Jumat, 02 Agustus 2013

Bicara Tentang Ego. Egoku, Egomu, Ego Kita :)

"Mungkin karena egoku, mungkin karena egomu. Maaf aku buat begini. Maaf aku begini.." -Edcoustic



Potongan liriknya nyentil banget kan yah? Iya. Kerasa banget gimana susahnya ketika kita cuma mementingkan ego masing-masing. Gitu juga dengan cerita yang harusnya gak aku tulis, tapi kayaknya memang perlu dibagi.

Gak perlu jauh, contohnya adalah waktu bareng kamu. Kepala kita beda, karakter kita beda. Sama dengan keinginan kita yang juga gak sama. Aku mau gini, kamu mau gitu. Kita sama-sama pertahankan argumen masing-masing. Selalu begitu. Gak ingin ngalah, gak mau toleransi. Lalu kita memutuskan untuk cari jalan masing-masing dengan cara sendiri. Diem-dieman. Dan masalah gak selesai. Padahal sederhananya,  bisa aja kita ngobrol dengan kepala dingin, selesaikan cuma dengan kalimat, "Memang gak bisa yah kita selesaiin ini berdua? Sama-sama? Dengan cara yang bisa kita terima?" iya, gak? Iya. Aku sama kamu udah mutusin untuk jadi satu. Seenggaknya, untuk sekarang ini. Harusnya, beda pendapat juga udah jadi salah satu komitmen yang bisa dijaga, diatasi, diselesaikan sama-sama juga. Tapi itulah.. namanya juga ego. Kadang gak bisa ngerti kondisi, kadang gak bisa ngertiin kondisi banget.
Sebelnya, kalo dua-duanya udah sama-sama keras, sama-sama gak bisa diatur, bukannya ketemu dan bicara, malah jauh-jauhan. Ngilang beberapa waktu. Begitu ketemu, kita bersikap seolah gak ada apa-apa. Tapi jujur aja, hati kecil gak bisa bohong. 'masalah' yang gak selesai itu masih nyisa.. dan bikin gak enak. Ujung-ujungnya jadi serbasalah. Begini takut gitu, begitu takut gini.

Waktu aku pertahanin egoku, kamu juga begitu, sebenernya kita cuma sama-sama mau dimengerti. Aku pengen kamu tau apa yang aku mau, kamu juga gitu. Iya? Kalo aku sih iya. Terus dimana salahnya? Salahnya, kita gak bisa untuk, seenggaknya, saling mendengarkan satu sama lain. Coba cari cara supaya aku bisa ikutin mauku tanpa ganggu maunya kamu, gitu juga sebaliknya. Gampang, kan? Ya gampang sih kalo seandainya kita masih bisa bener-bener redam ego. Lagi, ego lagi. Lagi-lagi ego. Ada yang lain selain ego? Banyak. Tapi kali ini, aku cuma mau kita selesaikan masalah yang satu ini. Egoku, egomu, ego kita.

Aku kenal kamu, belajar banyak hal tentangmu lewat caraku sendiri. Sejauh ini, aku udah mulai ngerti gimana caranya hadapi kamu. Kecuali satu hal, egomu! Iya, aku kesulitan untuk bicara baik-baik denganmu, dengan keinginanmu yang harus selalu dipenuhi itu, ketika aku juga mengharapkan hal yang sama darimu. Pengertianmu, kamu ikutin mauku.
Begitulah. Ketika ego menguasai satu sama lain.
Lihat kan? Di sini, ego berkuasa lagi. Di sini, ego berhasil kalahin semua yang pernah kita bangun satu-satu dari awal. Di sini, ego berusaha untuk.. menang?

Sekarang aku paham. Sekarang aku ngerti. Ego ada bukan untuk dilawan, karena dia sama gak sekali gak melawan. Ego dicipta bukan untuk buat kita semakin jauh. Kita yang buat diri kita menjauh dengan hanya melihat apa yang kita mau, tanpa memedulikan apa yang oranglain pikirkan. Ego ada untuk buat kita tahu, bahwa ada hal yang perlu saling dimengerti ketika kita sudah sepakat untuk jadi "satu". dan rasanya, kita belum sampai sejauh itu. Saling mengerti, memahami, dan mendengarkan. Bener kan?

Terimakasih karena malam ini lagi-lagi ego mukul kita pelan-pelan, terimakasih karena malam ini kita balik saling menjauhkan diri, terimakasih karena malam ini, ego maksa aku untuk nulis di sini . Memikirkan semua dengan ke-pala di-ngin dan ha-ti yang te-nang. Maaf untuk semua masalah yang harus selalu berakhir dengan tanpa penyelesaian. Maaf karena aku belum berani bicara, mengutarakan apa mauku tapi tetap mendengar apa maumu, maaf karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, maaf karena aku tidak memedulikan apapun yang harusnya kita selesaikan bersama.

Tentang egoku, egomu, ego kita.
Seberapapun kita berusaha untuk membuangnya jauh-jauh, aku percaya, lama-lama, dia bakal datang lagi. Bakal mampir lagi. Jadi aku gak akan minta kamu untuk berhenti memaksakan kehendak. Aku juga gitu.
Mungkin yang perlu kita lakukan sekarang ini adalah belajar untuk memahami. mendengarkan. Dan... mengerti. Menyelesaikan semuanya berdua, bukan dengan saling menjauh. Karena aku adalah bagian darimu. Kamu bagianku juga.
dan ego.. adalah penengah yang membuat kita belajar banyak. yang menuntut agar kita bisa lebih memahami satu sama lain. Setuju?

Malam ini, pertama kalinya aku merasa senang pernah bergelut dengan ego. Berbicara tentangnya, mengenalnya dengan melihat hal baik yang dia lakukan padaku, padamu, pada kita.
Malam ini aku bicara tentang ego untuk yang pertama kalinya, setelah sekian lama kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tidak merasakan apapun yang sebenarnya ada, hanya karena kita tidak ingin menjadikannya benar ada. Bukan menyelesaikannya. Bukan meluruskannya.
Egoku, egomu, ego kita. :')










Selasa, 16 April 2013

Coretan Terakhir Krayon Biru-mu

"Gue nggak mau pisah sama lo.." dia masih belum mengalihkan tatapannya dari mataku, sementara aku berusaha untuk menghindari mata itu. Aku meraih kerikil kecil disamping tempat aku duduk dan melemparkannya sejauh mungkin sambil menutup mata.

"Lebay."

"Gue serius.."

"Iya gue tau," kataku cuek. Aku memaksakan diri untuk tersenyum setelah mengatakannya, lalu menepuk bahunya beberapa kali. Dia menelan ludah dan balas menatapku dalam-dalam. Tatapan yang selama ini selalu bisa menghangatkan, selalu bisa meneduhkan, dan selalu bisa mewarnai segalanya sejak pertama kali aku menyukainya. Menyukai mata itu. Tapi sore ini, aku tahu bahwa aku tidak akan bisa merasakan keteduhan itu lagi dari matanya. Sore ini, mata itu justru menggoreskan warna lain di perasaanku. Warna yang entah bisa kunikmati atau justru akan berusaha kuhapus.

Kamis, 07 Februari 2013

Ini Bukan Hanya Tentang Aku.

Jika tidak dari hati, aku tidak akan berani menuliskannya di sini. Ini tentangmu, tentang orang yang dengan sukses menutup lembar ceritaku dulu. Orang yang berhasil meraihku lagi. Orang yang dengan setia menungguku mengembalikan hampir semua kepercayaan yang nyaris meluntur. Walaupun aku belum bisa memastikan sepenuhnya bahwa kedatanganmu kemarin sampai hari ini memang benar-benar untuk menggantikannya atau hanya sekedar lewat dan kembali menjatuhkanku lagi, aku belum dan tidak akan memedulikan itu.

Mungkin memang ada beberapa hal yang masih belum bisa kusesuaikan darimu, masih membuat aku bertanya; seserius apa kamu mau mengenalku? Pertama, sifat dan sikapmu yang kadang tidak kumengerti. Aku sudah belajar memahamimu, mengerti tentang apapun yang berkaitan denganmu, dan berusaha menyelami banyak tentang hal-hal yang tersembunyi dari sikapmu. Tapi nyatanya, justru malah aku yang selalu membuatmu kesal. Isn't it?
Maaf untuk itu, aku sama sekali nggak punya maksud membuatmu kecewa dan semacamnya. Mungkin hanya caraku memahamimu yang salah. Mungkin hanya caraku menyampaikan maksudku yang belum baik. Tapi sampai detik ini, aku memaknai kehadiranmu sebagai bagian paling 'mengesankan' dari perjalananku yang (mungkin) masih panjang.

Minggu Depan, Ditempat Ini





Nada menatap ke jendela kaca yang dipenuhi titik-titik air. Hujan deras yang turun sejak tadi belum juga berhenti, sementara cup berisi Cappucino Latte yang dipesannya sudah ludes setengah jam yang lalu. Nada menopang dagu, menghela napas cepat dan membuangnya lambat-lambat. Rinai hujan turun berirama, menyenandungkan sebuah ketenangan ke balik hati Nada yang dibuat kacau oleh peristiwa bulan lalu. Ramadhan dan Diana. Halah! Sudahlah.  Ini minggu ke-tiga sejak Nada rajin berkunjung ke kafe ini. Memesan cappucino latte dan memandangi jalanan dari balik jendela. Hanya itu yang dilakukannya setiap kali datang kemari. Tapi minggu ini, ada hal lain yang membawanya datang lagi. Entah apa. Nada memalingkan wajah dari jendela, mengedarkan wajah ke semua arah ketika..
“Boleh, aku duduk disini?” Nada menoleh dan mengerutkan dahi. Seorang cowok berkaus abu dengan jeans hitam yang dua minggu terakhir juga dijumpainya ditempat ini tersenyum kecil, seraya mendaratkan tubuh didepan Nada sebelum Nada meng-iyakan. Nada balas tersenyum, tapi  detik berikutnya wajahnya kembali fokus pada rintik hujan diluar sana.

Cerber; Diary Adita *part 2

     1 Februari 2012
      Apaaaaa?
Enam bulan? Selama ini? Yup. Ini bulan keenam dimana gue masih terus usaha buat deketin Zaki. Dan hasilnya.... nihil. Gue belum juga sukses bikin dia noleh ke gue sedikiiiiiiiiiit aja,  kecuali kalo bahas masalah foto, boxer, atau kelas bahasa. Itupun harus gue yang minta ketemu duluan. Satu hal yang gue anggap sebagai salah satu ‘keberhasilan’ adalah dengan suksesnya gue minta nomornya, walaupun gue harus ngebujuk dan maksa-maksa dikit tujuh hari tujuh malem + mandi kembang segala #abaikan. Setiap pagi dan malem gue rajin sms-in kata-kata penyemangat yang gue salin dari temen-temen di fakultas sastra indonesia, dengan tujuan dia mau bales sms gue. Tapi nothing. Gue juga berusaha bikin dia tertarik sama gue dengan bawain dia buku-buku tentang fotografi (kalo mau bahas soal boxer, gue takut diajak praktek langsung dengan berantem. Wiiih, bergidik duluan gue. Mau tanya soal bahasa, takut dia malah ngajak gue ngobrol bahasa inggris, padahal kemampuan gue ngomong bahasa inggris cuman sebatas ‘ay lop yu’).

Sabtu, 02 Februari 2013

Cerber; Diary Adita *part 1


16 September 2011
      Namanya Zaki. Cowok dengan kacamata berbingkai hitam yang sukses menarik perhatian gue. Cowok sok cool yang pendiam. Benar-benar sangat pendiam. Dia berbicara hanya jika ada perlu atau jika ditanya lebih dulu. Itupun jika pertanyaannya penting –menurut dia- Apapun alasannya, tapi cowok itu beda dari cowok-cowok lain yang gue kenal, termasuk mantan-mantan gue.
      Pertama kalinya gue ketemu dengan Zaki adalah waktu kuliah pertama gue. Senin pagi, awal bulan Agustus kemarin. Waktu itu gue bingung cari ruangan, terus ketemu Zaki yang kebetulan jalan ke arah yang sama. Gue nekat nanya.
      “Maaf Kak. Ruangan A.2.2 di mana ya?” tanya gue. Waktu itu gue sama sekali belum tahu kalo Zaki tipe cowok yang bener-bener diem! Zaki noleh, dia betulin letak kacamatanya sambil narik sebelah alisnya.
      “Belok kanan, naik ke atas..” sahutnya singkat, kemudian berlalu di tangga, dan menghilang. Gue diem sebentar. Setengah shock dengan perlakuan dingin cowok itu setelah kami berpisah. Sebelum ini, mana ada cowok yang berani-beraninya bikin gue gondok setengah mati seperti ini? Sejak saat itu gue naruh janji dalam hati, “GUE BISA BIKIN LO NGEJAR-NGEJAR GUE..”