Jumat, 27 Januari 2012

Surat Untuk Malaikat Kecilku


untukmu, sayang.. malaikat kecil yang ditakdirkan Allah lahir dr Rahimku..
catatan penuh kasih ini dariku, orang yang akan kamu panggil ibu.
Disini Ibu menaruh doa dan sejuta harapan buatmu.
semoga jika kelak kamu lahir, dan Ibu diizinkan untuk membesarkanmu, kamu bisa jadi penyejuk bagai hujan dimusim kemarau, bagai pelangi yang melengkungkan garis indahnya dilangit hati Ibu dan Ayah, selepas badai besar yang menghadang.
Sayang, jika kamu terlahir menjadi puteri, kamu akan tumbuh jadi gadis yang manis, gadis cantik yang bisa menyejukkan hati siapapun. Hatimu akan secantik parasmu. wajahmu bisa menenangkan kegelisahan siapapun yang bertemu denganmu. tuturmu selembut kain sutera yang dapat menyentuh kalbu orang2 yang menyayangi, bahkan yang tidak mengenalmu.
Jagoanku, jika kamu terlahir menjadi seorang putera, kamu akan menjadi lelaki tampan yang kuat, yang kokoh pendiriannya, yang dapat melindungi Ibu, patuh terhadap Ayah, sayang terhadap saudara2mu. Kamu akan jadi panutan karena akhlakmu, karena jiwa kepemimpinanmu.
Untukmu, malaikat kecil yang ditakdirkan Allah tumbuh dengan kasih sayangku.
Ibu bukan wanita sempurna yang bisa mendidikmu dengan cara yang kamu sukai. Ibu hanya ingin mencoba memberikan dan menjadikan kamu yang terbaik bukan hanya untuk Ibu dan Ayah, tapi untuk dunia. Jika kamu bersedih, berceritalah pada Ibu. Katakan semuanya agar Ibu bisa menenangkanmu. Jika kamu marah, jangan lampiaskan kemarahanmu pada hal2 yang akan membuatmu rugi. Ingatlah Allah, peluklah Ibu.
Raih cita2mu sayang. Kembangkan bakatmu. Jaga akhlakmu jika kamu jauh dari Ibu, jauh dari Ayah. Ingat Allah selalu. Jangan tinggalkan sholat, perbanyak baca Qur'an, jaga hatimu.
Sayang, jadilah matahari Ibu. Yang selalu menerangi setiap kegelapan dan kegelisahan Ibu. jadilah air yang menyejukkan, jadilah permata hati Ayah Ibu, selalu.
Kami menyayangimu, Nak. Doamu akan selalu ada dalam setiap doa kami.
Untukmu Malaikat Kecilku. Anak Sholehku.

Kamis, 26 Januari 2012

Cahaya dan Azzalia


Azzalia. Aku suka mendengar nama itu. sampai-sampai aku menjadikannya nickname di akun Facebook-ku. Aku mengenal nama itu darimu, Kak. Pacar yang akan jadi suamiku. Sekalipun aku masih 20 tahun, masih tingkat 2 disebuah sekolah tinggi, tapi tidak menghalangi niat kita untuk melangkah ke arah yang lebih jauh. Hubungan kita, bukan sekedar hubungan yang main2, katamu. Aku senang, dan siap dengan sepenuh hati, bahkan ketika kita berjanji bahwa jika kita menikah dan memiliki anak perempuan, kita akan memberinya nama itu. Kamu berkata, nama itu berarti cita-cita kita yang secantik Azzalia. Azzalia..... kamu sendiri masih merahasiakan kenapa kamu ingin memilih nama itu. Jika aku bertanya, kamu hanya menjawabnya dengan senyum tipis. Tapi aku yakin, apapun nama yang akan kamu beri untuk puteri kecil kita, pasti memiliki arti yang baik. Sampai suatu ketika, saat tidak sengaja aku menemukan selembar surat dengan amplop ungu muda dibalik jaketmu, aku tersentak. Siapa sebenarnya Azzalia?

 ***

Umur kita berselisih 6 tahun. Jarak yang cukup lumayan, tapi tidak menghalangi perasaanku padamu. Aku menyayangimu sejak pertama kita bertemu, 3 tahun lalu. Sampai hari inipun perasaan itu tidak berubah. Kamu tetaplah orang yang mampu menghibur, mampu menasihati, mampu meredam marah, mampu mengerti aku. Aku melihatmu sebagai sosok yang sempurna. Masalalumu tak aku ketahui, karena memang tak perlu. Lagipula selama denganku kamu tidak pernah membahasnya, dan aku percaya kamu bersikap seperti itu karena memang kamu sudah melupakannya. Tapi kenapa amplop ungu muda itu masih kamu simpan?

"Kamu percaya kan sama aku?" katamu saat aku bertanya. Aku mengangguk, walaupun dalam hati masih merasa resah. Sejak menerima amplop ungu muda itu sikapmu jadi agak lain padaku. Apa kamu bertemu lagi  dengan masa lalumu?

"Nama pengirim surat itu.. Azzalia?" aku mendesak.

"Ya, kenapa?" kamu balik bertanya, dingin.

"Siapa?"

"Teman lama," aku diam. Kugigit bibir bawahku dengan perasaan gelisah. Teman lama? Saat kulihat dari keadaan amplop yang masih terlipat rapi saja aku tahu itu bukan surat biasa.

"Kakak mau kasih nama anak kita sama dengan nama teman lama Kakak?"

"Kamu kenapa, sih? Udahlah. Gak usah dibahas. Yang penting aku gak bohong, kan? Aku suka nama Azzalia, itu gak ada hubungannya dengan masa laluku.."

"Masa lalu?" aku bertanya heran. Apa tadi aku membahas masa lalu? Tidak, kan? Kamu jadi gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir. Aku perempuan, bisa dengan mudah membaca apa yang sebenarnya terjadi dari sikapmu.

"Jangan menceracau gak jelas, Dea. Masalah kecil gak perlu kamu besar2in!"

aku menarik napas panjang. Berdebat dengan emosi yang sedang acak2an sepertiku saat ini memang tidak baik. Tapi aku  terusik dengan surat ungu itu. Aku tidak ingin jika kamu menikah denganku nanti, tapi setengah hatimu masih tertuju ke arah masa lalumu. 3 tahun aku mengenalmu, dan baru kali ini aku benar-benar merasa galau karenamu. Jika seandainya kamu tidak pernah membicarakan nama Azzalia, apalagi untuk anakku kelak, aku tak akan segamang ini melihat nama Azzalia di amplop ungu itu.

***

Bertengkar hanya karena nama anak, padahal belum tentu aku akan benar2 menikah denganmu, atau jikapun menikah, siapa yang bisa memastikan anak kita akan terlahir perempuan? Yang menjadi masalah adalah, kita berencana menikah enam bulan lagi. Saat aku liburan semester.
Seminggu sejak pertengkaran kita dirumahku, aku jadi penasaran dengan cerita2 masa lalumu. Aku tidak pernah mengenal siapa Azzalia. Membaca surat yang kutemukan dijaket cokelatmupun aku tak sempat karena aku takut jika isinya benar2 akan membuatku sakit hati. Aku masih menatapi rerumputan segar ditaman belakang rumahku, bermain di ayunan yang sengaja dibuat untuk adikku saat tiba2 kamu memelukku dari belakang.

"Maaf untuk Azzalia.." katamu dengan senyum hambar terhias dibibir. Kita tidak bertemu lagi sejak pertengkaran itu. Aku menatapmu heran, setengah masih merasa gelisah.

"Gak perlu minta maaf buat teman lama," seruku tertahan. Rasanya sekarang aku sudah mual mendengar nama itu meskipun aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Azzalia di masa lalumu.

"Kamu benar Dea, dia bukan hanya teman lamaku.." aku menarik napas panjang.

"Dea udah tau. Kakak akan balik sama dia?" tanyaku. Seminggu belakangan pikiranku mengembara jauh. Kamu tak ingin menceritakan masa lalumu padaku bukan karena kamu telah benar2 melupakannya, tapi karena kamu tahu dia akan kembali suatu hari nanti, tepatnya saat ini. Yang membuatku sakit adalah.. kenapa kamu mau menjalaninya denganku, bahkan nekat akan melamarku jika hatimu tidak padaku?

"Aku udah berpikir banyak sejak nerima surat itu lagi, Dea.." katanya. Aku menelan ludah pahit.

"Dea juga.." aku menyela. "kakak mau kasih nama anak kakak nanti dengan nama Azzalia, supaya bisa terus ingat dengan dia, kan? Sekarang dia udah kembali ke sini. Kenapa gak nikahi dia saja?"

"Jangan bicara macam-macam, Dea!" sentakmu agak tajam. Menyentuh ulu hatiku.

"Dea bener, kan? Dea masih terlalu kecil buat Kakak. Gak pantas. Kakak berubah sejak dia kembali ke sini,"

"Dea.."

"Dea udah ikhlas lepas kakak kalau memang kakak maunya seperti itu."

"Dea, denger." katamu sambil mengusap bahuku, berusaha menenangkan. Aku diam. Bersiap mendengar cerita masa lalunya yang entah apa itu.

"Dia adik tiriku, Dea. Dulu aku pernah sangat membencinya karena dia dan ibunya tiba2 datang ke kehidupan Papa setelah Mama meninggal," aku mengerutkan dahi. Adik tiri? Tiga tahun kita bersama, belum pernah aku tahu kamu punya adik tiri, apalagi yang bernama Azzalia. Aku memang tahu cerita tentang orangtuamu, tapi tidak tentang adik tiri atau apapun itu. Jangankan mengenalkan, menceritakannyapun kamu tak pernah. "Lima tahun lalu dia pernah aku buat celaka, sampai2 bisu saking shock-nya. Aku & dia sudah tidak bertemu sejak kejadian itu, dan aku berusaha menutupi cerita itu karena aku sangat menyesal. Menyesal setelah tahu bahwa saat aku menabraknya waktu itu, dia sedang membelikan kado untukku. Dia benar2 menyayangiku biarpun aku sering jahat sama dia." kamu menghela napas panjang.

"Namanya Azzalia?" potongku, nada suaraku merendah setelah mendengar ceritamu dengan wajah sedih.

"Azzalia nama tokoh novel favoritnya. Dia berniat memberikanku novel dengan judul itu waktu aku mau menabraknya. Aku senang dengan nama itu."

"Kenapa tiba2 dia datang lagi sekarang?"

"Dia baru lulus SMP, ingin mengabari aku kalau dia juara umum di sekolahnya. Lima tahun terakhir ini sebenarnya dia sering mengirimiku surat. Di surat pertamanya bahkan dia bilang 'kalau seandainya kakak menikah dan punya anak perempuan, apa kakak mau kasih nama anak kakak dengan nama Azzalia? Yang artinya gadis cantik penuh kelembutan hati, seperti tokoh novel yang pernah ia baca." aku ikut menghela napas, setengah menyesal karena telah berburuk sangka padamu.

"Kenapa kakak gak bilang? Kalau seandainya sejak aku nemuin surat itu kakak kasih tau yang sebenernya, aku pasti bisa nerima. Dan kenapa seminggu terakhir ini kakak bersikap beda padaku?" kataku. Kamu tersenyum.

"Aku sedang berpikir. Ingin mengajaknya tinggal bersama kita nanti, tapi takut kamu gak bisa nerima.."

"Itu aja?" tanyaku. Kau mengangguk. "Kenapa gak pernah cerita dari awal. Tentu aku mau Kak, bawa aja dia tinggal dengan kita nanti. Aku pasti bisa nerima. Sekarang dimana...."

"Cahaya.."

"Dimana Cahaya? Bawa aku ketemu dengannya.."

***

2 tahun berlalu sejak hari itu..
Kini kita tinggal bersama Azzalia kecil kita, juga si cantik Cahaya. Aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku, dan Cahaya baru diterima disebuah Universitas negeri kota Bandung, jurusan Psikologi. Saat SMA dia masuk kelas akselerasi. Aku bangga pada adik iparku itu. Keterbatasannya tak membatasi langkahnya. Tidak hanya pintar, dia juga pintar mengambil hati siapa saja. Aku buktinya. Kau juga, Kak. Apalagi si kecil Azzalia. Semoga kelak anak kita bisa tumbuh sepertinya. Azzalia-ku, Azzalia kita #end

Sabtu, 21 Januari 2012

Bukan Aku Yang Berubah

Bukan aku yang berubah.
Aku hanya ingin memperbaiki ketetapanku, dan aku benahi letaknya. Maaf untuk kecewamu saat ini, maaf untuk keraguanku untuk bisa  menjawab tanyamu. Kau kira ini mudah? Tidak. Ini sesuatu yang sulit bagiku. Sangat sulit. Bukan karena kamu tidak bisa membuatku tersenyum. Bukan juga karena aku tidak melihat adanya dirimu, yang benar-benar tulus, yang sungguh-sungguh. Juga bukan karena...
"Karena apa? Bukannya.." kalimatmu terputus karena aku memotongnya dengan senyuman sinisku. Tolong, jangan paksa aku untuk mengatakan bahwa aku berubah. Ini jalanku. Ini keputusanku. Ini.. sesuatu yang mungkin akan memperbaiki keadaanku suatu saat nanti. Aku egois. Mungkin memang benar aku egois. Tapi aku tidak berubah, sama sekali gak ada niat untuk merubahnya. Merubah perasaan ini.

"Maaf.. kamu berhak marah. Kamu berhak benci, tapi tetap.. aku gak berubah." aku mengelak dengan nada datar, berharap kamu akan segera mengerti. Tapi tidak, karena kamu malah menghela napas panjang dan menatapku dengan tatapan... kekecewaan. Tolong jangan lagi. Sorot mata itu biasanya selalu berhasil menyeretku untuk kembali ingkar dengan janjiku, tapi tidak kali ini. Jangan sampai.

"Aku mau pertahanin kamu. Gak peduli apapun perbedaan yang.."

"Berhenti bicara soal perbedaan." aku menyentak tajam. Rasanya terlalu jahat jika alasanku untuk berhenti bicara dengannya adalah karena perbedaan. Bukankah selama ini kami baik2 saja dengan perbedaan itu? Perbedaan yang sangat mencolok. Entah itu karena sifat, sikap, keinginan, dan sebagainya sampai... restu!

"Terus?"

"Aku mau fokus kuliah."

"Itu aja? Ada oranglain?" aku menggeleng lemah.

"Lalu?"

"Aku kan udah bilang, tadi!"

"Kamu picik. Apa selama kita jalanin, semua ganggu kuliah kamu?"

"Iya, iya tanpa kamu tahu."

"Hhh. Kamu berubah, sejak sebulan lalu." untuk kesejuta kalinya kamu ucapkan itu padaku. Memang, sebulan ini aku banyak berpikir tentang kita. Sekali lagi, maafkan aku. Berat sekali rasanya melepaskanmu, melepas kamu yang sudah terlanjur membuat hatiku tersanjung. Tapi entah kenapa tiba-tiba hari ini aku berani mengatakan hal ini padamu. Berakhir, cukup sampai disini. Dan sungguh, perasaanku gak akan berubah, entah sampai kapan. Aku jujur, tidak ada oranglain selain aku hanya ingin fokus belajar, tidak memikirkan hal lain lagi, karena rasanya terlalu capek. Capek memikirkan hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Pergi. Cari sesuatu yang mungkin lebih bisa mengerti dirimu. Tapi bukan aku, karena sekarang, aku akan setia pada ucapanku. Tidak ada dirimu, atau orang-orang lain sampai kuliahku berakhir. Bukan aku yang berubah. Tapi ketetapanku.
Aku pergi. Tapi perasaanku tidak. Jika memang Tuhan berkehendak mempertemukan kita lagi suatu hari nanti, percayalah, perasaan ini tetap sama dengan saat kita pertama bertemu, dengan saat ini. Saat kita berpisah. Saat kamu mengatakan aku berubah, dan aku mengelak bahwa bukan aku yang berubah, tapi ketetapanku. #end

Jumat, 20 Januari 2012

Nimas, Gadis Desaku

Setelah kurasa siap, aku memasukkan boneka kelinci yang dikirim adikku kemarin, kemudian mematut diri didepan cermin. Memastikan penampilanku tidak seburuk saat pertama bertemu dengan gadis itu dua bulan lalu. Ya.. besok aku sudah tidak di sini lagi. Aku harus kembali ke tempatku, ke rumahku. Setelah liburan panjangku di sini, bersamanya.
Aku bertemu dengan Nimas secara tidak sengaja disawah dua bulan lalu. Saat itu (mungkin) dia sedang mengantar makan siang buat Bapak-nya, dan aku, dengan ransel yang tersampir manis di bahu-ku berjalan sok keren dengan sekertaris lurah di kampung itu, suruhan pamanku. Kampung. Hahaha, lucu kan? Cowok sepertiku bisa jatuh cinta pada gadis kampung seperti Nimas? Awalnya aku tidak percaya, tapi aku memang benar-benar merasakannya.
Kembali ke pertemuan pertamaku dengan Nimas.
Saat tengah melewati sawah dengan penampilan yang 'cowok metropolitan' banget itu, aku tersuruk dan jatuh tepat ke kubangan lumpur yang baru selesai dibajak. Setengah mati aku menahan malu dan bergegas  berdiri saat Nimas bergerak cepat ke arahku. Mengulurkan tangannya untuk membawaku berdiri. Yup! Picisan. Tapi itulah awal kedekatanku dengan Dhika.

* * *

Catatan Hati Wening

Airmata semakin menderas, mengalir dipipi, jatuh didagunya. Gadis itu berlutut. Memungut sebuah buku tebal yang kertasnya berhamburan ke mana-mana. Ada luka dimatanya. Ada sakit yang terbias dari caranya memandang buku itu. Kupandangi ia dari jauh. Iba menyelusup, namun aku tak berani mendekat. Bentakannya beberapa hari lalu masih menyisakan sedikit trauma.
Tapi perasaan itu terus mendesak, mendesak agar aku mendekat. Menyapanya, merengkuhnya. Dalam nyata, bukan sekedar hanya bayangan seperti yang selalu aku lakukan setiap kali kulihat gadis pendiam itu. Sejak aku melihatnya satu tahun lalu, jangankan balas menyapa, tersenyumpun ia tak pernah.
Wening bangun, kertas-kertas itu telah terkumpul ditangannya. Tergenggam erat, seolah takut kehilangan untuk kedua kalinya. Mata itu masih basah. Masih merah, masih memperlihatkan perasaan luka yang begitu menyayat. Aku dapat merasakannya sekalipun aku tak tahu apa yang dirasakan Wening saat ini.
Kakinya bergetar saat ia melangkah, menyebrangi jalan sambil menggigit bibir. Kusampirkan tas, berjalan terburu-buru untuk mendekatinya. Pedulilah apa yang akan dilakukan gadis itu padaku nanti. Aku hanya takut langkahnya semakin melemah dipertengahan jalan.
Wening yang menyadari kehadiranku berjalan semakin tergopoh, berusaha tidak mengacuhkan aku yang kini hanya berjarak beberapa meter darinya.

Minggu, 15 Januari 2012

Kado Terakhir Ze

"Kalo seandainya.. besok, besok, atau mungkin besoknya lagi kita gak bisa ketemu, gimana?" Ze memalingkan wajah dari laptopnya ke arah Aqil, lalu mengerutkan dahi sambil menghela napas.
"Bukannya udah biasa, ya? Lo kuliah di Jakarta, gue di Bandung. Kalo ada waktu libur kita bisa ketemu kayak sekarang ini, kan?" tanya Ze lagi, kali ini dengan senyum yang ia pasang semanis mungkin. Aqil membuang napas. Menatap Ze tanpa berkedip, sebelum detik berikutnya ia mengacak-acak puncak kepala Ze. Ze akhirnya merasa terusik dengan pertanyaan itu. Ia menyimpan file bagian akhir novel yang sedang ia tulis, mematikan laptop, kemudian benar-benar memalingkan wajah ke arah Aqil.

"Kenapa sih Qil, kok nanyanya yang aneh-aneh gitu?"

"Ya gak apa-apa. Cuma, sebentar lagi kan anniversary kita yang ke-empat, tapi gue malah harus balik ke Jakarta. Gak kayak tahun-tahun sebelumnya"

"Gara-gara itu doang, Qil? Konyol banget sih Aqil? Gak usah lebay gitu, deh. Gak setiap tahun juga harus dirayain, kan? Lagian, dengan lo rela bolak-balik Jakarta-Bandung buat ketemu gue aja, gue udah syukur banget."

"Tapi Ze.."

"Aqil, udah deh.."

Sabtu, 14 Januari 2012

Romantisnya Pacar Cuekku

"Gini nih, susahnya pacaran sama anak IPA!"
"Susah apanya?"
"Ya susah. Guenya jadi dicuekin. Pelajaraaaaan mulu yang diurusin."
"Lho, emang harusnya gitu, kan?"
"Tapi gak gini-gini juga, kali. Emang gue boneka, apa, yang diajak maen kalo lagi pengin doang?"
Trisa menghela napas. Memalingkan wajahnya dari buku tulis ke arah Nunu. Yang ditatap masih memasang tampang be-te. Manyun sambil menopang dagu depan telapak tangan.
"Kenapa lagi sih, Faesal lo?" tanyanya, setelah meletakkan ballpoint dan benar-benar mengkonsentrasikan mata pada Nunu.
"Ya gitu. Gue minta temenin ke toko buku, alesannya banyak tugas. Trus dia bilang, 'kamu kan udah gede, kenapa harus ditemenin segala?'' bete, kan?"
Trisa ngakak, tapi segera menutup mulut saat mata Nunu membulat ke arahnya.
"Dia nggak salah, kan?" komentarnya cuek.
"Huuu. Malah dibelain. Capek gue kalo lama-lama gini."
"Nunu, kalian itu pacaran udah hampir 3 bulan, lho. Lo juga pasti ngerti, kali, kalo sifatnya memang begitu.."
"Tapi kalo terus-terusan kayak gini, guenya juga yang makan ati!"
"Serba salah ya hidup looo Nu... Nu. Waktu pacaran sama Exel, lo ngeluh sama sikap overnya. Giliran dapet yang cuek, mencak-mencak lagi. Mau lo apa lagi sekarang?"

***

Kepadamu Gerimis, Ini Cinta Pertamaku

Aku berharap malam ini gerimis tidak berhenti. Semoga!
Biarkan dia menemaniku mengenang sesuatu tentangmu, tentang apa yang pernah kau gariskan dalam hariku. Coba lihat, indah bukan? Tetes-tetes air hujan itu... dulu aku bersamamu, terjebak gerimis diantara perkebunan teh yang menghampar luas di sisi kanan dan kiri. Kamu memberikan jaket tebalmu padaku waktu itu, empat tahun lalu. Lalu sekarang, ke mana semua cerita itu?


"Kepadamu, gerimis.. biarkan aku menceritakan sebuah kisah. tentangku, tentang sesuatu 'yang pernah' bermakna bagi hari-hariku ; Kamu tahu gerimis, apa yang membuatku sangat menyukaimu hingga saat ini? Sebuah cerita pendek. Bukan kisah yang menarik, tapi berkesan dalam bagiku. Sore itu aku dan dia, juga perkebunan teh yang menjadi saksi. Pertengahan Oktober 2007. Pertama kalinya dalam hidupku aku merasa bahagia, luar biasa bahagia. Bersamanya. Disana, ditempat itu, ditengah gerimis."

Rabu, 11 Januari 2012

Luruh Dibahumu

Disudut ruang itu aku berdiri mematung, menatap dengan airmata menggenang dipelupuk. Kamu menoleh, lalu tersenyum simpul saat mendapati aku sudah terdiam disana. Seperti biasa, kamu sudah bisa menangkapnya. Ada sesuatu yang terjadi padaku, ketika aku hanya dapat menghela napas panjang dan menggigit bibir. Kamu menghampiri aku, lalu dengan sabarmu bertanya, ada apa?
Aku berupaya melebarkan senyum, menguatkan diri. Tapi rupanya tidak mampu bertahan lama hingga akhirnya aku jatuh berlutut dihadapanmu. Airmata ini jatuh, tidak lagi dapat aku bendung. Aku benar, dihadapanmu, aku tak bisa berpura-pura kuat.

"Kenapa?" tanyamu dengan wajah penuh prihatin. Ya Tuhan, darimana aku memulai cerita ini? Rasanya sungguh sulit. Saat menyadari semua yang terjadi padaku, dan apa yang ada dikepalaku tentang itu. Semua berputar bagaikan bola api. Bola api yang menggelinding dan karam dihatiku, membakar semua asa yang sempat kutanam. Kamu mendudukkan aku dibangku panjang itu. Dihadapan sebuah kolam ikan kecil, dimana kamu tahu aku akan senang dengan hal itu jika hatiku sedang dalam baik.

Minggu, 08 Januari 2012

Pelangi Itu Kini Tak Seindah Dulu

"Kamu gak pa-pa, Niur?"
seseorang menepuk bahuku, menyadarkanku sepenuhnya dari lamunan panjangku. Aku menoleh cepat dan tersenyum pada sosok jangkung yang berdiri dibelakangku, menatapku khawatir dengan dua bola mata hitamnya, kemudian mengangguk meyakinkan.
"Mikirin apa? Daritadi aku lihat kayaknya kamu ngelamun terus." akhirnya ia mendaratkan tubuh disampingku, menyentuh bahuku ragu-ragu. Aku masih diam. Tatapan kosongku menerawang jauh ke depan, menatapi gerimis-gerimis yang jatuh ke bumi, mengundang bau tanah yang menyengat hidung. Dadaku berdegup sangat keras. Daritadi katanya? Bukannya sejak kejadian itu aku jadi banyak melamun? Bukannya sejak aku mengetahui bagaimana cerita sebenarnya, melamun sudah menjadi kegiatan rutinku? Apa dia tidak menyadarinya? Tidak melihatnya? Atau berpura-pura melupakannya?
"Dav," aku menggumam pelan. Tiba-tiba aku merasakan rindu menyengat hatiku. Rindu pada sosok yang biasa menenangkanku, yang biasa kurengkuh tubuhnya jika aku lelah, jika aku terluka.
"Ya.." Davi menyahut antusias, semakin mendekatkan matanya ke wajahku.
"Kenapa pelangi itu gak pernah ada lagi?"
"Pelangi?" Davi memandangku sambil menelan ludah, tapi aku tak peduli. Pelangi.. ya, dimana pelangi itu sebenarnya? Ketika aku telah menemukan sosok yang mampu memberikan warna bagai pelangi buat hari-hariku, kenapa secepat ini ia meninggalkanku? Tuhan, kenyataan seperti apa lagi yang Kau ujikan padaku? Sakit sekali rasanya.