Nimas, Gadis Desaku

Setelah kurasa siap, aku memasukkan boneka kelinci yang dikirim adikku kemarin, kemudian mematut diri didepan cermin. Memastikan penampilanku tidak seburuk saat pertama bertemu dengan gadis itu dua bulan lalu. Ya.. besok aku sudah tidak di sini lagi. Aku harus kembali ke tempatku, ke rumahku. Setelah liburan panjangku di sini, bersamanya.

Aku bertemu dengan Nimas secara tidak sengaja disawah dua bulan lalu. Saat itu (mungkin) dia sedang mengantar makan siang buat Bapak-nya, dan aku, dengan ransel yang tersampir manis di bahu-ku berjalan sok keren dengan sekertaris lurah di kampung itu, suruhan pamanku. Kampung. Hahaha, lucu kan? Cowok sepertiku bisa jatuh cinta pada gadis kampung seperti Nimas? Awalnya aku tidak percaya, tapi aku memang benar-benar merasakannya.

Kembali ke pertemuan pertamaku dengan Nimas.

Saat tengah melewati sawah dengan penampilan yang 'cowok metropolitan' banget itu, aku tersuruk dan jatuh tepat ke kubangan lumpur yang baru selesai dibajak. Setengah mati aku menahan malu dan bergegas  berdiri saat Nimas bergerak cepat ke arahku. Mengulurkan tangannya untuk membawaku berdiri. Yup! Picisan. Tapi itulah awal kedekatanku dengan Dhika.

* * *

Kemudian kami dekat. Ya, liburan semester di sini. Dirumah pamanku yang adalah lurah kampungku. Jenuh dengan suasana kota. Diawal perjumpaan kami, aku sama sekali tidak menaruh perasaan apapun padanya. Tapi lama-lama, lucu juga rasanya saat ia selalu datang ke rumahku untuk mengajakku berjalan-jalan sore, membajak sawah, memancing, dan menghabiskan makan siang bersama disaung Bapak-nya, bahkan sampai menemani-nya mencuci pakaian di sungai. Kegiatan yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang antusias, aku jadi ikut bersemangat. Dan sangat menikmatinya. Niatku untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman, batal seketika. Setiap harinya ia bisa membuatku tertawa dengan kata-kata polosnya, sampai suatu senja.. bulan pertama kedatanganku di desaku, diperjalanan saat aku mengantarnya pulang..

"Aku tadinya punya banyak rencana sama temen-temen di sini, tapi begitu ketemu kamu, semuanya batal.."

"Kenapa?"

"Aku lebih suka abisin waktu bareng kamu,"

"Dengan gadis kampung kayak Nimas gini?"

"Kamu beda, Nimas."

"Nimas kan gak cantik," aku tergelak demi mendengar Nimas berkata begitu. Nimas sungguh berbeda. Ia cantik dengan wajah polos yang tanpa riasan. Tuturnya halus, jauh berbeda dengan teman-temanku di kota sana. Yang belum merasa cantik jika belum bermake-up.

"Nimas, kamu udah punya pacar?"

"Pacar?" Nimas balik bertanya, menatapku dengan bola mata hitamnya yang berkilat menyala. Aku mengangguk, kemudian Nimas menggeleng malu-malu. Saat itu dadaku berdegup keras. Ya Tuhan, ada apa aku ini? Sebelumnya aku tidak pernah segugup ini menghadapi cewek-cewek.

* * *

Tuk-tuk-tuk.

Pintu kamarku diketuk, menyadarkan lamunanku sepenuhnya tentang Nimas. Oh, besok aku sudah harus kembali ke Bandung. Tidak bisa lagi menemaninya mencuci, bermain disungai yang jernih airnya. Tidak bisa lagi menikmati senja seperti saat aku hendak menjadikannya gadisku bulan lalu. Tidak lagi bermain dengan kerbau-kerbau besar dan lumpur yang membuatku nampak seperti badut bermandikan air got. Tidak ada lagi senyum manisnya, tidak ada lagi masakan-masakannya. Astaga! Kenapa aku jadi seperti ini?

Aku bergegas membuka pintu kamarku, mendapati paman sudah berdiri disana.

"Gak diperpanjang aja liburannya, Dhik? Keliatannya kamu betah disini, sama Nimas." tanyanya. Aku tersenyum malu. Sama seperti ekspresi wajah Nimas saat aku bertanya tentang pacarnya.

"Masih banyak yang harus diurusin Oom, oya, Dhika mau pamit sama Nimas dulu ya Om?" Pamanku tersenyum dan mengangguk mengerti. Aku mengambil boneka kelinci yang sudah terbungkus rapi, kemudian mengunjungi Nimas yang ternyata sudah menunggu di halaman rumahnya, dengan pakaian khas gadis desa serta wangi alami tubuhnya sehabis mandi. Rambutnya tergerai panjang dan lembab. Nimas menyambutku dengan senyum.

"Udah nunggu lama?" tanyaku, karena sebelumnya aku sudah mengatakan bahwa malam ini aku sudah harus kembali ke bandung. Dan niat yang sebulan lalu batal aku utarakan, kini benar-benar telah siap aku katakan. Benar, aku benar-benar jatuh cinta pada Nimas. Aku menyembunyikan kado-ku dibelakang badan. Kulihat Nimas menggigit bibir berkali-kali, seperti gelisah.

"Kenapa? Ayo kita jalan-jalan." ajakku. Nimas menahan tanganku saat aku membalikkan badan. Aku menoleh dan mengerutkan dahi.

"Kang Dhika," sapanya halus. Sapaan khasnya padahal ia tahu selisih umur kami hanya 3 tahun. "Maaf ya kalo Nimas lancang, tapi ini Nimas kepikiran terus dari sejak pertama ketemu Kang Dhika. Nimas tau Nimas gak pantes, tapi Nimas cuma mau bilang sebelum Kang Dhika pulang ke Bandung. Nimas.. Nimas suka sama Kang Dhika." aku belum sempat membuka mulut ketika Nimas sudah menambahkan lagi, "Gak perlu dijawab. Nimas juga gak terlalu mikirin, cuman biar hati Nimas tenang aja gitu. Maaf ya.."

Beberapa detik berlalu saat aku tidak mempercayai apa yag sudah kudengar. Tapi detik berikutnya hatiku terlalu gembira untuk menyadarinya. Aku melempar boneka kelinciku dan memeluk Nimas tanpa berpikir panjang lagi.

"Liburan semester nanti aku balik ke sini. Kamu tunggu aku ya. Kita habisin waktu bareng lagi." teriakku gembira sambil melepas pelukan. Wajah Nimas merah merona. #end