Sabtu, 10 November 2012

Empat Tahun!


"Jadi, kamu masih mau nunggu?"

"Yup"

"Sampai kapan?"

"Sampai dia balik ke sini.."

"Kalo nggak?"

"Dia pasti balik!"

"Tapi kalo.."

"Tama gak mungkin ingkar janji. Dia minta aku tunggu empat tahun, jadi.. aku percaya gak lama lagi dia pulang."

"Pulang... untuk kamu?"

Aku menghela napas panjang. Pertanyaan itu (lagi-lagi) menohok ulu hatiku, entah untuk ke berapa ratuss kalinya. Pertanyaan yang sama dari mulut yang berbeda. Tenggorokanku tercekat ketika aku mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan Ami buatku. Kenapa orang-orang sepertinya meragukan Tama? Aku bahkan mengenal pria itu lebih dari 5 tahun. Ia pergi bukan berarti ia meninggalkanku, kan? Empat tahun lalu ia pamit padaku untuk menyelesaikan study-nya di Yogyakarta. Dan memintaku untuk menunggunya kembali, tahun ini.



"Udah deh Ami, jangan nanya yang enggak-enggak. Yang perlukamu lakuin sekarang itu bantu aku nyiapin semuaya buat Tama.."

"Gak usah berlebihan gitu, Farhah. Dia cuma datang dari Yogya, bukan dari luar negeri.."

"Tapi aku udah gak ketemu dia empat tahun! Empat tahun, Ami! Kamu kan tahu sendiri.."

Emosiku naik ketika kudengar Ami sama sekali tak ingin membantuku. Padahal dia yang paling tahu betapa berartinya Tama buatku tujuh tahun terakhir ini. Dan empat tahun lamanya aku tidak bertemu pria itu meskipun aku sendiri masih tidak mengerti kenapa Tama tidak pernah pulang sekalipun, padahal jarak Yogyakarta-Bandung tidak seberapa jauh.

"Kenapa sih? Ada yang salah kalo aku mau nunggu pacarku balik, hah?"

"Dia baru pacar, bukan suamimu! Dan apapun bisa terjadi selama empat tahun dia ninggalin kamu!"

Sudah. Aku bangkit dari tempat dudukku. Aku malas berdebat dengan Ami atau siapapun orang yang tiba-tiba meragukan hubunganku dengan Tama. Apa yang salah sih? Apa yang perlu dikuatirkan? Aku dan Tama baik-baik saja selama kami berpisah. Komunikasi kami berjalan baik. Tidak sekalipun dalam seminggu ia alpa meneleponku. SMS setiap waktu. Apa lagi? Ah, sudahlah! Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah kepulangan Tama, dan janjinya. Janji untuk melamarku di hari kepulangannya, dan tepat di hari ulangtahunku yang ke-20! Bulan depan.


***

Malam merangkak pelan. Langit sukses mengubur senja. Bulan dan bintang nampak segar bangun dari peraduannya, menyambut tugasnya sampai mentari menjemput lagi, besok. Aku termangu sendiri di balkon rumah, menunggu angin malam menyapaku. Aku masih heran dengan sikap sebagian orang yang tahu sejarahku dengan Tama beberapa bulan ini. Mereka seolah tidak yakin bahwa aku dan Tama akan melangkah lebih jauh dari sebelum ini. Apa-apaan ini? Hhh.. aku menengadahkan kepala ke atas langit. Berbagai kenangan tiba-tiba berkelebatan di kepalaku tentang Tama. Ada apa sebenarnya? Apa yang Ami dan orang-orang katakan tentang keraguannya akan Tama memang benar? Atau ini hanya ujian?
Ahh, ini memang hanya keraguan mereka karena mereka belum tahu kalau aku dan Tama akan segera menikah jika Tama selesai wisuda nanti. Aku menenangkan diri, ketika HP-ku berteriak keras.

"Halo," aku menyambutnya dengan senyum (yang selalu) manis.

"Lagi apa kamu?"

"Lagi nunggu kamu pulang,"

"Hahaha. Bulan depan, Farhah." kata Tama. Lalu jeda setelah itu.

"Ya iyalah. Jatuh tempo-nya memang sampai bulan depan," aku terkikik. Tapi suara tawaku terhenti seketika saat kudengar tangis bayi di belakang Tama.

"Itu siapa?" tanyaku curiga. Malam-malam begini, anak siapa yang sedang diasuh Tama?

"Ibu kost lagi main ke tempatku, bawa keponakannya."

"Ah, aku kira itu anakmu!" aku tertawa lagi. Tama hanya mengeluarkan sebuah desisan, yang terdengar seperti senyum yang dipaksakan.

"Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan dengan kamu, Farhah. Soal kita dan.. masa depan kita."

***

Aku segera menyambut Kayaf yang baru datang dari Yogya. Beberapa hari lalu ternyata dia pergi ke sana tanpa aku tahu. Katanya, kalau aku tahu, aku pasti mendesak ikut pergi ke sana. Kalau aku ikut, urusannya bakal tambah panjang. Dia baru meneleponku ketika dalam perjalanan pulang ke Bandung. Kesel sih, tapi aku jadi ingat pesan Tama yang tidak ingin aku capek dengan menyusulnya ke sana. Biar kangennya tambah besar, begitu alasan yang ia lontarkan padaku. Dan biar aku dan Tama bisa selamanya bersama, tanpa dipisahkan waktu dan tempat lagi ketika Tama pulang nanti. Aku hanya nyengir kuda saat ia mengatakan itu padaku di telepon beberapa bulan lalu. Yeah, apapun katanya, aku yakin itu yang terbaik buat kami.

"Kayaf! Ketemu Tama, kan? Dia titip sesuatu buat aku?" aku menyerbunya langsung. Kugeledah ransel besarnya yang tergeletak begitu saja di sofa ruang TVnya. Kayaf itu sepupuku yang juga tahu sejarah kami berdua. Kayaf menatapku agak lama. Nafasnya naik turun, seperti orang sedang kambuh asma-nya.

"Gak ketemu," sahutnya singkat. Aku mengernyitkan dahi, menatapnya dengan tatapan curiga. Masak sih? Mereka berteman sudah sebelum aku mengenal Tama. Dan nyaris beberapa tahun (sama sepertiku) juga mereka tidak bertemu. Mana mungkin jauh-jauh ke Yogya, gak ketemu sama sekali?

"Kemaren gue sibuk ngurusin urusan gue. Gak sempet main ke mana-mana. Makanya gue pergi gak bilang-bilang sama lo," aku langsung memasang wajah kecewa.

"Bentar lagi juga dia pulang kan, Far?" katanya lagi, mencoba menghibur, mungkin. Tapi aku tidak terhibur sama sekali. Kayaf langsung pergi ke kamarnya setelah bertanya begitu. Aku jadi curiga. Ada apa dengan semua orang tentang aku dan Tama?

"Eh, tapi..."

"Apa?"

"Ngng.. gak jadi,"

***

Tiga minggu berlalu. Itu berarti minggu depan Tama pulang. Aku sudah tak sabar menyambut, dan memberi tahu semua orang tentang rencana rahasia kami. Tak ada yang tahu tentang rencana kami berdua. Tunangan. Tak ada yang tahu, termasuk kedua orangtuaku. Tama bilang, biar semuanya jadi surprise. Bagaimana wajahnya sekarang ya? Aku jadi membayangkan, walaupun Tama rajin mengirimiku foto terbarunya. Sekarang dia berumur 23 tahun. Secepat inikah waktu berlalu? Waktu kami berpisah, aku ingat betul dia masih berumur 19 tahun, dan aku masih 16 tahun.

"Tama ya?" Kayaf mengguncang bahuku yang masih asyik melamun di halaman belakang rumahku.

"Heh, kapan dateng?" aku balik bertanya.

"Barusan. Jadi, kapan Tama pulang?"

"Beberapa hari lagi. Oya, dia gak ada cerita apa-apa sama kamu, Yaf?" Kayaf melonjak. Seperti kaget mendengar pertanyaanku.

"Cerita?" tanyanya. Aku mengangguk, hanya ingin memastikan bahwa Tama (setidaknya) berbagi cerita dengan teman dekat yang sekaligus sepupuku, Kayaf. Kayaf ambil tempat disampingku. Ia menghela napas begitu mendaratkan tubuhnya dikursi.

Kayaf menatapku (lagi) lamat-lamat. Ia seperti menyembunyikan sesuatu dariku. "Lo kok mau-maunya nunggu 4 tahun gini? Emang gak ada cowok yang mau deketin lo lagi ya?" tanyanya. Aku tahu nadanya becanda, tapi aku sebal mendengarnya. Dia meragukan kesetiaanku! Aku tidak menjawab, ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk perasaanku, entah apa itu. Kayaf mengacak puncak kepalaku.

"Gue becandaaaaa!" katanya lagi, "mau ikut pergi gak? Gue sama Ami mau nonton sore ini. Gimana?" aku diam lagi, setengah berpikir. Ah, sekalian beli kado buat Tama.

"Ikut!"

***

"Lah, kok malah jadi baju bayi, Far?" Ami mengerutkan dahi saat melihat aku menenteng dua shopping bag berisi baju bayi lucu berwarna jingga. Aku sendiri heran kenapa tiba-tiba aku tertarik masuk ke toko perlengkapan bayi itu dan membeli stelan ini. Buat Tama? Ah! Aku menepisnya. Biar aku simpan saja baju ini, siapa tahu nanti ada yang membutuhkan.

"Bukan buat Tama," cetusku. Tapi mendadak aku jadi risau. kalau bukan buat Tama, kenapa aku membelinya?

"Nah, terus lo beli apaan buat Tama?" Kayaf buka suara. Aku diam lagi. Niat untuk membelikan Tama hadiah lenyap seketika saat aku membayar baju yang ada ditanganku saat ini.

***

Hari yang kutunggupun tiba. Aku sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, walaupun tidak sesempurna rencana awal. Mood-ku pelan-pelan jadi buruk. Mungkin karena sugesti yang ditunjukkan oleh orang-orang terdekatku tentang Tama. Tama melarangku menjemputnya di stasiun dengan alasan ia datang bersama seseorang. Perasaanku berdegup tak menentu saat mengingat bahwa ini pertemuan pertamaku dengan Tama setelah empat tahun berpisah. Tapi ada bagian lain yang tiba-tiba membuat lututku lemas untuk menyambutnya.

***

Aku masih mematut diri didepan cermin ketika tiba-tiba Ami masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk. Aku menoleh refleks, antara kaget dan kesal.

"Bisa ketuk pintu dulu gak sih?"

"Kamu yakin mau ketemu Tama, Far?" aku sontak kaget. Kutatap Ami dalam-dalam. Sepertinya memang benar, beberapa hari ini aku merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku tentang Tama. Apa itu? Apa? Kenapa Tama tidak mengatakannya padaku?

"Jangan nanya yang aneh-aneh gitu, Ami..." aku kembali memoleskan bedak ke pipiku. Walaupun sebenarnya aku merasa tersentuh dengan pertanyaan tadi, tapi pikiran buruk itu segera kuhapus dari kepalaku. Mengingat ini pertemuan pertamaku dengan Tama setelah empat tahun! Aku dan Tama akun bertunangan sebentar lagi. Dan aku percayakan sepenuhnya semua pada Tama. Ah, mungkin ini hanya ujian, batinku saat tiba-tiba HP-ku berdering.

"Halo," sapaku.

"Sayang, kita bisa ketemu di kafe Syalala?"

"Bukannya kamu mau ke rumah?" aku mengerutkan dahi bingung. Kugigit bibir dan kutatap Ami lagi. Ami balas menatapku. Tangannya mengelus bahuku. Mengerti bahwa perasaanku sedang tercabik kini.

"Tapi..."

"Aku tunggu..." klik! Aku mematikan HP setelah menghela napas panjang.

"Ini ada apa sebenernya sih Mi? Ada yang kalian sembunyiin dari aku tentang Tama? Kenapa sikap kalian beberapa bulan terakhir beda? Kamu ada tahu sesuatu tentang Tama yang aku gak tahu?"

"Far, aku kenal kamu udah lama.. sama juga dengan Tama. Tapi kalo aku yang bilang ini, aku tahu kamu gak bakal percaya. Maaf kita harus nyembunyiin ini dari kamu. Sebenernya memang dari tahun lalu kami udah tau apa sebenernya yang terjadi. Tapi kita gak tega bilangnya. Biar Tama yang selesaiin semuanya sekarang,"

***

Kalau hatiku terbuat dari kaca, aku tahu bahwa saat ini perasaan itu benar-benar hanya serpihan-serpihan kecil. Hancur berkeping-keping! Luluhlantak tak bersisa. Oh, Tuhan ada dosa apa aku sampai sebegini besarnya ujianMu? Apa penantian panjang itu harus berakhir seperti ini? Atau aku harus melangkah maju dengan resiko.........
memikirkannya saja aku sudah tidak berani. Kupejamkan mata, berusaha menghentikan butiran kristal yang memburu pipiku sedari tadi. Aku tak kuat menahannya. Ami dan Kayaf duduk disampingku, menyaksikan semuanya.

"Aku sayang sama kamu, Far. Sayaang sekali.." tama berlutut di kakiku. Tangan kanannya masih menggenggam sebuah kotak berisi cincin berukirka namanya.

"Ta.. Tapi.." aku sesenggukan, padahal baru lima menit yang lalu aku menangis. Tapi mendengar cerita panjangnya tadi membuat perasaanku nyeri. Luar biasa nyeri. Jika ibu dan ayahku tahu, aku yakin mereka akan langsung menendang Tama. Sementara aku yakin bahwa hatiku selalu tertuju pada Tama. Tidak mungkin aku membiarkan waktu 4 tahunku terbuang sia-sia begitu saja. Lalu bagaimana dengan seluruh kepercayaan yang aku berikan padanya?

"Farhah, maafkan aku.. tapi aku berjanji aku akan.." belum selesai Tama dengan kalimatnya, seorang bayi perempuan lucu berumur 10 bulan merangkak mendekat ke arah Tama. Ia menyapa Tama dengan desisan kecil yang menggemaskannya, "papapapapapa.." bayangkan tubuhmu ditusuk-tusuk ribuan jarum! Ini lebih dari sekedar itu rasanya. Lututku terlanjur lemas untuk beranjak dari tempat ini. Aku masih menunduk, Tama masih berlutut didepanku.

"Ma.. maaf.." rasanya ada sebuah batu besar yang mengganjal ditenggorokanku. Aku sulit mengeluarkan kata. Kugigit bibirku keras-keras, menahan sakit yang amat sangat. Seandainya sejak awal..

"Kenapa kamu gak bilang ini sejak awal?"

"Karena aku gak mau kamu ninggalin aku! Aku sayang banget sama kamu. Semua kejadian itu gak sengaja dan dia rela aku melamar kamu saat ini!" aku mendongakkan kepalaku, menatap gadis seumurku yang duduk tak jauh dari tempatku berdiri, meraih si bayi mungil tadi dan menggendongnya. Ada bias luka (juga) dimatanya, dan aku tahu perasaannya lebih terluka daripada aku.

Kuraih kado kecil yang kusimpan dalam tasku. Tadi aku tak sengaja dan entah mengapa ingin membawanya saat ini.
Kuserahkan pada Tama "Ini.... untuk anakmu!" seruku sambil menahan tangis yang tak juga reda. Tapi aku tahu, bahwa perasaan gadis itu lebih hancur daripada aku! Aku pergi dari tempat itu, memaksakan diri. Juga akan pergi selamanya dari kehidupan Tama yang diam-diam telah berkeluarga selama aku menunggunya empat tahun ini.


2 komentar: