Selasa, 07 Agustus 2012

Kamu Bayangan Dia-ku, Aku Bayangan Dia-mu.

"Ada yang lagi kamu pikirin?"

Aku mengangkat kepala, menatap sosok yang saat ini berdiri tepat dihadapanku, kemudian tersenyum dan menggeleng pelan.

"Nggak ada," sahutku singkat. Dia tersenyum. Senyum yang masih sama seperti dua tahun lalu. Meski sekilas aku merasa ada yang berbeda pada dirinya sekarang, setidaknya senyum itu masih sehangat dulu. Aku balas tersenyum. Lalu bangun dari dudukku dan menepuk bahu-nya.

"Yakin?" dia bertanya lagi. Kali ini sambil mengerutkan dahi dan menatapku dengan mata yang sedikit di sipitkan. Aku mengangguk meyakinkan. Berjalan mendahuluinya didepan.

"Ke mana kita?" tanyaku tanpa menoleh lagi. Jeda beberapa detik penuh sampai kemudian,

"Kebun teh..." tiba-tiba langkahku berhenti. Seketika aku menoleh dan menatapnya lagi. Dia mengangkat kedua alisnya. Sejurus kemudian, dia memamerkan sederetan gigi putihnya. Memasang ekspresi wajah polos, seolah berkata, "kenapa? Ada yang aneh?"

Tidak banyak bertanya, aku kembali meneruskan langkah. Berjalan ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari halaman rumah. Benar, ada yang berubah pada sosok laki-laki ini. Sebelumnya, mana mau dia pergi ke tempat itu? Tempat yang paling kusukai...

@#$%^&*



Kupikir aku tidak akan bertemu dengannya lagi, setelah kami terpisah jarak ribuan kilometer serta waktu yang tidak bisa dihitung jari. Harapan itu sempat memudar, bahkan nyaris menghilang seiring detakan detik. Tapi nyatanya, kedatangannya beberapa jam lalu menjadi bukti bahwa antara kami memang masih terikat satu cerita yang belum menemukan klimaks-nya.
Ingat bahwa dua tahun lalu dia pernah berkata padaku, "memang, kalo aku nggak kasih kamu kabar beberapa waktu, kamu masih mau nunggu aku?"
hanya itu kalimat terakhirnya padaku, sebelum kami benar-benar berpisah dan kehilangan kontak. Saat itu, yang ada dikepalaku mungkin dia tidak akan menghubungiku jika hanya dia sedang sibuk dengan urusannya di Sumatera sana. Jadi aku masih bersedia menunggu. Toh lama-lama akhirnya dia akan kembali juga, kan? Tapi sampai pada hitungan 730 hari, kabar itu tidak juga mampir ke rumahku. Bodohnya, aku masih tetap menunggu, entah untuk alasan yang mana. Hingga sampai detik terakhir sebelum kepulangannya kembali ke sini, saat harapan itu sudah mau ku kubur dalam-dalam, tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Beruntung, akulah yang membukakan pintu. Nyaris tak kukenali siapa yang berdiri didepanku, aku malah diam. Tubuhku mendingin seperti es batu sampai sapaan itu berhasil melelehkan kebekuanku.

"Adiza? Ini kamu?"

laki-laki yang entah kenapa benar-benar sangat kuharapkan kehadirannya itu kini hadir lagi didepanku. Padahal kami tidak terikat pada satu ikatan apapun. Segala sesuatu tentangnya hanya mengingatkanku pada sosok yang sudah lama terkubur dalam ingatan serta tanah merah. Mengenalnyapun tidak dengan sengaja. Berbulan-bulan dekat dengannya, akhirnya aku bisa menggantikan dia-ku yang dulu, dan malah tumbuh sebuah perasaan tidak mau kehilangan (lagi). Sayang, perasaan itu berbanding terbalik dengan sikap dinginnya padaku. Dingin setengah mati.

"Diza, jangan bilang kamu aneh lihat sikapku hari ini.." tiba-tiba dia me-rem mobilnya saat lampu merah menyala di perempatan jalan. Posisiku jadi maju mundur. Untung tertahan sitbelt. Lamunanku buyar seketika. Aku menelan ludah. Sejak kapan dia bisa menebak apa yang sedang kupikirkan? Aku tahu dia. berbulan lamanya aku menyelami banyak tentang dia, tak satu halpun tentangnya yang aku lewati begitu saja.

"Aku cuma masih kaget aja. Kamu tiba-tiba datang."

"Kaget?"

Aku mengangguk. Kemudian jeda beberapa detik setelahnya. Lampu hijau menyala. Kami menghabiskan satu menit penuh dalam diam. Tanpa dialog. Mobilnya kembali menggilas jalanan. Lagi-lagi hening menyapa. Kami memutuskan untuk tetap memelihara bisu kami sampai empat puluh menit kemudian, pemandangan serbahijau menjulang sejauh mata memandang.

@#$%^&*

"Jadi, gimana kabarmu?" kusunggingkan senyum, jawaban singkat yang kupikir berarti "aku baik-baik saja. Selalu baik-baik saja, meski tanpamu.." setelahnya, kuhela napas dalam-dalam. Benarkah 730 hari tidak bertemu, sikap dinginnya perlahan mulai mencair? Atau dia hanya sedang menyiapkan kejutan yang akan membuatku jauh lebih kecewa dari sebelum ini? Anganku menerawang, menerka pikirannya sejauh bumi dan langit. Gagal. Aku selalu gagal menebak apa yang tersirat dari bola matanya. Sama seperti dia yang tidak pernah ingin tahu apa yang kurasakan.

"Kamu sendiri? Gimana hidupmu di Sumatera sana? Menyenangkan ya? Kuliahmu udah selesai?" dia menghela napas. Sedikit menyunggingkan senyum pada pelayan yang datang membawakan pesanan kami. Beberapa detik setelahnya, tangannya asik sendiri memainkan sedotan pada gelas minumannya. Sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Begitu banyak perubahan padanya sekarang.

"Sangat. Banyak hal baru yang aku dapat disana. Kapan-kapan giliran kamu yang main ke sana, ya?" aku masih mengunyah steak-ku saat kudengar tawaran dengan nada excited-nya tadi. Seketika bola mataku membulat, yang kuarahkan padanya.

"Kenapa?" tanyanya lagi, seperti nada bersalah. Kutelan steak-ku pelan-pelan, kemudian kembali tersenyum.

"Oke. Kapan-kapan," sahutku.

"O iya. Kamu mau tahu.. engngng... nggak jadi." katanya, menggantung kalimat. Aku diam. Yang kutahu, ada hal penting yang akan dibicarakan jika tiba-tiba dia batal bicara. Aku berhenti dengan makananku. Kuarahkan mataku padanya.

"Tahu," jawabku sok tahu. Firasatku memang mengatakan ada sesuatu yang perlu dibicarakannya denganku.

@#$%^&*

"Jadi...?" aku benar-benar tidak bisa bicara saat kudengar penjelasannya tadi. Tentang kenapa dia pergi, dan kenapa tiba-tiba kembali. Akal sehatku belum sepenuhnya bisa menampung setiap ribuan huruf yang keluar dari mulutnya barusan.

"Bi-bisa kasih tau sekali lagi.."

"Aku pergi bukan karena aku nggak suka dengan caramu dekat-dekat aku. Tapi cara itu buat aku ingat kalau kamu.... mirip dengan Adinda." nyaliku mencelos. Adinda.. Adinda.. jangan bilang...

"Maksudnya..."

"Saudara kembarmu.."

"Ta-tapi..."

"Kita memang belum pernah ketemu, Adiza. Tapi Dinda udah banyak cerita tentangmu. Kamu nggak ingat, waktu Dinda meninggal, aku datang ke rumahmu? Aku lihat kamu dengan jelas, tapi nggak berani mendekat. Haha. Siapa yang sangka enam bulan kemudian, kita ketemu lagi di toko buku itu? Eh, kenapa waktu itu kamu tertarik denganku?"

Kuhela napas dalam-dalam.

"Ah, tapi kamu nggak perlu jawab. Aku balik ke sini cuma mau meluruskan hal yang bertahun-tahun ini belum kita bicarakan. Diza, aku tahu kamu dekat denganku karena aku juga mirip dengan cowokmu, kan?"

Masih diam ditempat, kesadaranku nyaris pergi entah ke mana. 2 tahun lamanya menghilang tanpa kabar, ternyata ini alasannya? Kenapa dia selalu nolak aku ajak pergi ke sini, ke kebun teh, karena dia nggak mau ingat soal Dinda denga alasan dulu Dinda juga sangat suka kebun teh? 

"Biar aku jelasin Diza. Aku hindarin kamu bukan karena aku takut ingat Dinda lagi, tapi karena... sedikit-sedikit aku mulai suka dengan kamu. Aku mulai sayang kamu bukan sebagai Dinda, tapi sebagai kamu.. Diza. Waktu aku pergi, aku cuma nggak siap gantikan posisi Dinda dengan siapapun termasuk kamu, saudara kembarnya. Tapi makin lama.... yah, hati emang nggak bisa bohong. Kemarin ini, Afrizal cerita banyak tentang kamu. Dan itu yang bawa aku kembali ke Bandung untuk ketemu kamu. Diza, kalau aku bilang.."

Dadaku berdegup kencang. Kenapa ceritanya sama dengan ceritaku?

"Jadi, kamu mau jadi orang yang kusayang... lagi? Sebelum aku balik ke Sumatera.. lagi?"

Aku gamang.
Sebelum kesadaranku melenyap sepenuhnya, aku sempat mengatakan "Iya..". Lalu semuanya jadi gelap.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar