Jumat, 14 Desember 2012

Ada Dua


ADA DUA

     “Hmm..” Vita manggut-manggut meng-iyakan, padahal sebenarnya dia ngantuk berat.
     “Vit, lo dengerin gue nggak, sih?” Tery mengguncang tubuh Vita beberapa kali, merasa Vita tak merespon ceritanya.
     “Iya. Trus lo maunya gimana?” Vita bertanya. Tangannya masih menopang dagu di atas meja belajar Tery, sambil sesekali menguap.
     “Jadi lo bantu gue cari hadiah buat dia, ya? Besok.. lo latihan pagi, kan?”
     “Deu.. emang lo udah jadian, ya, sama tu cowok? Ampe bela-belain beli hadiah,” komentar Vita. Sudah hampir setengah jam Vita mendengarkan curhatnya Tery, yang katanya lagi naksir cowok di tempat kursus bahasa Inggrisnya.
     “Ya belum. Tapi gue pengen ngasih tau, kalo sebenernya gue tuh care sama dia. Abis, dia orangnya cuek banget sih. Cool. Kayak kulkas.” Tutur Tery antusias. Walaupun matanya sudah hampir 5 watt, Vita masih menanggapi cerita Tery. Dan dengan kesadaran yang sebentar lagi melenyap, Vita membayangkan, cowok seperti apa yang saat ini lagi ditaksir Tery? Bulan kemarin saja dia masih menyukai Satria, cowok blasteran Subang-Korea yang nge-kost di kost-an sebelah, padahal dia baru seminggu putus sama Bang Angga. Berbeda dengan Vita, yang semenjak ditinggalin gitu aja sama cowok pertamanya, Dito, jadi sedikit jaga jarak dengan cowok.
     “Mikirin cowok tu sama aja nyiksa diri!” Kata Vita saat Tery menanyakan mengapa Vita belum juga bisa lupain Dito, padahal kejadiannya udah lama banget. Terlebih lagi kalau Vita inget dengan Akmal, anggota karate yang menjadi musuhnya selama ikutan olahraga itu.
     “Jadi, besok lo harus temenin gue. Jam dua belas. Ya.. Vit.. Vita.. ihh, kok tidur, sih?”

Sabtu, 10 November 2012

Empat Tahun!


"Jadi, kamu masih mau nunggu?"

"Yup"

"Sampai kapan?"

"Sampai dia balik ke sini.."

"Kalo nggak?"

"Dia pasti balik!"

"Tapi kalo.."

"Tama gak mungkin ingkar janji. Dia minta aku tunggu empat tahun, jadi.. aku percaya gak lama lagi dia pulang."

"Pulang... untuk kamu?"

Aku menghela napas panjang. Pertanyaan itu (lagi-lagi) menohok ulu hatiku, entah untuk ke berapa ratuss kalinya. Pertanyaan yang sama dari mulut yang berbeda. Tenggorokanku tercekat ketika aku mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan Ami buatku. Kenapa orang-orang sepertinya meragukan Tama? Aku bahkan mengenal pria itu lebih dari 5 tahun. Ia pergi bukan berarti ia meninggalkanku, kan? Empat tahun lalu ia pamit padaku untuk menyelesaikan study-nya di Yogyakarta. Dan memintaku untuk menunggunya kembali, tahun ini.

Kamis, 18 Oktober 2012

Dibalik Cueknya Faesal




"Gini nih, susahnya pacaran sama anak IPA!"
"Susah apanya?"
"Ya susah. Guenya jadi dicuekin. Pelajaraaaaan mulu yang diurusin."
"Lho, emang harusnya gitu, kan?"
"Tapi gak gini-gini juga, kali. Emang gue boneka, apa, yang diajak maen kalo lagi pengin doang?"
Trisa menghela napas. Memalingkan wajahnya dari buku tulis ke arah Nunu. Yang ditatap masih memasang tampang be-te. Manyun sambil menopang dagu dengan telapak tangan.
"Kenapa lagi sih, Faesal lo?" tanyanya, setelah meletakkan ballpoint dan benar-benar mengkonsentrasikan mata pada Nunu.
"Ya gitu. Gue minta temenin ke toko buku, alesannya banyak tugas. Trus dia bilang, 'kamu kan udah gede, kenapa harus ditemenin segala?'' bete, kan?"
Trisa ngakak, tapi segera menutup mulut saat mata Nunu membulat ke arahnya.
"Dia nggak salah, kan?" komentarnya cuek.
"Huuu. Malah dibelain. Capek gue kalo lama-lama gini."
"Nunu, kalian itu pacaran udah hampir 3 bulan, lho. Lo juga pasti ngerti, kali, kalo sifatnya  begitu.."
"Tapi kalo terus-terusan kayak gini, guenya juga yang makan ati!"
"Serba salah ya hidup looo Nu... Nu. Waktu pacaran sama Exel, lo ngeluh sama sikap overnya. Giliran dapet yang cuek, mencak-mencak lagi. Mau lo apa lagi sekarang?"

***

Minggu, 14 Oktober 2012

The Doll



“Kamu baik-baik aja, Nya?” tanyaku. Kuarahkan mataku kepada Vanya yang masih sesenggukan sambil memeluk lututnya. Airmata jatuh satu-satu, membuat aliran kecil di kedua pipinya yang tembam dan putih bersih. Vanya menengadahkan kepala ke atas sambil mengusap airmata dengan telapak tangannya. Setelah itu ia menarik napas panjang. Tangannya terulur ke arah sebuah tanaman dan memelintir ujung daun. Begitulah Vanya. Vanya dan keadaan hatinya yang tidak baik.
“Lagi-lagi, cewek lagi!” gerutu Vanya. Kali ini ia meremas ujung daun sampai beberapa helai daun dari tanaman itu berguguran tak berbentuk.
“Ha, kali ini, cewek yang mana lagi?” pertanyaanku terhenti ketika dari arah pintu muncul sosok seorang cowok dengan T-shirt hijau tosca-nya. Jeans hitam dan kacamata kotak menambah cool penampilannya. Tapi apa yang bisa dilihat dari dia, sih, selain wajah tampan dan hartanya? Hatinya NOL besar, aku tahu itu. Aku yang jadi saksi atas perjalanan cintanya sebelum dengan Vanya! Sebelum aku mendarat dirumah ini dan jadi teman setia gadis manis ini.

Kamis, 11 Oktober 2012

Salah Pada Awalnya


"Kyara. Denger. Aku kakak kamu. Kamu lebih percaya cowok itu daripada aku?" aku membentak, mencekal pergelangan tangan Kya yang terus merengek meminta aku melepaskannya. Tapi aku tak peduli, aku terus memaksa Kya untuk tetap dirumah, tidak menemui cowok itu. Apalagi secara tidak sengaja aku mendengar percakapan itu ditepi jalan saat aku pulang kuliah.
"Kakak cuma cemburu. Itu aja. Alasan Kakak nggak cukup kuat untuk buat aku lepas dari dia. Dia nggak pernah bikin aku sakit hati atau apalah itu. "
"Belum sekarang! Nanti. Nanti kamu pasti.."
"Itu cuma alibi! Kakak masih suka, kan, sama Ragil?!" Kya memotong kalimat dan mengibaskan tanganku kasar. Nadanya terdengar seolah ia ingin membalas atas apa yang pernah aku lakukan padanya. Dan aku memang menyesal telah berlaku seperti itu padanya, terlebih lagi, menyesal karena...
Kya membetulkan baju dan mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai. Sekali lagi mematut diri didepan cermin sebelum ia pergi dengan membanting pintu. Aku hanya membuang napas cemas. Pikiranku melayang lagi pada insiden itu.

***

Senin, 08 Oktober 2012

Jaket Cokelat

Ah, ada lagi!

Aku menghentikan langkah. Menelan ludah dan menatap ke arah cowok itu tanpa berkedip. Ya Tuhan, ini keajaiban! Aku bertemu lagi dengannya setelah sebulan lamanya aku mencari cowok itu. Pangeran baik hati yang sempat membuatku tersungkur ditepi lapangan basket kampus. Beberapa detik mataku terpaku pada satu sosok yang tengah men-dribble bola itu. Rasanya kakiku tertimpa beban berat sehingga aku tak bisa melangkah ke manapun. Aku menghela napas kuat-kuat. Ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar tiba-tiba saat aku menyadari kalau cowok yang sekarang jaraknya hanya beberapa meter dariku ini adalah benar. Cowok yang membuatku jatuh sebulan lalu. Duh, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku mendekap diktatku semakin erat, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghampirinya. Bertanya siapa nama dan dari fakultas mana. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Saat bola basketnya menghantam dahiku waktu itu, dia menolongku dan mengucapkan maaf dengan wajah sangat menyesal. Tapi tidak menyebutkan namanya waktu dia memapahku dan membawaku ke ruang UKS. Sejak saat itu aku jadi selalu terngiang-ngiang tentang wajah dan sikapnya.

Jumat, 21 September 2012

Gema dan Talaya


Talaya menutup mata sekali lagi. Berharap kalau apa yang ada dihadapannya saat ini bukan hanya mimpi yang akan segera menghilang ketika ia bangun nanti. Beberapa detik kemudian, matanya membuka. Dan sosok itu masih berdiri dihadapannya. Setengah menunduk, setengah tersenyum.

"Gema?" Talaya bertanya memastikan. Sekali lagi, ia berharap kalau ini bukan halusinasinya, bukan 'hanya' bayangan pribadi yang sudah ia tunggu beberapa waktu. Sosok itu mengangguk. Kini ia mulai mengangkat wajah dan menatap Talaya yang masih bengong sendiri di ambang pintu.

"Aku janji! Aku mau perbaiki semuanya."

"Perbaiki? Berapa ratus kali kamu janji-janji kayak gitu ke aku, hah? Kamu pikir janji aja cukup untuk perbaiki semuanya?"

"Tapi... aku nyesal sekarang. Sumpah, aku nggak akan ngulang kesalahan itu lagi."

"Udah, cukup! Aku capek. Aku mau tenang. Sekarang, tolong jangan ganggu aku. Aku nggak mau kuliahku terganggu gara-gara kamu."

Nyali Talaya ciut seketika. Inikah Gema yang sesungguhnya? Inikah Gema yang dulu menyayanginya? Inikah... beberapa detik penuh Talaya berusaha menangkap apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Gema. Otaknya terlalu shock untuk berpikir tenang saat ini. Yang ada dihatinya hanyalah... aku nggak mau kita pisah. Oke, aku sadar aku udah banyak nyia-nyiain kamu. Tapi, aku mau ngulang semuanya dari awal. Itu saja cukup.

"Aku mau ngulang semua dari awal, Gema. Please.."

"Ulang kata kamu? Udah sering aku ingatin kamu, apa pernah kamu dengar aku? Kalo iya kamu bener-bener sayang aku, kamu nggak mungkin buuat aku stress mikirin kamu terus! Aku juga mau tenang. Jangan sampai IP-ku semester ini turun cuma gara-gara mikirin kamu. Ngerti? Jangan EGOIS kamu!"

Selasa, 07 Agustus 2012

Kamu Bayangan Dia-ku, Aku Bayangan Dia-mu.

"Ada yang lagi kamu pikirin?"

Aku mengangkat kepala, menatap sosok yang saat ini berdiri tepat dihadapanku, kemudian tersenyum dan menggeleng pelan.

"Nggak ada," sahutku singkat. Dia tersenyum. Senyum yang masih sama seperti dua tahun lalu. Meski sekilas aku merasa ada yang berbeda pada dirinya sekarang, setidaknya senyum itu masih sehangat dulu. Aku balas tersenyum. Lalu bangun dari dudukku dan menepuk bahu-nya.

"Yakin?" dia bertanya lagi. Kali ini sambil mengerutkan dahi dan menatapku dengan mata yang sedikit di sipitkan. Aku mengangguk meyakinkan. Berjalan mendahuluinya didepan.

"Ke mana kita?" tanyaku tanpa menoleh lagi. Jeda beberapa detik penuh sampai kemudian,

"Kebun teh..." tiba-tiba langkahku berhenti. Seketika aku menoleh dan menatapnya lagi. Dia mengangkat kedua alisnya. Sejurus kemudian, dia memamerkan sederetan gigi putihnya. Memasang ekspresi wajah polos, seolah berkata, "kenapa? Ada yang aneh?"

Tidak banyak bertanya, aku kembali meneruskan langkah. Berjalan ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari halaman rumah. Benar, ada yang berubah pada sosok laki-laki ini. Sebelumnya, mana mau dia pergi ke tempat itu? Tempat yang paling kusukai...

@#$%^&*

Jumat, 27 Juli 2012

Unforgettable Moment : When I Was In "Level Factory Outlet"

Moment yang gak akan pernah terlupakan adalah ketika aku mulai menyusuri dunia 'yang sesungguhnya'. Lepas sementara dari beban otak semasa kuliah, kuputuskan untuk menghabiskan masa-masa kebebasanku dengan bekerja. Setidaknya supaya aku 'gak jamuran' dirumah, sementara teman-teman lain memilih untuk pulang ke tempat asalnya masing-masing. Berhubung aku gak punya kampung halaman, kerja adalah pilihan terbaik menurutku.

Aku mulai menyusuri satu tempat ke tempat lain, cari info sana-sini tentang lowongan pekerjaan selama 3 hari setelah libur. Hasilnya nihil. Tidak ada satupun panggilan yang mampir ke ponselku. Sampai satu hari, dengan sepupu yang kebetulan mau cari kerja juga, iseng-iseng aku mendatangi sebuah factory outlet baru di sekitaran jl. Riau. Dua hari setelah menyimpan lamaran, kami dipanggil. Interview. Tapi dasar emang bukan rezeki. Sepupuku diterima bekerja disana. Aku tidak. Mungkin itu bukan tempat yang tepat buatku. Baiklah. Walaupun agak sedikit kecewa *nangis darah, tapi aku nggak berhenti sampai di sana.

Selasa, 29 Mei 2012

Jika Nanti

Seutas tali memadu simpul tawamu duhai kawan. Simpulnya jatuh dipelupuk nurani yang tertambat cinta. Cinta berkawan bersama nikmati semusim masa. Disela kehangatan berkawan adalah aku pandang, satu persatu garis wajah duhai kawan penuh harapan. Andai saja slalu bersama setiap masa sehati. Suratan Tuhan kita disini menapaki cerita bersama. Cinta berkawan karna sehati dalam kasih Illahi. Tepiskan hal yang berbeda agar kisahmu teramat panjang.Simpan rapi harapan berkawan selamanya
-edCoustic-


Ingat, kita pernah menyanyikannya bersama?
Sampai hari ini aku masih menyimpan lirik itu sebagai catatan bahwa kita tidak hanya berteman ketika kita menyanyikannya dulu, tetapi sampai kita memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Seperti saat ini.
Satu yang kusyukuri atas kita adalah, meski kamu dan aku sudah memiliki kesibukan masing-masing, tapi kita masih tetap bisa bertemu. Yep, bercanda, bercerita, tertawa atau bahkan menangis bersama. Ingat ketika masih berseragam putih merah? Dulu, jangan tanya seberapa sering kita berbagi cerita, tapi tanyakan : seberapa sering kita bertengkar?
Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari betapa bangganya aku punya tempat berbagi sepertimu.

Jumat, 20 April 2012

Sepotong Senja Bersama Iren..

"Kamu lebih cantik dari siapapun, waktu kamu senyum.." katanya sambil menepuk bahu Iren. Yang disentuh bergeming. Tapi napasnya mulai berdetak tidak beraturan. Dia orang pertama yang mengatakan itu padanya. Setelah sekian lama, setelah kepercayadiriannya memuai entah ke mana, dan setelah Iren berjanji tidak akan memedulikan atau bahkan memercayai apapun yang dikatakan orang tentangnya. Baginya, semua cuma basa-basi, cuma supaya Iren nggak banyak ngabisin waktu sendirian. Cuma supaya Iren nggak terlalu larut dalam dunianya sendiri. Dan saat ini, walaupun akalnya masih berpikir bahwa semua yang berada disekelilingnya cuma menyapanya sebagai tanda 'kepedulian palsu', tapi nuraninya menentang habis-habisan.

"dia memang ngomong jujur. Nggak ada unsur apapun dalam kalimatnya tadi.." Iren menarik napas panjang. Kedua kuku jarinya beradu. Matanya tertunduk, masih belum berani balas menatap langsung Rio yang duduk didepannya, menatapnya dengan bola mata sehitam malam. Iren harus tetap berhati-hati. Ia tidak ingin kejadian itu kembali terjadi. 

Kamis, 12 April 2012

Matamu Mataku..

"Aku butuh waktu. Buat mikir.."

"Apa lagi yang mau kamu pikirkan.?"

"Tentang aku, tentang kamu... dan tentang.."

"Kita? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kamu nggak perlu pikirkan apapun tentang kita? Aku sudah denganmu, kamu sudah denganku. Itu saja. Lalu apa lagi? Ada yang kurang?" aku tersenyum dan menunduk, menghindari tatapanmu yang setajam mata elang. Entah kenapa, aku selalu takut jika mataku harus bertemu dengan matamu belakangan ini. Ada semacam kekuatan dari dirimu yang selalu berhasil membuatku berkata jujur padamu, tidak menutupi cerita apapun apalagi berbohong.

"Hmm.. nggak ada," sahutku singkat. Aku semakin melebarkan senyum ketika mendengar jawaban itu. Tapi ketika aku mengangkat wajah dan menatapmu, ada segaris keraguan yang kutangkap dari sorot matamu kali ini. Tentang apa itu, aku tidak sanggup menerkanya. Karena aku takut kalau terkaanku itu tepat. Dan, kamu tahu, belakangan ini aku semakin tidak mau bertatapan langsung denganmu karena apa? Aku tetap tidak bisa menebak apa yang ada di hatimu lewat tatapan matamu itu.

"Maaf ya.." kamu menghampiriku tiba-tiba, lalu mencengkeram pundakku agak keras. Sakit, tapi aku merasa nyaman saat kamu melakukannya. Aku tahu kamu pasti mengatakan ini. Setiap bertemu denganku beberapa waktu ini, matamu selalu bermain liar, gelisah. Menanti yang entah apa, menutupi tapi kamu bersikap pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Matamu, mata yang biasanya menarik semua yang ada, bahkan yang tersimpan didalam hati terkecilku, mata yang tidak pernah membiarkanku berbohong, kini malah balik mendustaiku. Ada apa? Boleh aku bertanya?

"Iya," aku tidak ingin bertanya alasan kamu meminta maaf padaku. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir sebentar, seperti pertanyaanku di awal percakapan kita. Ada beberapa bukti yang bisa aku berikan jika kamu bertanya kenapa aku harus meluangkan waktu sedikit untuk "sendiri". Bukan hanya tentang aku, kamu, dan kita. Awalnya aku melihat semua itu dari matamu. Melihat sesuatu dengan mataku. Dengar, kamu yang pertama kalinya mengajari aku bahwa mata tidak akan pernah mampu berbohong, seberapa besarpun kamu menutupi semuanya baik-baik. Mata akan selalu bisa menebak apa yang terjadi dengan hatimu. Sekarang, ada apa dengan matamu?

Aku mendongak. Kutegakkan wajahku, menatapmu lebih dalam lagi. Aha! Sekarang, akhirnya aku bisa melihat titik dimana kamu tidak akan bisa mengelak apapun. Kamu menangis. Ya Tuhan, benarkah ini kamu? Benarkah? Benarkah? Aku menatapmu dengan sikap menantang. Baru kali ini aku berani menatapmu seperti ini. Biasanya aku takut kamu akan menebak apa yang kupikirkan lewat mataku. Tapi tidak setelah kamu melontarkan kata maaf tadi. Aku sudah tahu sejak awal, sebenarnya. Hanya saja aku terlalu takut untuk mengatakannya.

"Kamu kenapa?" tanyaku. Kamu hanya menyunggingkan senyummu untuk menjawabnya.

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan?"

Diam, aku menelan ludah pahit. Oke, jadi beberapa waktu ini, aku tahu kalau kamu masih menghubungi gadis itu. Aku tahu, bahwa kamu masih menyimpan sesuatu tentangnya yang aku sendiri tak pernah ingin tahu tentang apa itu. Matamu selalu berbinar setiap kali melihatnya lewat dihadapanmu. Tolong, jangan mengelak karena ketika kamu melakukan itu, aku ada disana. Melihat langsung dengan mataku. Aku lalu mengangguk. Kukeluarkan selembar foto yang terletak didompetku. Aku menunjukkannya padamu.

Kini giliran kepalaku yang bermain dengan imajinasinya. "Kita? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kamu nggak perlu pikirkan apapun tentang kita? Aku sudah denganmu, kamu sudah denganku. Itu saja. Lalu apa lagi? Ada yang kurang?" entah sudah berapa puluh kali kamu mengatakan ini padaku. Walau aku tetap merasa senang mendengarnya, tapi saat aku ingat bahwa kamu dan matamu, juga hatimu menyimpan sesuatu yang lain tentang kita, aku tidak pernah menganggap bahwa kata-kata itu tulus dari lubuk hatimu. Dan iya, itulah alasan kenapa belakangan aku tidak berani menatap matamu. Selain karena aku takut kamu bisa menebak kecurigaan ini, aku takut aku akan sakit. Karena kamu menyukai teman dekatku beberapa waktu ini. Itu juga yang menjadi alasan kenapa aku meminta waktu untuk berpikir. Kamu mau menjalaninya denganku, atau dengan sahabatku?

"Maaf.." kamu merebut foto itu dari tanganku. Foto yang kutemukan dibalik diktatmu. Fotonya. Sahabatku. Jika mata ini tidak menemukannya saat itu, mungkin aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya membuat matamu gelisah belakangan ini. Setelah kamu sobek hingga hancur, kamu kembali menatapku. Kali ini, yang kudapati adalah pancaran kejujuran. Ketulusan. Aku mulai berani menatapmu sekarang. "Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Aku tetap denganmu. Janji. Ini nggak akan terulang lagi."

=))


Rabu, 11 April 2012

Ceritaku Ceritamu


Aku sedang merangkai cerita denganmu, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tidak akan membiarkan oranglain menuliskan cerita baru tentang aku atau tentang kamu. Karena yang kamu tahu, aku dan kamu adalah sutradara sekaligus pemeran utama dalam cerita ini.
Walau aku sadar bahwa lama-lama kisah ini pasti akan ada akhirnya juga. Entah ending seperti apa yang kelak akan kita buat demi menciptakan sebuah cerita yang berkesan dikehidupanku atau dikehidupanmu. Dengan atau tanpaku, dengan atau tanpamu, dan siapa sih orang yang tidak menginginkan akhir bahagia? Begitu juga denganku. Entah bahagia itu ketika aku terus bersamamu, atau malah ketika aku lepas dari dirimu. Kurasa, jawabannya tidak saat ini. Tapi sekarang aku hanya ingin menikmati masa-masa di mana hanya aku dan kamu yang jadi pemerannya. Masa di mana bahagia itu tidak perlu dilukiskan dengan hal-hal yang dapat dihitung. Cukup dengan tersenyum dan menangis. Bahagia atau kecewa. Senang atau sedih.
Tanpa skenario dan naskah, tapi cerita ini berjalan cukup baik, bukan? Ada pengenalan tokoh, sekali lagi, aku dan kamu, ada pengenalan cerita, cerita kita, cerita aku dan kamu. Tapi, kapan kita akan mencapai klimaks? Kapan ada penyelesaian dari setiap konflik yang (sadar atau tidak) akan terjadi juga pada kita? Dan bagaimana akhir dari cerita tanpa alur, tapi mengalir ini?
Waktu jawabannya. Karena mungkin aku menuliskan ini terlalu cepat. Ini masih awal cerita, perjalanan masih panjang :D

Selasa, 10 April 2012

Pe-eR

Waktu baca ada namaku di blog Priceless Things, kagetnya... banget. Waw, aku di kasih PR. Hihihi, pas liat pertanyaan-pertanyaannya... makin kaget. Tapi ... Hmm, mikir-mikir dulu. Baru pertama kali nih dikasih pertanyaan kayak gini. Jadi dag-dig-dug jawabnya.. saking gemeterannya, hidungku sampai berdarah waktu nulis ini #gak nyambung

Kamis, 05 April 2012

Elegi Alea


"Kalo kita suka, ya kejar sampai dapat.." katanya saat aku melontarkan pertanyaan yang sama. Aku sudah pernah bertanya tentang 'kenapa dia bisa bersamaku sampai saat ini?' berpuluh-puluh kali. Dan dia selalu memberiku jawaban yang sam. Tapi entah kenapa, saat ada hal yang mengganggu kepalaku, aku selalu bertanya soal itu. Refleks. Mungkin karena aku berusaha untuk melupakan hal-hal tidak nyata yang merusak jalan pikiranku dengan mendengar jawabannya itu.

"Nah, waktu sama Atha, kok bisa nggak sampai dapet?" dia menghela napas dan menatapku.

"Dia udah bikin aku kecewa," sahutnya tipis.

"Bukannya aku juga pernah, malah sering bikin kamu kecewa?"

"Dia nolak aku diem-diem.."

"Bukannya aku.." aku diam, kugantung kalimatku.

"Kamu bukan nolak. Tapi minta aku nunggu, kan?" Potongnya cepat. Aku kembali melamun. Seketika aku sadar bahwa percakapan ini memang tidak bermakna, tapi cukup untuk membangunkan rasa ketidaksukaannya. Dia berulangkali menjelaskan padaku bahwa dia tidak suka aku membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu. Itu terdengar seolah aku meragukan keseriusannya. Dan aku malah terus melakukan itu. Berulangkali. Seharusnya dia marah, tapi yang dilakukannya malah tersenyum, menjawab pertanyaanku dengan baik-baik. Bukannya tenang, aku jadi merasa bersalah akhirnya. Perasaan bersalah itu bercampur menjadi satu dengan pikiran-pikiran lain yang melayang dan membentuk sebuah lukisan abstrak yang tidak dapat kujelaskan.

"Kok ngelamun?"

Aku tersentak. Seketika aku bangun dari lamunanku dan balas menatapnya sambil tersenyum.

"Ada apa?"

"Nggak ada," sahutku, padahal aku tahu aku tidak jujur, dan pandangan matanya bisa menangkap ada kebohongan yang kututurkan dalam ucapku tadi. Perasaan bersalah lalu mendera, memukul-mukul perasaanku dengan sebuah godam tak kasat mata.

***

Hal itu terus mempermainkan pikiranku. Aku bertemu dengan sosok yang dulu pernah singgah dihatiku saat bersamanya. Dia tersenyum dan menyapaku! Tersenyum padaku. Menyapaku. Ini nyata. Tuhan, kenapa perasaan ini menjalar lagi ke hatiku? Cukup. Ini memang bukan yang pertama kalinya, dan seharusnya dia-ku (yang sekarang) berhak untuk tidak memberiku kesempatan (lagi), setelah dia mengetahui cerita itu. Tadi dia hanya tidak tahu kalau aku bertemu lagi dengan masa laluku. Jika aku katakan, aku tahu dia akan berbicara begitu lembut padaku. Hal itu akan semakin membuatku merasa sangat bersalah. Maka aku memilih diam dan berkata tidak ada apa-apa. Tapi kenapa aku malah benar-benar semakin merasa bersalah sekarang? Pertemuan singkat tadi tak pelak membuat waktuku tersita oleh sebuah perasaan yang entah apa. Aku diam, kutarik nafas dalam-dalam sebelum aku memejamkan mata dan pulas. I'm OK. Aku akan baik-baik saja, pikirku. Menenangkan diri dengan tidur sepertinya akan jauh lebih baik. Lagipula semalam aku tidur terlalu larut. Kantuknya masih menyisa sampai siang ini.

Bruno Mars berteriak nyaring saat mataku masih terlalu berat untuk terbuka. Aku mengerutkan dahi saat deretan nomor tidak kukenal tertera di display HP-ku. Siapa? Mungkinkah...

"Halo," sapaku hati-hati.

"Lea, apa kabar?" suara itu! Aku langsung membulatkan mata. Dulu aku dan masa laluku itu tak sempat saling bicara, karena kami tidak yakin bahwa kami memiliki perasaan yang sama. Tapi setelah aku memiliki dia-ku (yang sekarang) dan dia memiliki oranglain, barulah kami sadar... bahwa kedekatan kami dulu karena kami.. ah, sudahlah!

"Aku.. baik. Kamu gimana? Apa kabar, cewek barumu?" tanyaku. Perasaan bersalah semakin menggantung. Seharusnya aku tidak mengangkatnya tadi. Seharusnya aku tidak bicara dengannya karena ini hanya akan membawaku pada kenangan-kenangan indah yang terpenggal tanpa akhir dengannya, dan itu akan membuatku larut dalam hal hal seharusnya sudah kulupakan. Ah, mungkin ini alasan kenapa dia-ku yang sekarang tidak suka aku terus membahas masa lalunya. Dia tidak ingin menyakitiku. Ah, tidak ingin menyakitiku? Astaga!

"Haa, sekarang udah nggak. Kamu sendiri?"

"Baik-baik aja," kataku datar.

"Ah, padahal tadinya aku.. aku ingin selesaikan yang belum sempat kita selesaikan beberapa waktu lalu," dadaku bergetar hebat. Tanganku gemetaran. Dulu aku memang benar-benar menyukainya. Sangat. Dan mungkin masih sampai saat ini. Buktinya aku masih saja dag-dig-dug berbicara dengannya padahal kita tidak saling bertatap muka. Kalau saja aku masih sendiri saat ini, mungkin aku bisa dengan mudah mengatakan "I do" untuk menjawab apa yang baru saja dikatakannya.

"Kenapa selesai ceritamu yang sekarang?" Ops! Aku segera menutup mulut. Salah ucap. Aku khawatir percakapan ini akan semakin memanjang dan akhirnya aku masuk ke dalam jerat cerita lamaku.

"Karena selama dengannya, yang aku pikirin cuma kamu." Jleb! Sedalam sumur. Aku mendesah. Tiba-tiba aku merasa gamang. Luar biasa gamang. Ini pertama kalinya kami bertemu kembali setelah setahun penuh kami tersekat jarak, waktu dan ruang. Tanpa komunikasi. Tapi ternyata dia masih menyimpan nomorku. Kenapa harus sekarang menghubungiku lagi?
Sejam berlalu. Dia bercerita banyak padaku dan aku larut mendengarkan. Hingga sampai pada bunyi biip, SMS masuk. Aku jadi kaget.

"Km kmna? Aku telp. daritadi sibuk. Lg keluar? Baik2 aja, kan? Tumben gak ngabarin.." 

Aku tertegun membacanya. Ya Tuhaaan, kenapa aku bisa sampai selupa ini? Bayangannya kembali bermain dikepalaku. Dia-ku yang setahun terakhir ini mengisi cerita yang sempat terpenggal. Sosok yang menurutku nyaris mendekati sempurna. Hap! Dia yang menjaga perasaanku. Dia.. dia yang... hari ini kembali aku buat tidak suka dengan perkataanku, dan yang nyaris aku buat kecewa jika dia tahu apa sebenarnya yang kurasaka hari ini.
Klik!
Aku mematikan telepon. Tak peduli pada dia lama-ku yang tiba-tiba datang. Hari ini. Hanya hari ini setelah sekian ratus hari. Tidak seperti dia-ku yang sekarang. Yang selalu ada, bahkan ketika aku tidak butuh.
Aku menekan nomor telepon yang sudah kuhapal diluar kepala.
"I LOVE YOU.." kataku saat dia baru saja berkata, "Halo.. kamu ke mana? Gak ada apa-apa, kan?"


Sabtu, 31 Maret 2012

Sekilas Tentangmu, Hujan


Diam dan tetap dengarkan aku. Jangan sela aku, apalagi berkomentar.

Kalau kamu dengar instrumental ini, kamu juga akan ikut merasakan apa yang aku rasakan. Tentang hujan. Hujan dan cerita tentangnya. Ini nyata. Kali ini aku menuliskan sesuatu yang nyata tentang hujan. Tentang dia yang setia mendengarkan setiap butiran kata yang keluar dari mulutku. Tentang dia yang tahu semua ceritaku, bahkan yang tidak sempat aku sampaikan padanya. Malam ini aku merindukanmu, hujan..

Dulu, aku begitu kesal setiap kali mendengar suaramu turun dari langit. Aku akan kuyup. Aku harus segera mandi dan berganti pakaian. Aku harus berdiri di sisi untuk menghindarimu. Aku dan semua yang kubenci tentangmu. Hujan membuat banjir, banjir menyulitkan semua orang. Hujan juga yang mengundang petir, petir yang membuat kaget setiap telinga. Apa yang harus kusukai darimu??

Jumat, 30 Maret 2012

Aku Tanpamu, Kamu Tanpaku

Pria
Ternyata memang benar, kita harus menemukan oranglain dulu agar bisa segera melupakan cerita lama. Dan kamu telah membuktikannya! Kamu menemukan pria lain dikehidupanmu saat ini, Cinta. Padahal tak sedetikpun aku pernah berpikir mencari sosok lain, selain dirimu. Meskipun kisah kita harus berakhir tidak sesuai dengan harapan. Setega itukah kamu? Benarkah kini kamu melupakan aku sepenuhnya dengan cerita barumu itu? Haruskah aku mencari sosok lain untuk menggantikan posisimu juga? Aku tidak sanggup. Tidak akan pernah sanggup. Kamu satu-satunya gadisku, tidak akan pernah bisa tergantikan meskipun (seharusnya) kamu bukan siapa-siapaku lagi. Aku tetap padamu, hatiku tetap milikmu.

Gadis
Apa lagi yang harus aku lakukan agar aku bisa segera melupakanmu? Kini aku sudah bertemu dengan pria yang sama baiknya denganmu, tapi sungguh.. aku tidak merasakan apapun. Tidak seperti saat aku bersamamu. Semuanya terasa hambar. Ketika aku bersamanya, yang ada dikepalaku hanya kamu, namamu, bayanganmu, senyummu, sosokmu. Kenapa cerita kita harus berakhir secepat ini, bahkan setelah janji yang pernah terucap bahwa "aku adalah ibu dari anak-anakmu, dan kamu adalah ayah dari putra-putriku,"? mungkinkah ini jalan terbaik bagi kita? Berpisah? Karena terhalang perbedaan serta..... restu?? Bagaimana keadaanmu saat ini? Sudahkah kamu bertemu dengan gadis yang bisa menggantikan aku?

Pria
Ya, aku bertemu denganmu secara tidak sengaja. Kamu sedang bersamanya, aku sendiri. kamu tidak melihatku, tapi dengan jelas aku tahu bahwa itu adalah dirimu. Saat itu, rasanya aku ingin menghampirimu. Memelukmu seerat kubisa, mencium dahimu tanpa kulepas lagi, membelai rambut panjangmu seperti biasa, mencubit pipi tembammu dan segala yang biasa kulakukan bersamamu. Tapi aku sadar, kini kamu milik oranglain dan mungkin... sebentar lagi akan ada gadis yang jadi bagian dari hidupku juga....

Gadis
Aku tidak sanggup kalau harus terus menahan airmataku hanya karena aku merindukanmu. Diam-diam aku bertemu denganmu hari ini, aku melirikmu dibalik bahu pria(ku) tadi. Aku tak tahu kamu menatapku juga atau tidak. Tapi hatiku tidak mampu tetap tegak menatapmu duduk sendiri di kafe itu. Biasanya aku disampingmu. Perih rasanya. Kamu tidak tahu ya? Aku ingin kembali padamu. Kalau bisa, aku akan mengatakan semuanya pada siapapun yang menentang aku dan kamu. Pada jurang perbedaan yang (katanya) tidak bisa mempersatukan kita. Tapi dengan cinta, bukankah kita akan bisa?

Pria
Dan pada akhirnya, cerita kita memang harus seperti ini. Berpisah. Aku kini sudah bersama gadis lain yang sama sekali berbeda denganmu. Aku tahu, memang tidak ada yang sama didunia ini. Tapi bayanganmu selalu merasuk ke dalam pikiranku. Memaksaku untuk tetap menyimpan sejuta memoriku tentangmu. Maafkan aku untuk ini. Mungkin kamu sudah melupakanku, tapi aku tidak. Tidak akan bisa meskipun aku dan kamu sudah memiliki oranglain dikehidupan kita. Tapi aku masih berharap kamu akan kembali denganku.

Gadis.
"Hai, kenalin ini Yesi.. pacarku." aku tersenyum kecut. Hatiku mendadak tak karuan. Jantungku berdetak empat kali lebih cepat. Sakit rasanya. Ternyata memang benar, kamu sudah melupakan aku. Sama sekali tidak ada keinginan untuk merajut cerita lagi bersamaku. Karena sepertinya memang sudah tidak mungkin lagi.

"Apa kabar?" aku menyalami gadis yang tersenyum padaku. Manis sekali.

"Baik," katanya singkat. Mahalembut. Berbanding terbalik denganku ya? Pantas.

Aku menarik tangan priaku. Membawanya ke depan wajahmu, dan kamu tersenyum ramah padanya.

Pria.
aku tak menyangka akan bertemu denganmu di kafe favorit kita. Biasanya, aku dan dirimu yang selalu pergi ke sini. Tapi sekarang kamu membawa kekasih barumu itu. Dan aku sengaja membawa gadisku ke sini. Untuk mengenang kebersamaan kita dulu. Aku melirik priamu, gagah dengan stelan rapinya. Pantas saja kamu memilih dia. Ternyata dia jauh lebih sempurna dibanding aku.

"Dion," kata priamu sambil tersenyum. Aku bergetar saat kuulurkan tanganku, menyambut tangannya.

"Temen lamamu, Res?" tanyanya padamu. Kamu terlihat kaget dengan pertanyaan itu, tapi kemudian mengangguk. Aku sakit mendengarnya.

Gadis
Aku terpaksa mengatakan itu. Aku hanya tidak ingin terlalu memperlihatkan padamu bahwa aku masih sungguh-sungguh mengharapkanmu.

"Haa, mumpung ada ditempat yang sama dan sekalian Kak Bagas juga Kak Resty reunian, kita double date aja. Gimana?" saat ini aku sungguh ingin mendepak gadismu dari hadapanku. Bagaimana ini? Aku sengaja datang ke sini untuk mengingat kenangan-kenangan lama kita, bukan bersungguh-sungguh bertemu dengamu!
Tapi kamu malah mengangguk setuju dan mengajak aku, juga priaku duduk disebuah meja dekat jendela.

Pria.
Aku tidak ingin terlalu memperlihatkan padamu bahwa aku benar masih mengharapkanmu. Maka, kuiyakan saja ajakan gadisku untuk makan bersama dengan priamu walau rasanya aku ingin menendang jauh wajahnya dari hadapanku. Tapi aku tak dapat melakuka apa-apa, yang terjadi hanyalah... kita saling diam. Dan aku berpikir, mungkin saja kamu pun punya perasaan yang sama sepertiku. Namun takdir dan keadaan menuntun kita untuk menapaki jalan lain. Aku tanpamu, kamu tanpaku.



Keputusan dan Pilihan

Ketika aku sudah menetapkan hati pada satu pilihan, ternyata semua tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan. Ada hal lain yang tiba-tiba mengganggu dan membuat aku harus berpikir beribu-ribu kali untuk mengambil keputusan. Keputusan yang tidak akan aku sesali nantinya. Tapi bisakah? Sementara aku terlanjur menetapkan hati pada pilihanku, hal lain yang mendesak itu juga tidak mampu aku hindari. Jika aku lepaskan keduanya, aku yakin aku tidak akan pernah sanggup. Benarkah aku tidak sanggup?
Bagaimanapun, tidak ada seseorang yang mau hidup dalam paksaan. Tidak ada seseorang yang rela melepaskan hal-hal paling berharga dalam kehidupannya, termasuk aku. Dan memilih adalah salah satu hal paling menyebalkan didunia yang pernah kutemui. Aku tidak suka memilih. Jikapun harus memilih, aku ingin memiliki keduanya, atau melepaskan keduanya sekalian. Aku tidak ingin sakit hati yang setengah-setengah, atau bahagia yang pas-pasan. Tanggung, kan?

Minggu, 25 Maret 2012

My Dearest Ex

         Dear Bagas,
Maaf kalau akhirnya aku harus mengirimkan surat ini untukmu. Aku benar-benar tidak bisa menghapus bayanganmu dari kepalaku. Aku benar-benar merindukanmu. Sangat merindukan dan membutuhkanmu!
Untuk sekedar mengingatkanmu tentang cerita 4 tahun kita yang tiba-tiba harus berakhir 6 bulan lalu. Masih ingatkah diary tebal yang kamu berikan padaku saat hari pertama kita jadian? Halaman terakhir diary itu aku isi enam bulan lalu, cerita tentang akhir perjalanan kita. Sesak rasanya saat aku harus meneteskan airmataku di atas sana, padahal selama ini aku selalu berusaha keras menjaganya agar tidak tersentuh. Oleh debu sekalipun.

Sabtu, 24 Maret 2012

Waktu dan Perubahan

April, Mei.... Juni = LIBUR panjang!!
Perasaan baru kemarin gitu selesai PPI dan kuliah pertama. Sekarang udah mau masuk semester 3 aja. Kok rasanya cepet banget waktu muter? Padahal perasaan, banyak hal-hal yang 'terjadi' selama aku belajar di sini. Tapi katanya, kalo kita ngerasa waktu cepet banget jalannya, itu artinya kita menikmati setiap detik yg lewat & betah diem di moment-moment itu. Iya gitu? Hmmm... kayaknya memang iya.

Bicara soal waktu, berarti ada didalamnya tentang masa lalu dan moment-moment berharga yang kerasa hilang begitu aja, iya nggak?

Salah satu contohnya, perkenalanku dengan temen kecilku.

Waktu itu tahun 2002. Aku masuk ke SD Coblong 3 kelas 4, dan ketemu dengan gadis yang "saat itu smp saat ini" aku bilang cantik. Aku tertarik dan sejak saat itu, kita berteman. Secepat itu. Bukan cuma cantik, dia juga baik. Dan memang nyambung kalo ngobrol dengan aku, walaupun gak jarang aku & dia berselisih soal apapun itu. Yah, namanya juga anak SD.
Menjelang kelulusan kelas 6, kita malah pernah sampai musuhan lama segala. Gara-garanya? Gak jauh & gak bukan ya karena cowok. Aku dan dia suka dengan cowok yg sama! Oh enggak. Awalnya memang dia duluan yg suka dgn cowok itu. Tapi lama2 aku ikutan suka, dan dia gak mau punya saingan. Jadilah kita renggang sampe gak saling sapa selama beberapa bulan. Selesai ujian (kalo gak salah) kita akhirnya berhenti musuhan dan.. kamu tau kenapa? Karena kita udah sama2 gak suka lagi dengan cowok itu. Lepas kelulusan kita sempet lost contact sampai menjelang akhir masa SMA. Itupun karena facebook. Coba kalo gak ada jejaring sosial itu. Mungkin sampai hari ini aku gak bisa ketemu dia lagi.
Kalo diinget sekarang, setelah hampir 7 tahun kelewat, jadi lucu kalo inget kejadian itu. Rasanya baru kemarin kita pakai seragam putih merah. Sekarang?

Sekarang bahkan dia udah punya rencana mau nikah! Ih waw. Pertama kali aku kenal dia sebagai anak-anak. Sekarang dia udah mau punya anak? Aku takjub dan rada2 gak percaya, tapi seneng. Walaupun rencananya masih beberapa bulan, seenggaknya dia 'masih nganggap aku temen' dengan dia kasih kabar aku soal itu. Bukan cuma itu, perubahan lain yang aku lihat selama aku hilang kontak sama dia dan dipertemukan lagi dua tahun terakhir ini adalah... cara dia menanggapi cerita dan menghadapi persoalan. Kita balik deket dua tahun ini, dan (alhamdulillah) dia masih mau percaya untuk bagi2 ceritanya dgn aku. Setiap kali cerita, dia cuma minta saran dan udah... ngilang beberapa hari. Begitu dia sms lagi, katanya : makasih sarannya ya. Masalahnya udah agak beres sekarang. Dulu, aku ingat sekali kalo kita musuhan aku dan dia sama-sama keras. Sama-sama gak mau ngalah. Dia selalu mau pendapatnya yg didengar, sementara aku gak mau ikutin apa kata2nya dia. 7 tahun misah, ternyata ada banyak perubahan yg terjadi, perubahan yg positif. Apa karena waktu? Atau semakin dewasa usia? Mungkin. Karena semakin hari, semakin banyak hal-hal yg masuk ke dalam kepala dan itu mengubah sebagian besar pola pikir. Iya nggak sih?

Waktu masih SD, mungkin kita cuma ribet mikirin pelajaran atau yg paling banter, kalo kita lagi musuh-musuhan sama temen gara2 cowok tadi, contohnya. Itupun gak lama, namanya juga cinta monyet. Hihihi. Menjelang SMP, kita mulai dibikin galau dgn perasaan yang serius pada lawan jenis. SMA lain lagi. Disini malah kita mulai agak bertentangan dgn keinginan kita dan aturan dr orangtua. Masuk kuliah atau kerja? Jangan tanya!! Nikah dan punya anak? Apalagi!

Waktu (menurut aku) berperan besar dalam perubahan. Coba lihat, beberapa tahun yang lalu kita masih bisa lihat sawah-sawah, masih banyak tempat2 sejuk. Masih gak begitu marak makanan-makanan dgn bahan berbahaya. Masih belum ada istilah 'alay, lebay' atau semacamnya. Bahkan masih banyak remaja-remaja yg aktif dimadrasah. Aku ngerasain banget hal itu. Sekarang, tempat-tempat wisata yg dulunya bersih aja jadi banyak sampah. Sekarang, madrasahnya sepi dan cuma rame kalo ada perayaan hari2 besar islam. Waktu dan perubahan. Kalo disuruh pilih, aku tentu mau terus diem di moment-moment paling berharga dan gak mau pindah. Tapi waktu gak jauh beda dengan bayangan, gak pernah bisa dikejar, apalagi sampai diberhentiin kecuali kalo Doraemon rela minjemin 'alat penghenti waktu' dari kantong ajaibnya, atau minjemin kita 'mesin waktunya'.

Ada masa lalu, berarti akan ada juga masa depan. Masa yang akan datang. Yap, bagaimanapun, life must go on! Siap gak siap, seiring dengan berjalannya waktu, hidup akan mengalami banyak perubahan. Kalo gak berubah terus, gak ada kemajuan namanya! Hoho. Entah perubahan itu baik atau buruk, cepat atau lambat. Tapi semua tetap harus dijalani, kan? Toh pada akhirnya, semua akan berujung. Berujung ketika nafas-nafas manusia sudah tidak tersisa lagi di dunia. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menyikapi semua perubahan yang berjalan seiring waktu, bagaimana cara kita mewarnai hari-hari kita untuk menggapai masa depan yang kita harapkan. Salah satu caranya ya kita harus berubah. Berubah ke arah yg lebih baik. Semakin dewasa, semakin baik, semakin mudah menggapai masa depan cerah. Setuju??

Catatan Iseng
Sabtu pagi, 24 Maret 2012
06 : 22

Jumat, 16 Maret 2012

Sementara, Bukan Selamanya


Aku bukan galau. Aku hanya ingin menyampaikan kepada angin karena (mungkin) ini pesan terakhir tentangmu yang harus kutulis di sini. Sekali lagi, ini tentangmu!

Dear Mr. Diam.
Seperti yang kamu tahu *oops, maaf. kamu tak tahu ini. Oke baiklah. Seperti yang aku pahami tentang hatiku, aku mengagumimu. Iya, satu kata itu. Diam2 aku mengagumimu. Sejak dulu. Sejak pertama aku melihatmu ditempat itu. Walaupun aku tahu bukan hanya aku 'secret admirer'mu, tapi jujur saja, terkadang aku merasa bahwa aku bisa berada disampingmu. Ingat, hanya berada disampingmu. Bukan berarti aku dapat memilikimu karena untuk hal yang satu itu, aku tahu aku hanya seorang pungguk, dan kamu bulannya. Sebenarnya aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyelipkan namamu dalam tiap pintaku. Berlebihan? Memang. Pada kenyataannya seperti itu.

Aku tahu sebagian tentang dirimu bukan dari teman-teman atau siapapun yang mengenalmu, karena aku menyimpan semua hanya didalam hatiku. Lalu? Lalu aku menyelamimu, dan cukup aku yang tahu bagaimana caranya. Sampai nyaris setahun aku menjadi pengagum rahasiamu, tidak sekalipun kamu tahu atau menyadari bahwa aku ada. Mengingat itu, rasanya aku mau menangis dan mencubitmu keras2. Supaya kamu tahu, begitulah sakitnya aku memikirkanmu!! Tapi aku tahu, aku tidak bisa menyalahkanmu karena jika aku teriak "Hey, lihat aku! Ini loh aku, aku yang suka banget sama kamu!!!!" kamu akan menjawabnya dengan "siapa ya?" sambil mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat.
Oke, tapi dengan sedikit agak PD, saat itu hati kecilku masih sanggup bergumam : suatu hari aku bisa bicara denganmu, meski hanya satu kata. amiiin.

Tuhan memang adil. Dia mendengar doaku meski aku sadar aku tidak dapat memilikimu. Akhirnya aku sampai pada titik dimana aku mulai berpikir dengan logikaku, tidak lagi ikuti apa yang hatiku sampaikan. 
Kamu tahu tidak, ketika minggu itu aku jalan berdampingan denganmu? Kamu menyapaku. Kamu bicara denganku. ya Tuhan, tahun lalu aku masih bermimpi tentang ini. Tahun lalu, hal ini masih melayang-layang dikepalaku. Dan sekarang? Yah, walaupun aku tahu, jalan untuk bisa bicara banyak denganmu seperti minggu itu harus menggunakan cara yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan. Entah mimpi apa aku malam sebelum hari minggu itu, tak terlintas sama sekali bahwa aku akan bertemu denganmu ketika aku bangun esoknya. Tak apalah, setidaknya satu mimpiku dapat terwujud meski aku tak tahu kapan bisa berjumpa denganmu lagi. Apalagi sampai berbagi cerita denganmu.

Baiklah, jika kamu melihat judul tulisanku ini, (kemungkinan kamu akan tanggap bahwa tulisan ini untukmu sangat kecil) aku tahu kamu akan malas membacanya. Tak apa. Aku tak akan berharap banyak, karena impianku untuk bicara denganmu walau hanya sekata (yang pada kenyataannya lebih dari satu kalimat) sudah aku dapatkan, dan masih menyisakan kegembiraan di hatiku. Aku tak dapat menggapaimu (mungkin) sampai kapanpun. Tapi aku tetap akan jadi pengagum rahasiamu.
Seminggu ke belakang aku (mulai) berpikir. Untuk sekarang, ada beberapa hal yang harus aku lakukan tanpa menyelipkan bayanganmu dipikiranku. Ya, sejenak, aku harus melupakanmu. Sejenak yang entah sampai kapan. Dulu aku pernah berpikir, pernah sangat berharap aku bisa bicara denganmu suatu saat, dan aku sudah mendapatkannya kini, walau ada beberapa hal yang membuatku harus melupakanmu (setidaknya untuk) sementara karena itu. Tapi setidaknya aku puas. aku senang, gembira, atau apapun istilahnya.

Eh tapi tunggu. Sebelum aku menyelesaikan tulisan ini, ada satu hal yang kini hinggap di kepalaku. Ingin tahu apa? Ngngng.. iya. Aku berharap, aku bisa berjodoh denganmu. Hihihi. Harapan yang mewah. Tapi tak apa, kan? Namanya juga khayalan. Ingin membawa bulan ke bumi pun boleh-boleh aja kan? Lagipula, ini sekedar harapan dan kalaupun memang kamu jodohku, suatu saat nanti kita (pasti) akan bertemu... yah, bertemu dipelaminan.

Seperti kataku di awal, mungkin aku tak akan lagi menulis pesan tentangmu setelah ini. Entah untuk beberapa lama. Ada sesuatu yang harus kujalani tanpa mengingat segalanya tentangmu seperti setahun terakhir. Tapi namamu masih tersimpan di memoriku, dan sebisa mungkin.... tak akan kuhapus. Maaf ya, aku harus melupakanmu (dulu).

Jum'at malam, 16 Maret 2012
20 : 09
Untuk nama yang tidak bisa kusebut di sini.




Sabtu, 03 Maret 2012

Bintang, Bisikkan Aku Sesuatu

Jika malam ini aku terlelap dengan perasaan bersalah, maka besok aku yakin mentari tidak akan tersenyum padaku sebelum aku memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki. jadi, malam ini sebaiknya aku tidak tidur. aku harus merenungi semua sebelum ada yang tergores. sebelum goresannya menjadi luka, sebelum luka semakin parah, atau bahkan sebelum semuanya tidak dapat diobati lagi.
hai bintang, seperti biasa.. malam ini aku galau. dan aku butuh kerlipanmu untuk membuka sesuatu dikepalaku yang sulit kubuka. seperti ada benang kusut yang melayang-layang dan tidak dapat kuuraikan sendiri. aku membutuhkanmu karena jika kupanggil hujan, ini bukan jam tugasnya. dan ia sudah terlalu sering 'menjatuhkan diri' ke bumi hanya demi aku. demi aku? hahahaha. anggap saja begitu walaupun pada kenyataannya tidak. tapi.. mana temanmu, bulan? kenapa ia tak nampak malam ini? sakitkah?
oh, kamu disana. jadi bukan dalam bentuk purnama ya, malam ini? padahal aku rindu menatap bundaranmu, bulan. tapi tak apa. sabitpun tetap indah .lengkap semua? apa yang kurang? angin. o iya, angin.

Sosok Itu.

"Tha, lo kenapa sih? Kok kayaknya gue perhatiin ngelamun mulu dari tadi. Mikirin siapa?"

Talitha yang ke-gap asyik sendiri ngelamun di taman kampus bergidik kaget. Ia memalingkan wajah ke arah Eza, cowok yang menemaninya mengerjakan tugas pulang dari kelas tadi dan tersenyum polos.

"Masak sih? Emang gue ngelamun, gitu?"

"Iya. Kayak ada sesuatu yang ganggu, gitu. Kenapa?" Talitha tersenyum lagi. Kali ini senyum muram. Harus bercerita kah?

"Engng.." Talitha menggantung kalimat. Ia menelan ludah. Sosok yang baru saja lewat di hadapannya langsung membuyarkan seluruh konsentrasi Talitha. Pikirannya jadi bercabang. Ada sesuatu yang menyengat hatinya. Rindu. Talitha merindukan sosok itu. Sosok yang dulu pernah ia sia-siakan. Sosok yang dulu pernah ia anggap hanya sebagai angin lalu. Tadi ia lewat dengan ransel hitamnya. Sudah nyaris sepuluh hari terakhir ia tidak melihatnya di kampus, dan barusan sosok itu berjalan kalem ke arah perpustakaan. Perasaan itu menyerbu ulu hatinya seketika. Kangen sekangen-kangennya. Wajahnya masih sama seperti dulu, tapi ada sesuatu lain yang kini membuat Talitha ingin segera memeluk sosok itu

Capolaga I'm In Love

Jum'at 19 Oktober 2007.
Ini pertama kalinya aku pergi ke tempat sejuk sesejuk-sejuknya. Nama tempatnya Capolaga. Di daerah Subang. Kita pergi dalam rangka... ngngng.. liburan habis lebaran kalo gak salah. Awalnya c mau pergi cuma ke Lembang aja, tapi pas mau berangkat banget, salah satu kakakku nemu satu tempat yang katanya enak. Hampir mirip seperti hutan sih, tapi bersih. Gak terlalu ramai, tapi sepi juga nggak. Tempatnya teduh. Sejuuuuk banget, sampai-sampai aku gak mau pulang saking betahnya ditempat itu. Padahal sepanjang jalan aku udah ngomel-ngomel aja, bingung mau dibawa ke mana. Perjalanan jauh, panjang gak ada ujung. Berangkat jam tujuh pagi, jam sembilan masih kebingungan cari jalan. Apalagi sempet ngelewatin daerah yang sepinya luaaarrr biasa! Tapi begitu sampai sana, capeknya gak berasa. Hilang sama sekali. Apalagi ada air terjun dan pohon-pohon hijau yang Subhanallaaaah indahnya :D


Senin, 27 Februari 2012

Untukmu, Yang Entah Siapa Itu

Untukmu, Yang Entah Siapa Itu..
Memang masih jauh rasanya jika aku harus bicara banyak soal ini, diusiaku yang bahkan belum genap menginjak kepala 2. Tapi aku sudah menaruh berjuta mimpi dikepalaku. Tentangmu, calon pendampingku yang entah siapa itu. Tentang anak-anak kita, tentang masa depan bersamamu :)

hey, terbayangkah?
kelak kita akan hidup bersama, dalam satu atap. Berbagi asa, berbagi cerita. Tentang apa dan bagaimanapun perasaan kita. Menghabiskan waktu bersama, dan semuanya. Semua aku lakukan bersamamu, hai calon ayah dari anak-anakku yang entah siapa itu.
Percaya kan kelak kita akan memiliki anak-anak yang menggemaskan? Bayi-bayi mungil yang cantik secantik aku, dan gagah segagah dirimu. Anak-anak yang akan akan mengobati lelahnya kita, yang membuat kita rindu untuk kembali dan terus kembali. Kembali? Kembali ke istana. Ya.. aku berharap jika nanti kita bersama, kita akan membangun sebuah istana.

Makhluk Kecil di Jendela Kelas

Dua makhluk kecil menerobos masuk ketika aku asyik dengan pekerjaanku disudut ruangan, samping pintu kelas. Semula aku tidak menyadari kehadiran dua burung gereja itu. Beberapa lama kemudian, aku baru sadar ada dua makhluk lain yang ikut belajar ketika kulihat seekor burung keluar lagi dari kelas dengan siulannya yang keras, seolah berteriak "maaf aku pergi..." atau apapun itu karena aku tidak mengerti bahasa burung. Kemudian ku arahkan pandanganku ke sana, ke tempat burung lainnya tinggal. Sendiri. Tapi nampak gelisah. Gerakannya maju mundur, bolak-balik diantara besi penghalang di jendela itu. Samar-samar kudengar siulannya, mungkin membalas teriakan pasangan yang baru saja pergi meninggalkannya. "jangan pergi.." sekali lagi, aku tidak tahu apakah tebakanku benar atau tidak, karena aku tidak mengerti bahasa burung.

Jumat, 27 Januari 2012

Surat Untuk Malaikat Kecilku


untukmu, sayang.. malaikat kecil yang ditakdirkan Allah lahir dr Rahimku..
catatan penuh kasih ini dariku, orang yang akan kamu panggil ibu.
Disini Ibu menaruh doa dan sejuta harapan buatmu.
semoga jika kelak kamu lahir, dan Ibu diizinkan untuk membesarkanmu, kamu bisa jadi penyejuk bagai hujan dimusim kemarau, bagai pelangi yang melengkungkan garis indahnya dilangit hati Ibu dan Ayah, selepas badai besar yang menghadang.
Sayang, jika kamu terlahir menjadi puteri, kamu akan tumbuh jadi gadis yang manis, gadis cantik yang bisa menyejukkan hati siapapun. Hatimu akan secantik parasmu. wajahmu bisa menenangkan kegelisahan siapapun yang bertemu denganmu. tuturmu selembut kain sutera yang dapat menyentuh kalbu orang2 yang menyayangi, bahkan yang tidak mengenalmu.
Jagoanku, jika kamu terlahir menjadi seorang putera, kamu akan menjadi lelaki tampan yang kuat, yang kokoh pendiriannya, yang dapat melindungi Ibu, patuh terhadap Ayah, sayang terhadap saudara2mu. Kamu akan jadi panutan karena akhlakmu, karena jiwa kepemimpinanmu.
Untukmu, malaikat kecil yang ditakdirkan Allah tumbuh dengan kasih sayangku.
Ibu bukan wanita sempurna yang bisa mendidikmu dengan cara yang kamu sukai. Ibu hanya ingin mencoba memberikan dan menjadikan kamu yang terbaik bukan hanya untuk Ibu dan Ayah, tapi untuk dunia. Jika kamu bersedih, berceritalah pada Ibu. Katakan semuanya agar Ibu bisa menenangkanmu. Jika kamu marah, jangan lampiaskan kemarahanmu pada hal2 yang akan membuatmu rugi. Ingatlah Allah, peluklah Ibu.
Raih cita2mu sayang. Kembangkan bakatmu. Jaga akhlakmu jika kamu jauh dari Ibu, jauh dari Ayah. Ingat Allah selalu. Jangan tinggalkan sholat, perbanyak baca Qur'an, jaga hatimu.
Sayang, jadilah matahari Ibu. Yang selalu menerangi setiap kegelapan dan kegelisahan Ibu. jadilah air yang menyejukkan, jadilah permata hati Ayah Ibu, selalu.
Kami menyayangimu, Nak. Doamu akan selalu ada dalam setiap doa kami.
Untukmu Malaikat Kecilku. Anak Sholehku.

Kamis, 26 Januari 2012

Cahaya dan Azzalia


Azzalia. Aku suka mendengar nama itu. sampai-sampai aku menjadikannya nickname di akun Facebook-ku. Aku mengenal nama itu darimu, Kak. Pacar yang akan jadi suamiku. Sekalipun aku masih 20 tahun, masih tingkat 2 disebuah sekolah tinggi, tapi tidak menghalangi niat kita untuk melangkah ke arah yang lebih jauh. Hubungan kita, bukan sekedar hubungan yang main2, katamu. Aku senang, dan siap dengan sepenuh hati, bahkan ketika kita berjanji bahwa jika kita menikah dan memiliki anak perempuan, kita akan memberinya nama itu. Kamu berkata, nama itu berarti cita-cita kita yang secantik Azzalia. Azzalia..... kamu sendiri masih merahasiakan kenapa kamu ingin memilih nama itu. Jika aku bertanya, kamu hanya menjawabnya dengan senyum tipis. Tapi aku yakin, apapun nama yang akan kamu beri untuk puteri kecil kita, pasti memiliki arti yang baik. Sampai suatu ketika, saat tidak sengaja aku menemukan selembar surat dengan amplop ungu muda dibalik jaketmu, aku tersentak. Siapa sebenarnya Azzalia?

 ***

Umur kita berselisih 6 tahun. Jarak yang cukup lumayan, tapi tidak menghalangi perasaanku padamu. Aku menyayangimu sejak pertama kita bertemu, 3 tahun lalu. Sampai hari inipun perasaan itu tidak berubah. Kamu tetaplah orang yang mampu menghibur, mampu menasihati, mampu meredam marah, mampu mengerti aku. Aku melihatmu sebagai sosok yang sempurna. Masalalumu tak aku ketahui, karena memang tak perlu. Lagipula selama denganku kamu tidak pernah membahasnya, dan aku percaya kamu bersikap seperti itu karena memang kamu sudah melupakannya. Tapi kenapa amplop ungu muda itu masih kamu simpan?

"Kamu percaya kan sama aku?" katamu saat aku bertanya. Aku mengangguk, walaupun dalam hati masih merasa resah. Sejak menerima amplop ungu muda itu sikapmu jadi agak lain padaku. Apa kamu bertemu lagi  dengan masa lalumu?

"Nama pengirim surat itu.. Azzalia?" aku mendesak.

"Ya, kenapa?" kamu balik bertanya, dingin.

"Siapa?"

"Teman lama," aku diam. Kugigit bibir bawahku dengan perasaan gelisah. Teman lama? Saat kulihat dari keadaan amplop yang masih terlipat rapi saja aku tahu itu bukan surat biasa.

"Kakak mau kasih nama anak kita sama dengan nama teman lama Kakak?"

"Kamu kenapa, sih? Udahlah. Gak usah dibahas. Yang penting aku gak bohong, kan? Aku suka nama Azzalia, itu gak ada hubungannya dengan masa laluku.."

"Masa lalu?" aku bertanya heran. Apa tadi aku membahas masa lalu? Tidak, kan? Kamu jadi gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir. Aku perempuan, bisa dengan mudah membaca apa yang sebenarnya terjadi dari sikapmu.

"Jangan menceracau gak jelas, Dea. Masalah kecil gak perlu kamu besar2in!"

aku menarik napas panjang. Berdebat dengan emosi yang sedang acak2an sepertiku saat ini memang tidak baik. Tapi aku  terusik dengan surat ungu itu. Aku tidak ingin jika kamu menikah denganku nanti, tapi setengah hatimu masih tertuju ke arah masa lalumu. 3 tahun aku mengenalmu, dan baru kali ini aku benar-benar merasa galau karenamu. Jika seandainya kamu tidak pernah membicarakan nama Azzalia, apalagi untuk anakku kelak, aku tak akan segamang ini melihat nama Azzalia di amplop ungu itu.

***

Bertengkar hanya karena nama anak, padahal belum tentu aku akan benar2 menikah denganmu, atau jikapun menikah, siapa yang bisa memastikan anak kita akan terlahir perempuan? Yang menjadi masalah adalah, kita berencana menikah enam bulan lagi. Saat aku liburan semester.
Seminggu sejak pertengkaran kita dirumahku, aku jadi penasaran dengan cerita2 masa lalumu. Aku tidak pernah mengenal siapa Azzalia. Membaca surat yang kutemukan dijaket cokelatmupun aku tak sempat karena aku takut jika isinya benar2 akan membuatku sakit hati. Aku masih menatapi rerumputan segar ditaman belakang rumahku, bermain di ayunan yang sengaja dibuat untuk adikku saat tiba2 kamu memelukku dari belakang.

"Maaf untuk Azzalia.." katamu dengan senyum hambar terhias dibibir. Kita tidak bertemu lagi sejak pertengkaran itu. Aku menatapmu heran, setengah masih merasa gelisah.

"Gak perlu minta maaf buat teman lama," seruku tertahan. Rasanya sekarang aku sudah mual mendengar nama itu meskipun aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Azzalia di masa lalumu.

"Kamu benar Dea, dia bukan hanya teman lamaku.." aku menarik napas panjang.

"Dea udah tau. Kakak akan balik sama dia?" tanyaku. Seminggu belakangan pikiranku mengembara jauh. Kamu tak ingin menceritakan masa lalumu padaku bukan karena kamu telah benar2 melupakannya, tapi karena kamu tahu dia akan kembali suatu hari nanti, tepatnya saat ini. Yang membuatku sakit adalah.. kenapa kamu mau menjalaninya denganku, bahkan nekat akan melamarku jika hatimu tidak padaku?

"Aku udah berpikir banyak sejak nerima surat itu lagi, Dea.." katanya. Aku menelan ludah pahit.

"Dea juga.." aku menyela. "kakak mau kasih nama anak kakak nanti dengan nama Azzalia, supaya bisa terus ingat dengan dia, kan? Sekarang dia udah kembali ke sini. Kenapa gak nikahi dia saja?"

"Jangan bicara macam-macam, Dea!" sentakmu agak tajam. Menyentuh ulu hatiku.

"Dea bener, kan? Dea masih terlalu kecil buat Kakak. Gak pantas. Kakak berubah sejak dia kembali ke sini,"

"Dea.."

"Dea udah ikhlas lepas kakak kalau memang kakak maunya seperti itu."

"Dea, denger." katamu sambil mengusap bahuku, berusaha menenangkan. Aku diam. Bersiap mendengar cerita masa lalunya yang entah apa itu.

"Dia adik tiriku, Dea. Dulu aku pernah sangat membencinya karena dia dan ibunya tiba2 datang ke kehidupan Papa setelah Mama meninggal," aku mengerutkan dahi. Adik tiri? Tiga tahun kita bersama, belum pernah aku tahu kamu punya adik tiri, apalagi yang bernama Azzalia. Aku memang tahu cerita tentang orangtuamu, tapi tidak tentang adik tiri atau apapun itu. Jangankan mengenalkan, menceritakannyapun kamu tak pernah. "Lima tahun lalu dia pernah aku buat celaka, sampai2 bisu saking shock-nya. Aku & dia sudah tidak bertemu sejak kejadian itu, dan aku berusaha menutupi cerita itu karena aku sangat menyesal. Menyesal setelah tahu bahwa saat aku menabraknya waktu itu, dia sedang membelikan kado untukku. Dia benar2 menyayangiku biarpun aku sering jahat sama dia." kamu menghela napas panjang.

"Namanya Azzalia?" potongku, nada suaraku merendah setelah mendengar ceritamu dengan wajah sedih.

"Azzalia nama tokoh novel favoritnya. Dia berniat memberikanku novel dengan judul itu waktu aku mau menabraknya. Aku senang dengan nama itu."

"Kenapa tiba2 dia datang lagi sekarang?"

"Dia baru lulus SMP, ingin mengabari aku kalau dia juara umum di sekolahnya. Lima tahun terakhir ini sebenarnya dia sering mengirimiku surat. Di surat pertamanya bahkan dia bilang 'kalau seandainya kakak menikah dan punya anak perempuan, apa kakak mau kasih nama anak kakak dengan nama Azzalia? Yang artinya gadis cantik penuh kelembutan hati, seperti tokoh novel yang pernah ia baca." aku ikut menghela napas, setengah menyesal karena telah berburuk sangka padamu.

"Kenapa kakak gak bilang? Kalau seandainya sejak aku nemuin surat itu kakak kasih tau yang sebenernya, aku pasti bisa nerima. Dan kenapa seminggu terakhir ini kakak bersikap beda padaku?" kataku. Kamu tersenyum.

"Aku sedang berpikir. Ingin mengajaknya tinggal bersama kita nanti, tapi takut kamu gak bisa nerima.."

"Itu aja?" tanyaku. Kau mengangguk. "Kenapa gak pernah cerita dari awal. Tentu aku mau Kak, bawa aja dia tinggal dengan kita nanti. Aku pasti bisa nerima. Sekarang dimana...."

"Cahaya.."

"Dimana Cahaya? Bawa aku ketemu dengannya.."

***

2 tahun berlalu sejak hari itu..
Kini kita tinggal bersama Azzalia kecil kita, juga si cantik Cahaya. Aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku, dan Cahaya baru diterima disebuah Universitas negeri kota Bandung, jurusan Psikologi. Saat SMA dia masuk kelas akselerasi. Aku bangga pada adik iparku itu. Keterbatasannya tak membatasi langkahnya. Tidak hanya pintar, dia juga pintar mengambil hati siapa saja. Aku buktinya. Kau juga, Kak. Apalagi si kecil Azzalia. Semoga kelak anak kita bisa tumbuh sepertinya. Azzalia-ku, Azzalia kita #end

Sabtu, 21 Januari 2012

Bukan Aku Yang Berubah

Bukan aku yang berubah.
Aku hanya ingin memperbaiki ketetapanku, dan aku benahi letaknya. Maaf untuk kecewamu saat ini, maaf untuk keraguanku untuk bisa  menjawab tanyamu. Kau kira ini mudah? Tidak. Ini sesuatu yang sulit bagiku. Sangat sulit. Bukan karena kamu tidak bisa membuatku tersenyum. Bukan juga karena aku tidak melihat adanya dirimu, yang benar-benar tulus, yang sungguh-sungguh. Juga bukan karena...
"Karena apa? Bukannya.." kalimatmu terputus karena aku memotongnya dengan senyuman sinisku. Tolong, jangan paksa aku untuk mengatakan bahwa aku berubah. Ini jalanku. Ini keputusanku. Ini.. sesuatu yang mungkin akan memperbaiki keadaanku suatu saat nanti. Aku egois. Mungkin memang benar aku egois. Tapi aku tidak berubah, sama sekali gak ada niat untuk merubahnya. Merubah perasaan ini.

"Maaf.. kamu berhak marah. Kamu berhak benci, tapi tetap.. aku gak berubah." aku mengelak dengan nada datar, berharap kamu akan segera mengerti. Tapi tidak, karena kamu malah menghela napas panjang dan menatapku dengan tatapan... kekecewaan. Tolong jangan lagi. Sorot mata itu biasanya selalu berhasil menyeretku untuk kembali ingkar dengan janjiku, tapi tidak kali ini. Jangan sampai.

"Aku mau pertahanin kamu. Gak peduli apapun perbedaan yang.."

"Berhenti bicara soal perbedaan." aku menyentak tajam. Rasanya terlalu jahat jika alasanku untuk berhenti bicara dengannya adalah karena perbedaan. Bukankah selama ini kami baik2 saja dengan perbedaan itu? Perbedaan yang sangat mencolok. Entah itu karena sifat, sikap, keinginan, dan sebagainya sampai... restu!

"Terus?"

"Aku mau fokus kuliah."

"Itu aja? Ada oranglain?" aku menggeleng lemah.

"Lalu?"

"Aku kan udah bilang, tadi!"

"Kamu picik. Apa selama kita jalanin, semua ganggu kuliah kamu?"

"Iya, iya tanpa kamu tahu."

"Hhh. Kamu berubah, sejak sebulan lalu." untuk kesejuta kalinya kamu ucapkan itu padaku. Memang, sebulan ini aku banyak berpikir tentang kita. Sekali lagi, maafkan aku. Berat sekali rasanya melepaskanmu, melepas kamu yang sudah terlanjur membuat hatiku tersanjung. Tapi entah kenapa tiba-tiba hari ini aku berani mengatakan hal ini padamu. Berakhir, cukup sampai disini. Dan sungguh, perasaanku gak akan berubah, entah sampai kapan. Aku jujur, tidak ada oranglain selain aku hanya ingin fokus belajar, tidak memikirkan hal lain lagi, karena rasanya terlalu capek. Capek memikirkan hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Pergi. Cari sesuatu yang mungkin lebih bisa mengerti dirimu. Tapi bukan aku, karena sekarang, aku akan setia pada ucapanku. Tidak ada dirimu, atau orang-orang lain sampai kuliahku berakhir. Bukan aku yang berubah. Tapi ketetapanku.
Aku pergi. Tapi perasaanku tidak. Jika memang Tuhan berkehendak mempertemukan kita lagi suatu hari nanti, percayalah, perasaan ini tetap sama dengan saat kita pertama bertemu, dengan saat ini. Saat kita berpisah. Saat kamu mengatakan aku berubah, dan aku mengelak bahwa bukan aku yang berubah, tapi ketetapanku. #end