambar yang terakhir kubuat. Gambar seorang pria dengan perlengkapan kerjanya, seorang bayi perempuan lucu, dan wanita dengan piyama ungu muda cantik tengah menggendong bayi perempuannya. Tapi gambar itu belum selesai. Aku menghela napas dan menyimpan kembali gambar itu, saat HP-ku berdering

"Halo.." sapaku saat mendapati nomor tidak kukenal yang tertulis dilayar.

"Cila? Ini Tante.." tante Kirani, ibunya Galih. "Tante cuma mau kasih kabar.." katanya, lalu segera menceritakan apa maksudnya meneleponku. Aku tersenyum lebar. Tiba-tiba, sesuatu melintas di kepalaku.

"Oke Tant, Cila ke sana sekarang."

***

Cowok urakanku itu sekarang sudah berubah total. Penampilannya berbanding 180 derajat. Ternyata tanpaku, dia jadi jauh lebih baik. Delapan bulan nggak bertemu, ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku sampaikan, tapi aku berusaha menahannya. Aku sengaja menghilangkan diri dulu, sampai lukaku benar-benar sembuh. Walaupun belum sepenuhnya bisa, tapi setidaknya aku berhasil mengikisnya sedikit demi sedikit.

"Cantik. Kayak Mama-nya.." aku mengelus pipi bayi mungil itu dengan sejuta perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. Gianka, cewek imut yang juga sahabatku, yang tahu betul kalo aku menyimpan perasaan pada Galih sejak lama, menangis haru saat aku menatap bayi mungilnya lama-lama.

"Gue gendong boleh?"

"Asal jangan dibawa kabur aja.." Galih masih sempat-sempatnya becanda. Aku nyengir, dan dengan PDnya membawa bayi itu dalam gendonganku. Dalam hati aku berkata, "kenapa bukan gue yang jadi nyokap lo?"

"Gi... lo udah jadi ibu ya sekarang? Astaga. Anak kecil kok udah bisa gendong anak.." aku ngoceh nggak jelas, setengah merasa iri. Gianka tersenyum skeptis.

"Gue kira lo duluan yang bakan punya bayi.." katanya. Aku nyengir lagi.

"Gue boleh pinjem laki lo bentar nggak?" aku minta izin. Gianka lagi-lagi cuma mengangguk sambil tersenyum. Kali ini, nggak pake nyeret tangannya kayak dulu, aku ajak Galih keluar.

"Ternyata tugas gue harus udahan sejak krayon biru lo patah. Dan gambar yang terakhir gue buat, mungkin juga jadi gambar terakhir tentang perasaan gue ke elo. Thanks lo udah jadi krayon hidup gue selama ini. Ini..." aku menyodorkan tumpukan gambar-gambar yang selama ini kubuat ke arahnya. Galih menerimanya dan menatapku dengan tatapan aneh.

"Titip Gianka. Dia sahabat gue juga selain lo. Titip juga malaikat kecil gue tadi. Siapa namanya?"

"Acila.."

"Kok sama kayak nama gue? Nggak kreatif lo ah.." tanganku bersiap meninju bahunya, tapi urung. Aku harus sudah jaga jarak dengan Galih. Dia sudah tidak sebebas dulu denganku.

"Gue minta maaf Cil.." Galih menundukkan kepala. "Harusnya gue nurut sama lo waktu itu. Harusnya gue peka sama perasaan lo, harusnya elo yang jadi Ibu dari Acila, harusnya gue tau kalo Gianka itu sahabat lo. Harusnya.."

"Ya udahlah, gue juga yang salah. Thanks juga udah denger nasihat terakhir gue. Lo udah berubah. Gue sekalian mau pamit nih."

"Lo mau ke mana?"

***

Keputusanku untuk menghilang selama-lamanya dari kehidupan dua sahabatku itu sudah bulat. Setidaknya, kalo dilain tempat mungkin aku benar-benar bisa menghilangkan perasaan-perasaan itu dengan sempurna. 

Galih, tugas gue selesai. Gue nggak bisa jadi alarm lo lagi, gue nggak bisa jadi pengingat lo yang bawelin lo ini itu. Gianka, congrats lo udah jadi perempuan sempurna. Meskipun ceritanya harus bikin gue sakit. Tapi gue bangga, sahabat gue yang childish ternyata lebih dulu jadi Ibu.
Tugas gue selesai. gambar terakhir yang belum selesai itu, coretan terakhir krayon biru lo, Galih.
Titip sayang untuk malaikat kecil baru gue, Acila.
Suatu hari ini, anak lo bakalan main dengan anak gue. Tunggu gue balik ya :')



Tidak ada komentar:

Posting Komentar