Jumat, 20 April 2012

Sepotong Senja Bersama Iren..

"Kamu lebih cantik dari siapapun, waktu kamu senyum.." katanya sambil menepuk bahu Iren. Yang disentuh bergeming. Tapi napasnya mulai berdetak tidak beraturan. Dia orang pertama yang mengatakan itu padanya. Setelah sekian lama, setelah kepercayadiriannya memuai entah ke mana, dan setelah Iren berjanji tidak akan memedulikan atau bahkan memercayai apapun yang dikatakan orang tentangnya. Baginya, semua cuma basa-basi, cuma supaya Iren nggak banyak ngabisin waktu sendirian. Cuma supaya Iren nggak terlalu larut dalam dunianya sendiri. Dan saat ini, walaupun akalnya masih berpikir bahwa semua yang berada disekelilingnya cuma menyapanya sebagai tanda 'kepedulian palsu', tapi nuraninya menentang habis-habisan.

"dia memang ngomong jujur. Nggak ada unsur apapun dalam kalimatnya tadi.." Iren menarik napas panjang. Kedua kuku jarinya beradu. Matanya tertunduk, masih belum berani balas menatap langsung Rio yang duduk didepannya, menatapnya dengan bola mata sehitam malam. Iren harus tetap berhati-hati. Ia tidak ingin kejadian itu kembali terjadi. 

Kamis, 12 April 2012

Matamu Mataku..

"Aku butuh waktu. Buat mikir.."

"Apa lagi yang mau kamu pikirkan.?"

"Tentang aku, tentang kamu... dan tentang.."

"Kita? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kamu nggak perlu pikirkan apapun tentang kita? Aku sudah denganmu, kamu sudah denganku. Itu saja. Lalu apa lagi? Ada yang kurang?" aku tersenyum dan menunduk, menghindari tatapanmu yang setajam mata elang. Entah kenapa, aku selalu takut jika mataku harus bertemu dengan matamu belakangan ini. Ada semacam kekuatan dari dirimu yang selalu berhasil membuatku berkata jujur padamu, tidak menutupi cerita apapun apalagi berbohong.

"Hmm.. nggak ada," sahutku singkat. Aku semakin melebarkan senyum ketika mendengar jawaban itu. Tapi ketika aku mengangkat wajah dan menatapmu, ada segaris keraguan yang kutangkap dari sorot matamu kali ini. Tentang apa itu, aku tidak sanggup menerkanya. Karena aku takut kalau terkaanku itu tepat. Dan, kamu tahu, belakangan ini aku semakin tidak mau bertatapan langsung denganmu karena apa? Aku tetap tidak bisa menebak apa yang ada di hatimu lewat tatapan matamu itu.

"Maaf ya.." kamu menghampiriku tiba-tiba, lalu mencengkeram pundakku agak keras. Sakit, tapi aku merasa nyaman saat kamu melakukannya. Aku tahu kamu pasti mengatakan ini. Setiap bertemu denganku beberapa waktu ini, matamu selalu bermain liar, gelisah. Menanti yang entah apa, menutupi tapi kamu bersikap pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Matamu, mata yang biasanya menarik semua yang ada, bahkan yang tersimpan didalam hati terkecilku, mata yang tidak pernah membiarkanku berbohong, kini malah balik mendustaiku. Ada apa? Boleh aku bertanya?

"Iya," aku tidak ingin bertanya alasan kamu meminta maaf padaku. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir sebentar, seperti pertanyaanku di awal percakapan kita. Ada beberapa bukti yang bisa aku berikan jika kamu bertanya kenapa aku harus meluangkan waktu sedikit untuk "sendiri". Bukan hanya tentang aku, kamu, dan kita. Awalnya aku melihat semua itu dari matamu. Melihat sesuatu dengan mataku. Dengar, kamu yang pertama kalinya mengajari aku bahwa mata tidak akan pernah mampu berbohong, seberapa besarpun kamu menutupi semuanya baik-baik. Mata akan selalu bisa menebak apa yang terjadi dengan hatimu. Sekarang, ada apa dengan matamu?

Aku mendongak. Kutegakkan wajahku, menatapmu lebih dalam lagi. Aha! Sekarang, akhirnya aku bisa melihat titik dimana kamu tidak akan bisa mengelak apapun. Kamu menangis. Ya Tuhan, benarkah ini kamu? Benarkah? Benarkah? Aku menatapmu dengan sikap menantang. Baru kali ini aku berani menatapmu seperti ini. Biasanya aku takut kamu akan menebak apa yang kupikirkan lewat mataku. Tapi tidak setelah kamu melontarkan kata maaf tadi. Aku sudah tahu sejak awal, sebenarnya. Hanya saja aku terlalu takut untuk mengatakannya.

"Kamu kenapa?" tanyaku. Kamu hanya menyunggingkan senyummu untuk menjawabnya.

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan?"

Diam, aku menelan ludah pahit. Oke, jadi beberapa waktu ini, aku tahu kalau kamu masih menghubungi gadis itu. Aku tahu, bahwa kamu masih menyimpan sesuatu tentangnya yang aku sendiri tak pernah ingin tahu tentang apa itu. Matamu selalu berbinar setiap kali melihatnya lewat dihadapanmu. Tolong, jangan mengelak karena ketika kamu melakukan itu, aku ada disana. Melihat langsung dengan mataku. Aku lalu mengangguk. Kukeluarkan selembar foto yang terletak didompetku. Aku menunjukkannya padamu.

Kini giliran kepalaku yang bermain dengan imajinasinya. "Kita? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kamu nggak perlu pikirkan apapun tentang kita? Aku sudah denganmu, kamu sudah denganku. Itu saja. Lalu apa lagi? Ada yang kurang?" entah sudah berapa puluh kali kamu mengatakan ini padaku. Walau aku tetap merasa senang mendengarnya, tapi saat aku ingat bahwa kamu dan matamu, juga hatimu menyimpan sesuatu yang lain tentang kita, aku tidak pernah menganggap bahwa kata-kata itu tulus dari lubuk hatimu. Dan iya, itulah alasan kenapa belakangan aku tidak berani menatap matamu. Selain karena aku takut kamu bisa menebak kecurigaan ini, aku takut aku akan sakit. Karena kamu menyukai teman dekatku beberapa waktu ini. Itu juga yang menjadi alasan kenapa aku meminta waktu untuk berpikir. Kamu mau menjalaninya denganku, atau dengan sahabatku?

"Maaf.." kamu merebut foto itu dari tanganku. Foto yang kutemukan dibalik diktatmu. Fotonya. Sahabatku. Jika mata ini tidak menemukannya saat itu, mungkin aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya membuat matamu gelisah belakangan ini. Setelah kamu sobek hingga hancur, kamu kembali menatapku. Kali ini, yang kudapati adalah pancaran kejujuran. Ketulusan. Aku mulai berani menatapmu sekarang. "Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Aku tetap denganmu. Janji. Ini nggak akan terulang lagi."

=))


Rabu, 11 April 2012

Ceritaku Ceritamu


Aku sedang merangkai cerita denganmu, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tidak akan membiarkan oranglain menuliskan cerita baru tentang aku atau tentang kamu. Karena yang kamu tahu, aku dan kamu adalah sutradara sekaligus pemeran utama dalam cerita ini.
Walau aku sadar bahwa lama-lama kisah ini pasti akan ada akhirnya juga. Entah ending seperti apa yang kelak akan kita buat demi menciptakan sebuah cerita yang berkesan dikehidupanku atau dikehidupanmu. Dengan atau tanpaku, dengan atau tanpamu, dan siapa sih orang yang tidak menginginkan akhir bahagia? Begitu juga denganku. Entah bahagia itu ketika aku terus bersamamu, atau malah ketika aku lepas dari dirimu. Kurasa, jawabannya tidak saat ini. Tapi sekarang aku hanya ingin menikmati masa-masa di mana hanya aku dan kamu yang jadi pemerannya. Masa di mana bahagia itu tidak perlu dilukiskan dengan hal-hal yang dapat dihitung. Cukup dengan tersenyum dan menangis. Bahagia atau kecewa. Senang atau sedih.
Tanpa skenario dan naskah, tapi cerita ini berjalan cukup baik, bukan? Ada pengenalan tokoh, sekali lagi, aku dan kamu, ada pengenalan cerita, cerita kita, cerita aku dan kamu. Tapi, kapan kita akan mencapai klimaks? Kapan ada penyelesaian dari setiap konflik yang (sadar atau tidak) akan terjadi juga pada kita? Dan bagaimana akhir dari cerita tanpa alur, tapi mengalir ini?
Waktu jawabannya. Karena mungkin aku menuliskan ini terlalu cepat. Ini masih awal cerita, perjalanan masih panjang :D

Selasa, 10 April 2012

Pe-eR

Waktu baca ada namaku di blog Priceless Things, kagetnya... banget. Waw, aku di kasih PR. Hihihi, pas liat pertanyaan-pertanyaannya... makin kaget. Tapi ... Hmm, mikir-mikir dulu. Baru pertama kali nih dikasih pertanyaan kayak gini. Jadi dag-dig-dug jawabnya.. saking gemeterannya, hidungku sampai berdarah waktu nulis ini #gak nyambung

Kamis, 05 April 2012

Elegi Alea


"Kalo kita suka, ya kejar sampai dapat.." katanya saat aku melontarkan pertanyaan yang sama. Aku sudah pernah bertanya tentang 'kenapa dia bisa bersamaku sampai saat ini?' berpuluh-puluh kali. Dan dia selalu memberiku jawaban yang sam. Tapi entah kenapa, saat ada hal yang mengganggu kepalaku, aku selalu bertanya soal itu. Refleks. Mungkin karena aku berusaha untuk melupakan hal-hal tidak nyata yang merusak jalan pikiranku dengan mendengar jawabannya itu.

"Nah, waktu sama Atha, kok bisa nggak sampai dapet?" dia menghela napas dan menatapku.

"Dia udah bikin aku kecewa," sahutnya tipis.

"Bukannya aku juga pernah, malah sering bikin kamu kecewa?"

"Dia nolak aku diem-diem.."

"Bukannya aku.." aku diam, kugantung kalimatku.

"Kamu bukan nolak. Tapi minta aku nunggu, kan?" Potongnya cepat. Aku kembali melamun. Seketika aku sadar bahwa percakapan ini memang tidak bermakna, tapi cukup untuk membangunkan rasa ketidaksukaannya. Dia berulangkali menjelaskan padaku bahwa dia tidak suka aku membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu. Itu terdengar seolah aku meragukan keseriusannya. Dan aku malah terus melakukan itu. Berulangkali. Seharusnya dia marah, tapi yang dilakukannya malah tersenyum, menjawab pertanyaanku dengan baik-baik. Bukannya tenang, aku jadi merasa bersalah akhirnya. Perasaan bersalah itu bercampur menjadi satu dengan pikiran-pikiran lain yang melayang dan membentuk sebuah lukisan abstrak yang tidak dapat kujelaskan.

"Kok ngelamun?"

Aku tersentak. Seketika aku bangun dari lamunanku dan balas menatapnya sambil tersenyum.

"Ada apa?"

"Nggak ada," sahutku, padahal aku tahu aku tidak jujur, dan pandangan matanya bisa menangkap ada kebohongan yang kututurkan dalam ucapku tadi. Perasaan bersalah lalu mendera, memukul-mukul perasaanku dengan sebuah godam tak kasat mata.

***

Hal itu terus mempermainkan pikiranku. Aku bertemu dengan sosok yang dulu pernah singgah dihatiku saat bersamanya. Dia tersenyum dan menyapaku! Tersenyum padaku. Menyapaku. Ini nyata. Tuhan, kenapa perasaan ini menjalar lagi ke hatiku? Cukup. Ini memang bukan yang pertama kalinya, dan seharusnya dia-ku (yang sekarang) berhak untuk tidak memberiku kesempatan (lagi), setelah dia mengetahui cerita itu. Tadi dia hanya tidak tahu kalau aku bertemu lagi dengan masa laluku. Jika aku katakan, aku tahu dia akan berbicara begitu lembut padaku. Hal itu akan semakin membuatku merasa sangat bersalah. Maka aku memilih diam dan berkata tidak ada apa-apa. Tapi kenapa aku malah benar-benar semakin merasa bersalah sekarang? Pertemuan singkat tadi tak pelak membuat waktuku tersita oleh sebuah perasaan yang entah apa. Aku diam, kutarik nafas dalam-dalam sebelum aku memejamkan mata dan pulas. I'm OK. Aku akan baik-baik saja, pikirku. Menenangkan diri dengan tidur sepertinya akan jauh lebih baik. Lagipula semalam aku tidur terlalu larut. Kantuknya masih menyisa sampai siang ini.

Bruno Mars berteriak nyaring saat mataku masih terlalu berat untuk terbuka. Aku mengerutkan dahi saat deretan nomor tidak kukenal tertera di display HP-ku. Siapa? Mungkinkah...

"Halo," sapaku hati-hati.

"Lea, apa kabar?" suara itu! Aku langsung membulatkan mata. Dulu aku dan masa laluku itu tak sempat saling bicara, karena kami tidak yakin bahwa kami memiliki perasaan yang sama. Tapi setelah aku memiliki dia-ku (yang sekarang) dan dia memiliki oranglain, barulah kami sadar... bahwa kedekatan kami dulu karena kami.. ah, sudahlah!

"Aku.. baik. Kamu gimana? Apa kabar, cewek barumu?" tanyaku. Perasaan bersalah semakin menggantung. Seharusnya aku tidak mengangkatnya tadi. Seharusnya aku tidak bicara dengannya karena ini hanya akan membawaku pada kenangan-kenangan indah yang terpenggal tanpa akhir dengannya, dan itu akan membuatku larut dalam hal hal seharusnya sudah kulupakan. Ah, mungkin ini alasan kenapa dia-ku yang sekarang tidak suka aku terus membahas masa lalunya. Dia tidak ingin menyakitiku. Ah, tidak ingin menyakitiku? Astaga!

"Haa, sekarang udah nggak. Kamu sendiri?"

"Baik-baik aja," kataku datar.

"Ah, padahal tadinya aku.. aku ingin selesaikan yang belum sempat kita selesaikan beberapa waktu lalu," dadaku bergetar hebat. Tanganku gemetaran. Dulu aku memang benar-benar menyukainya. Sangat. Dan mungkin masih sampai saat ini. Buktinya aku masih saja dag-dig-dug berbicara dengannya padahal kita tidak saling bertatap muka. Kalau saja aku masih sendiri saat ini, mungkin aku bisa dengan mudah mengatakan "I do" untuk menjawab apa yang baru saja dikatakannya.

"Kenapa selesai ceritamu yang sekarang?" Ops! Aku segera menutup mulut. Salah ucap. Aku khawatir percakapan ini akan semakin memanjang dan akhirnya aku masuk ke dalam jerat cerita lamaku.

"Karena selama dengannya, yang aku pikirin cuma kamu." Jleb! Sedalam sumur. Aku mendesah. Tiba-tiba aku merasa gamang. Luar biasa gamang. Ini pertama kalinya kami bertemu kembali setelah setahun penuh kami tersekat jarak, waktu dan ruang. Tanpa komunikasi. Tapi ternyata dia masih menyimpan nomorku. Kenapa harus sekarang menghubungiku lagi?
Sejam berlalu. Dia bercerita banyak padaku dan aku larut mendengarkan. Hingga sampai pada bunyi biip, SMS masuk. Aku jadi kaget.

"Km kmna? Aku telp. daritadi sibuk. Lg keluar? Baik2 aja, kan? Tumben gak ngabarin.." 

Aku tertegun membacanya. Ya Tuhaaan, kenapa aku bisa sampai selupa ini? Bayangannya kembali bermain dikepalaku. Dia-ku yang setahun terakhir ini mengisi cerita yang sempat terpenggal. Sosok yang menurutku nyaris mendekati sempurna. Hap! Dia yang menjaga perasaanku. Dia.. dia yang... hari ini kembali aku buat tidak suka dengan perkataanku, dan yang nyaris aku buat kecewa jika dia tahu apa sebenarnya yang kurasaka hari ini.
Klik!
Aku mematikan telepon. Tak peduli pada dia lama-ku yang tiba-tiba datang. Hari ini. Hanya hari ini setelah sekian ratus hari. Tidak seperti dia-ku yang sekarang. Yang selalu ada, bahkan ketika aku tidak butuh.
Aku menekan nomor telepon yang sudah kuhapal diluar kepala.
"I LOVE YOU.." kataku saat dia baru saja berkata, "Halo.. kamu ke mana? Gak ada apa-apa, kan?"