Kamis, 07 Februari 2013

Ini Bukan Hanya Tentang Aku.

Jika tidak dari hati, aku tidak akan berani menuliskannya di sini. Ini tentangmu, tentang orang yang dengan sukses menutup lembar ceritaku dulu. Orang yang berhasil meraihku lagi. Orang yang dengan setia menungguku mengembalikan hampir semua kepercayaan yang nyaris meluntur. Walaupun aku belum bisa memastikan sepenuhnya bahwa kedatanganmu kemarin sampai hari ini memang benar-benar untuk menggantikannya atau hanya sekedar lewat dan kembali menjatuhkanku lagi, aku belum dan tidak akan memedulikan itu.

Mungkin memang ada beberapa hal yang masih belum bisa kusesuaikan darimu, masih membuat aku bertanya; seserius apa kamu mau mengenalku? Pertama, sifat dan sikapmu yang kadang tidak kumengerti. Aku sudah belajar memahamimu, mengerti tentang apapun yang berkaitan denganmu, dan berusaha menyelami banyak tentang hal-hal yang tersembunyi dari sikapmu. Tapi nyatanya, justru malah aku yang selalu membuatmu kesal. Isn't it?
Maaf untuk itu, aku sama sekali nggak punya maksud membuatmu kecewa dan semacamnya. Mungkin hanya caraku memahamimu yang salah. Mungkin hanya caraku menyampaikan maksudku yang belum baik. Tapi sampai detik ini, aku memaknai kehadiranmu sebagai bagian paling 'mengesankan' dari perjalananku yang (mungkin) masih panjang.

Minggu Depan, Ditempat Ini





Nada menatap ke jendela kaca yang dipenuhi titik-titik air. Hujan deras yang turun sejak tadi belum juga berhenti, sementara cup berisi Cappucino Latte yang dipesannya sudah ludes setengah jam yang lalu. Nada menopang dagu, menghela napas cepat dan membuangnya lambat-lambat. Rinai hujan turun berirama, menyenandungkan sebuah ketenangan ke balik hati Nada yang dibuat kacau oleh peristiwa bulan lalu. Ramadhan dan Diana. Halah! Sudahlah.  Ini minggu ke-tiga sejak Nada rajin berkunjung ke kafe ini. Memesan cappucino latte dan memandangi jalanan dari balik jendela. Hanya itu yang dilakukannya setiap kali datang kemari. Tapi minggu ini, ada hal lain yang membawanya datang lagi. Entah apa. Nada memalingkan wajah dari jendela, mengedarkan wajah ke semua arah ketika..
“Boleh, aku duduk disini?” Nada menoleh dan mengerutkan dahi. Seorang cowok berkaus abu dengan jeans hitam yang dua minggu terakhir juga dijumpainya ditempat ini tersenyum kecil, seraya mendaratkan tubuh didepan Nada sebelum Nada meng-iyakan. Nada balas tersenyum, tapi  detik berikutnya wajahnya kembali fokus pada rintik hujan diluar sana.

Cerber; Diary Adita *part 2

     1 Februari 2012
      Apaaaaa?
Enam bulan? Selama ini? Yup. Ini bulan keenam dimana gue masih terus usaha buat deketin Zaki. Dan hasilnya.... nihil. Gue belum juga sukses bikin dia noleh ke gue sedikiiiiiiiiiit aja,  kecuali kalo bahas masalah foto, boxer, atau kelas bahasa. Itupun harus gue yang minta ketemu duluan. Satu hal yang gue anggap sebagai salah satu ‘keberhasilan’ adalah dengan suksesnya gue minta nomornya, walaupun gue harus ngebujuk dan maksa-maksa dikit tujuh hari tujuh malem + mandi kembang segala #abaikan. Setiap pagi dan malem gue rajin sms-in kata-kata penyemangat yang gue salin dari temen-temen di fakultas sastra indonesia, dengan tujuan dia mau bales sms gue. Tapi nothing. Gue juga berusaha bikin dia tertarik sama gue dengan bawain dia buku-buku tentang fotografi (kalo mau bahas soal boxer, gue takut diajak praktek langsung dengan berantem. Wiiih, bergidik duluan gue. Mau tanya soal bahasa, takut dia malah ngajak gue ngobrol bahasa inggris, padahal kemampuan gue ngomong bahasa inggris cuman sebatas ‘ay lop yu’).

Sabtu, 02 Februari 2013

Cerber; Diary Adita *part 1


16 September 2011
      Namanya Zaki. Cowok dengan kacamata berbingkai hitam yang sukses menarik perhatian gue. Cowok sok cool yang pendiam. Benar-benar sangat pendiam. Dia berbicara hanya jika ada perlu atau jika ditanya lebih dulu. Itupun jika pertanyaannya penting –menurut dia- Apapun alasannya, tapi cowok itu beda dari cowok-cowok lain yang gue kenal, termasuk mantan-mantan gue.
      Pertama kalinya gue ketemu dengan Zaki adalah waktu kuliah pertama gue. Senin pagi, awal bulan Agustus kemarin. Waktu itu gue bingung cari ruangan, terus ketemu Zaki yang kebetulan jalan ke arah yang sama. Gue nekat nanya.
      “Maaf Kak. Ruangan A.2.2 di mana ya?” tanya gue. Waktu itu gue sama sekali belum tahu kalo Zaki tipe cowok yang bener-bener diem! Zaki noleh, dia betulin letak kacamatanya sambil narik sebelah alisnya.
      “Belok kanan, naik ke atas..” sahutnya singkat, kemudian berlalu di tangga, dan menghilang. Gue diem sebentar. Setengah shock dengan perlakuan dingin cowok itu setelah kami berpisah. Sebelum ini, mana ada cowok yang berani-beraninya bikin gue gondok setengah mati seperti ini? Sejak saat itu gue naruh janji dalam hati, “GUE BISA BIKIN LO NGEJAR-NGEJAR GUE..”