Kamis, 18 Oktober 2012

Dibalik Cueknya Faesal




"Gini nih, susahnya pacaran sama anak IPA!"
"Susah apanya?"
"Ya susah. Guenya jadi dicuekin. Pelajaraaaaan mulu yang diurusin."
"Lho, emang harusnya gitu, kan?"
"Tapi gak gini-gini juga, kali. Emang gue boneka, apa, yang diajak maen kalo lagi pengin doang?"
Trisa menghela napas. Memalingkan wajahnya dari buku tulis ke arah Nunu. Yang ditatap masih memasang tampang be-te. Manyun sambil menopang dagu dengan telapak tangan.
"Kenapa lagi sih, Faesal lo?" tanyanya, setelah meletakkan ballpoint dan benar-benar mengkonsentrasikan mata pada Nunu.
"Ya gitu. Gue minta temenin ke toko buku, alesannya banyak tugas. Trus dia bilang, 'kamu kan udah gede, kenapa harus ditemenin segala?'' bete, kan?"
Trisa ngakak, tapi segera menutup mulut saat mata Nunu membulat ke arahnya.
"Dia nggak salah, kan?" komentarnya cuek.
"Huuu. Malah dibelain. Capek gue kalo lama-lama gini."
"Nunu, kalian itu pacaran udah hampir 3 bulan, lho. Lo juga pasti ngerti, kali, kalo sifatnya  begitu.."
"Tapi kalo terus-terusan kayak gini, guenya juga yang makan ati!"
"Serba salah ya hidup looo Nu... Nu. Waktu pacaran sama Exel, lo ngeluh sama sikap overnya. Giliran dapet yang cuek, mencak-mencak lagi. Mau lo apa lagi sekarang?"

***

Minggu, 14 Oktober 2012

The Doll



“Kamu baik-baik aja, Nya?” tanyaku. Kuarahkan mataku kepada Vanya yang masih sesenggukan sambil memeluk lututnya. Airmata jatuh satu-satu, membuat aliran kecil di kedua pipinya yang tembam dan putih bersih. Vanya menengadahkan kepala ke atas sambil mengusap airmata dengan telapak tangannya. Setelah itu ia menarik napas panjang. Tangannya terulur ke arah sebuah tanaman dan memelintir ujung daun. Begitulah Vanya. Vanya dan keadaan hatinya yang tidak baik.
“Lagi-lagi, cewek lagi!” gerutu Vanya. Kali ini ia meremas ujung daun sampai beberapa helai daun dari tanaman itu berguguran tak berbentuk.
“Ha, kali ini, cewek yang mana lagi?” pertanyaanku terhenti ketika dari arah pintu muncul sosok seorang cowok dengan T-shirt hijau tosca-nya. Jeans hitam dan kacamata kotak menambah cool penampilannya. Tapi apa yang bisa dilihat dari dia, sih, selain wajah tampan dan hartanya? Hatinya NOL besar, aku tahu itu. Aku yang jadi saksi atas perjalanan cintanya sebelum dengan Vanya! Sebelum aku mendarat dirumah ini dan jadi teman setia gadis manis ini.

Kamis, 11 Oktober 2012

Salah Pada Awalnya


"Kyara. Denger. Aku kakak kamu. Kamu lebih percaya cowok itu daripada aku?" aku membentak, mencekal pergelangan tangan Kya yang terus merengek meminta aku melepaskannya. Tapi aku tak peduli, aku terus memaksa Kya untuk tetap dirumah, tidak menemui cowok itu. Apalagi secara tidak sengaja aku mendengar percakapan itu ditepi jalan saat aku pulang kuliah.
"Kakak cuma cemburu. Itu aja. Alasan Kakak nggak cukup kuat untuk buat aku lepas dari dia. Dia nggak pernah bikin aku sakit hati atau apalah itu. "
"Belum sekarang! Nanti. Nanti kamu pasti.."
"Itu cuma alibi! Kakak masih suka, kan, sama Ragil?!" Kya memotong kalimat dan mengibaskan tanganku kasar. Nadanya terdengar seolah ia ingin membalas atas apa yang pernah aku lakukan padanya. Dan aku memang menyesal telah berlaku seperti itu padanya, terlebih lagi, menyesal karena...
Kya membetulkan baju dan mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai. Sekali lagi mematut diri didepan cermin sebelum ia pergi dengan membanting pintu. Aku hanya membuang napas cemas. Pikiranku melayang lagi pada insiden itu.

***

Senin, 08 Oktober 2012

Jaket Cokelat

Ah, ada lagi!

Aku menghentikan langkah. Menelan ludah dan menatap ke arah cowok itu tanpa berkedip. Ya Tuhan, ini keajaiban! Aku bertemu lagi dengannya setelah sebulan lamanya aku mencari cowok itu. Pangeran baik hati yang sempat membuatku tersungkur ditepi lapangan basket kampus. Beberapa detik mataku terpaku pada satu sosok yang tengah men-dribble bola itu. Rasanya kakiku tertimpa beban berat sehingga aku tak bisa melangkah ke manapun. Aku menghela napas kuat-kuat. Ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar tiba-tiba saat aku menyadari kalau cowok yang sekarang jaraknya hanya beberapa meter dariku ini adalah benar. Cowok yang membuatku jatuh sebulan lalu. Duh, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku mendekap diktatku semakin erat, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghampirinya. Bertanya siapa nama dan dari fakultas mana. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Saat bola basketnya menghantam dahiku waktu itu, dia menolongku dan mengucapkan maaf dengan wajah sangat menyesal. Tapi tidak menyebutkan namanya waktu dia memapahku dan membawaku ke ruang UKS. Sejak saat itu aku jadi selalu terngiang-ngiang tentang wajah dan sikapnya.