ADA DUA
“Hmm..”
Vita manggut-manggut meng-iyakan, padahal sebenarnya dia ngantuk berat.
“Vit,
lo dengerin gue nggak, sih?” Tery mengguncang tubuh Vita beberapa kali, merasa
Vita tak merespon ceritanya.
“Iya.
Trus lo maunya gimana?” Vita bertanya. Tangannya masih menopang dagu di atas
meja belajar Tery, sambil sesekali menguap.
“Jadi
lo bantu gue cari hadiah buat dia, ya? Besok.. lo latihan pagi, kan?”
“Deu..
emang lo udah jadian, ya, sama tu cowok? Ampe bela-belain beli hadiah,”
komentar Vita. Sudah hampir setengah jam Vita mendengarkan curhatnya Tery, yang
katanya lagi naksir cowok di tempat kursus bahasa Inggrisnya.
“Ya
belum. Tapi gue pengen ngasih tau, kalo sebenernya gue tuh care sama dia. Abis, dia orangnya cuek banget sih. Cool. Kayak kulkas.” Tutur Tery
antusias. Walaupun matanya sudah hampir 5 watt, Vita masih menanggapi cerita
Tery. Dan dengan kesadaran yang sebentar lagi melenyap, Vita membayangkan,
cowok seperti apa yang saat ini lagi ditaksir Tery? Bulan kemarin saja dia
masih menyukai Satria, cowok blasteran Subang-Korea yang nge-kost di kost-an
sebelah, padahal dia baru seminggu putus sama Bang Angga. Berbeda dengan Vita,
yang semenjak ditinggalin gitu aja sama cowok pertamanya, Dito, jadi sedikit
jaga jarak dengan cowok.
“Mikirin
cowok tu sama aja nyiksa diri!” Kata Vita saat Tery menanyakan mengapa Vita
belum juga bisa lupain Dito, padahal kejadiannya udah lama banget. Terlebih
lagi kalau Vita inget dengan Akmal, anggota karate yang menjadi musuhnya selama
ikutan olahraga itu.
“Jadi,
besok lo harus temenin gue. Jam dua belas. Ya.. Vit.. Vita.. ihh, kok tidur,
sih?”
**
“Jangan
mentang-mentang gue cewek, lo jadi ngeremehin gue gitu, dong!” teriak Vita
kalap, saat Akmal menantangnya berkelahi. Dan kepalan tangan Vita langsung
terbang ke arah pipi Akmal, begitu Vita selesai mengucapkan kalimatnya.
“Sekeras
apa pun pukulan lo, nggak bakal bikin gue cedera!” cela Akmal tanpa dosa.
“Sombong
amat sih lo!” Vita hendak memberikan pukulan lagi, sayangnya Erik menahan
tangannya dan menyeret Vita ke belakang.
“Lo
tuh gimana, sih. Terang aja lo nggak punya cowok. Sama cowok kok kasar begitu.
Lagian, gue perhatiin, kalian kok sering banget berantem,” Komentar Erik begitu
jarak Vita dan Akmal sudah lebih jauh. Erik sama sekali nggak tahu, kalo
sebenernya Vita punya trauma tersendiri dengan cowok. Selain karena ditinggalin
Dito, Vita juga pernah ditodong 4 perampok waktu dia masih SMP. Itulah alasan
Vita ikut karate selama ini.
“Bukan
gue kok yang mulai. Udah ah. Gue capek. Bilang sama Kak Edo, gue udahan dulu
latihannya. Ada janji sama si Tery.” Vita melirik kembali SMS dari Tery, lalu
bangkit dan berjalan ke kamar ganti.
“Nggak
ada asap kalau nggak ada api. Kalian nggak akan musuhan kan, kalo nggak ada
sebab?”
“Gue
juga bingung.” Jawab Vita tak acuh, sambil terus berjalan. Bukan bohong, tapi
Vita memang tidak mengerti mengapa Akmal memperlakukannya seperti itu, padahal
awalnya mereka sama sekali tidak memiliki masalah.
“Bingung?”
“Yang
pasti kar’na dia cowok. Gue benci cowok, lo tau?”
“Gue
juga cowok. Tapi lo mau temenan ama gue,” Erik menggumam.
**
“Vita! Lama amat sih. Ke mana
dulu?” suara Tery kesal saat melihat Vita berjalan mendekatinya.
“Berantem.”
Sahut Vita cuek.
“What, Vita? Berantem? Sama siapa?” Tery
terbelalak kaget demi mendengar cerita Vita.
“Cowoklah.
Kalo cewek, mana mungkin gue ajak berantem.” Kata Vita lagi.
“Iya..
iya.. gue tahu. Tapi syukurnya, lo nggak nolak, ya, nemenin gue yang mau beli
hadiah buat cowok.” Celetuk Tery. Tadinya dia berniat mengucapkan itu pelan,
tapi sepertinya Vita mendengar apa yang baru saja Tery ucapkan.
“Buat
cowok? Lo nggak salah apa? Kenapa nggak bilang sebelumnya?” teriak Vita sedikit
kesal. Langkahnya terhenti, padahal Tery sudah beberapa meter di depannya.
“Tery,
lo kenapa nggak bilang sebelumnya?” teriak Vita sekali lagi, sambil menyusul
langkah Tery.
Tery
menoleh.
“Ampun
deh, Vita. Jadi semalem lo nggak denger cerita gue? Yah, percuma deh, gue
curhat sama lo.”
Vita
termenung. Mengingat kembali apa saja yang diceritakan Tery semalam. Hening
beberapa detik, sampai Tery memanggil namanya.
“Buruan
dong, Vit.” Kata Tery. Vita segera menyusul walaupun wajahnya menekuk.
**
“Lo tau nggak, kenapa gue lebih
seneng curhat ke elo kalo lo lagi ngantuk?” Tery bertanya. Masih sambil
menjejeri setumpuk baju yang berjajar
pada gantungan di sebuah distro kecil di daerah Dago. Vita menggeleng tanpa
minat. Memang sih, belakangan ini Tery sering cerita di atas jam sepuluh malam.
Makanya, Vita sering juga lupa apa aja yang suka Tery ceritain.
“Eh,
menurut lo, mending yang warna coklat, atau abu-abu ini?” Tery mengalihkan
pembicaraannya sambil mengambil dua buah sweater
dan memperlihatkannya pada Vita.
“Terserah
lo. Yang mau ngasih hadiah kan elo, bukan gue. Jadi baiknya, lo yang pilih
sendiri, kan?” Vita balik bertanya.
“Yee..
percuma, dong, gue ajak lo ke sini.”
“Lagian
elo. Tau kalo gue benci banget sama cowok, tapi masiiih aja minta temenin gue,”
“Tapi
lo mau, kan? Eh, lo nggak mau denger, alasan kenapa gue lebih sering cerita ke
elo kalo lo lagi ngantuk?”Vita menggerakkan bibir dan dagunya tanpa menjawab,
lalu memperhatikan keadaan sekeliling, hingga tiba-tiba matanya tertuju pada
seorang yang tengah berjalan bersama kedua teman lelakinya. Vita mengernyit
meyakinkan, tapi hatinya tetap yakin kalau cowok itu adalah Akmal, walaupun
sikapnya jauh berbeda dari Akmal yang biasanya.
“Kok
dia bisa ada di sini, sih?” Vita bertanya pada dirinya sendiri.
“Siapa,
Vit?” Tery ikut bertanya. Vita diam sejenak, kemudian menggeleng.
“Kenapa
lo suka curhat ke gue kalo gue lagi ngantuk?” Vita mengalihkan topik.
“Soalnya
lo tu suka nggak sadar apa yang lagi gue ceritain kalo lo lagi ngantuk. Lo suka
asal komentar, tapi omongan lo itu malah jadi masukan buat gue. Lagian Vit, lo
sadar nggak sih, kalo sebenernya temen cowok lo lebih banyak ketimbang cewek?
Kadang gue bingung deh, sama lo. Katanya benci sama cowok. Apalagi sama yang...
siapa tuh namanya? Akmal? Ya, Akmal ya..lo benciii banget sama dia. Tapi temen
cowok lo juga banyak. Makanya gue ajak lo nemenin gue ke sini, biar bisa tau
selera cowok kayak gimana. Biarpun benci, tapi kalo lama-lama deket sama cowok,
seenggaknya kan lo bisa ngerti gimana maunya cowok. Ya nggak? ” Kata Tery
panjang lebar, yang hanya dijawab senyuman tipis dari Vita. Jangankan Tery,
Vita aja kadang suka bingung sama dirinya sendiri.
“Jadi
menurut lo gue harus pilih yang mana?” Tery mengacungkan kembali dua sweater yang barusan dipilihnya.
“Yang
Abu, deh.” Kata Vita akhirnya, mengalah.
Tery
tersenyum dan menyimpan kembali sweater
coklat yang tidak jadi dibelinya. Mereka berjalan menuju kasir, tapi langkahnya
tiba-tiba terhenti saat Tery mencegat tangan Vita.
“Kenapa?”
tanya Vita, melihat wajah Tery berubah menjadi semu merah. Tery memundurkan
langkahnya, seraya menarik pergelangan tangan Vita.
“Ih,
Tery. Lo kenapa, sih?” Vita jadi bingung sendiri.
“Cowok
yang gue taksir ada di sini,” Tery mendesis perlahan, tepat di sisi telinga
Vita.
“Yang..
mana?” Vita mengerutkan dahi, celingukan mencari siapa gerangan cowok yang lagi
Tery suka.
“Tuh.
Yang pake baju biru,” Tery memainkan telunjuknya, sementara Vita mengikuti ke
mana arah telunjuk Tery.
“YANG
LAGI JALAN SAMA TEMENNYA ITU?” teriak Vita.
“Sssst..
iya, tapi pelan-pelan aja ngomongnya!”
“Gue
nggak setuju! Pokoknya gue nggak suka kalo lo sampai pacaran sama dia!” Vita
memelototi Tery, lalu berlari meninggalkannya.
**
Tery membuka pintu kamar setengah
paksa. Dilemparnya tas yang berisi sweater
yang baru saja dibelinya ke atas tempat tidur, lalu melirik Vita yang juga
tengah terbaring di tempat tidurnya.
“Pokoknya
gue nggak akan rela kalo lo sampai pacaran sama tu cowok,” kata Vita tanpa
mengalihkan pandangannya ke arah Tery, sementara Tery hanya diam tak menjawab.
“Dia
suka ngeremehin gue, mentang-mentang gue satu-satunya cewek di tempat karate.
Dia tu cowok, tapi nggak pernah ngehargai cewek sama sekali. Gue nggak pernah
punya masalah sama dia, tapi dia kayaknya benci banget sama gue,” Vita
berceloteh.
“Karate?
Dia nggak ikutan karate, kok.” Tery membela diri.
“Dia
itu Akmal! Gue kan sering cerita sama lo!”
“Namanya
Ahsan, bukan Akmal.” Tery semakin ngotot.
“Pokoknya
gue tetep..”
“Terserah
lo! Gue tau lo punya trauma sama cowok. Tapi nggak usah sampai larang-larang
gue pacaran sama orang yang lo benci, dong! Masalah lo ya selesaiin aja
sendiri, gue nggak usah dibawa-bawa!”
Tery
keluar dari kamar, dan BRAKK! Dibantingnya pintu kamar keras-keras.
**
Hari ini satu minggu sudah Vita dan
Tery tidak saling menyapa, walaupun mereka masih menempati kamar yang sama,
dalam tempat kost yang sama. Sebenarnya nggak enak juga kalo harus musuhan
lama-lama begini. Apalagi mereka sudah berteman hampir delapan tahun, sejak
kelas satu SMP.
Sekali
lagi Vita memandang Akmal yang tengah berlari mengelilingi matras. Kok rasanya
dia beda banget sama yang Vita temui di distro minggu kemaren? Apa dia punya
kepribadian ganda? Buktinya, dia juga ngeganti namanya jadi Ahsan, kan? Ih,
amit-amit. Jangan sampai Tery bener-bener pacaran sama orang kayak dia, katanya
dalam hati.
Sambil
berpangku tangan, Vita terus memperhatikan Akmal.
“Katanya
benci, tapi merhatiin terus!” sebuah suara berat mengagetkannya. Vita menoleh,
dan Kak Edo tengah berdiri di belakangnya.
“Kak
Edo,” Vita yang ke-gap lagi merhatiin
Akmal jadi salah tingkah. Pelatih karate berusia dua puluh lima-an itu hanya
tersenyum melihat tingkah Vita.
“Oke,
latihan cukup untuk hari ini!” teriak Edo sambil bertepuk tangan dan menjauhi
dirinya dari Vita yang asyik berdiri. Vita menghela nafas dalam-dalam dan
berjalan menuju kamar ganti.
“Lo
nggak ikut tanding kan, bulan depan?” suara Akmal menghentikan langkah Vita.
“Tanding?”
tanya Vita memastikan.
“Kak
Edo nggak milih lo, karna lo cewek.” Akmal menepuk bahu Vita dan pergi,
meninggalkan Vita yang masih belum mengerti apa yang baru Akmal ucapkan. Vita
mendelik jengah, dan mengacuhkannya begitu saja.
**
Vita melongo tak percaya, menatap
Tery turun dari sebuah motor matic
hitam. Bukan, bukan motornya yang bikin Vita bengong. Tapi cowok yang
membonceng Tery.
“Vita,”
Tery memanggilnya, lalu melepaskan helm dan memberikannya pada si cowok. Vita
masih diam di tempat. Kedua tangannya memegang erat ransel yang manggantung di
bahu-nya.
“Tery..
Akmal??” ragu-ragu, Vita membuka suaranya. Akmal tersenyum manis. Beda dengan
Akmal biasa yang dikenalnya. Tapi.. kok Akmal bisa ada di sini? Bukannya tadi
masih ada di dalem?
“Gue
kan udah bilang, kalo...” suara Tery terputus ketika sebuah suara terdengar di
telinganya.
“Ahsan,
lo ngapain di sini?” Tery, Vita, dan Akmal.. eh, Ahsan, menoleh seketika.
“Tuh
kan..” kata Tery, meneruskan kembali kalimatnya yang sempat terhenti. Vita
masih terhenyak di tempat. Akmal berdiri di belakangnya, sementara kini, Tery
menggamit mesra lengan Ahsan.
“Udah
selesai latihannya, Mal?” Ahsan yang sedari tadi diam, ikut buka suara. Membuat
Vita benar-benar kebingungan. Melihat sobat kentalnya itu memasang tampang
bloon, Tery menghampiri Vita dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Akmal
sama Ahsan itu kembar. En Akmal,
punya trauma yang sama kayak lo. Bedanya, kalo lo trauma sama cowok, dia trauma
sama.. cewek! Ahsan yang cerita sama gue kemarin, setelah gue ceritain semua
tentang lo.” Begitu kata Tery.Vita mengedipkan kedua matanya, lalu menatap
Akmal yang juga terpaku dan tempatnya.
Jadi, ternyata Akmal ada dua?! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar