Jumat, 14 Desember 2012

Ada Dua


ADA DUA

     “Hmm..” Vita manggut-manggut meng-iyakan, padahal sebenarnya dia ngantuk berat.
     “Vit, lo dengerin gue nggak, sih?” Tery mengguncang tubuh Vita beberapa kali, merasa Vita tak merespon ceritanya.
     “Iya. Trus lo maunya gimana?” Vita bertanya. Tangannya masih menopang dagu di atas meja belajar Tery, sambil sesekali menguap.
     “Jadi lo bantu gue cari hadiah buat dia, ya? Besok.. lo latihan pagi, kan?”
     “Deu.. emang lo udah jadian, ya, sama tu cowok? Ampe bela-belain beli hadiah,” komentar Vita. Sudah hampir setengah jam Vita mendengarkan curhatnya Tery, yang katanya lagi naksir cowok di tempat kursus bahasa Inggrisnya.
     “Ya belum. Tapi gue pengen ngasih tau, kalo sebenernya gue tuh care sama dia. Abis, dia orangnya cuek banget sih. Cool. Kayak kulkas.” Tutur Tery antusias. Walaupun matanya sudah hampir 5 watt, Vita masih menanggapi cerita Tery. Dan dengan kesadaran yang sebentar lagi melenyap, Vita membayangkan, cowok seperti apa yang saat ini lagi ditaksir Tery? Bulan kemarin saja dia masih menyukai Satria, cowok blasteran Subang-Korea yang nge-kost di kost-an sebelah, padahal dia baru seminggu putus sama Bang Angga. Berbeda dengan Vita, yang semenjak ditinggalin gitu aja sama cowok pertamanya, Dito, jadi sedikit jaga jarak dengan cowok.
     “Mikirin cowok tu sama aja nyiksa diri!” Kata Vita saat Tery menanyakan mengapa Vita belum juga bisa lupain Dito, padahal kejadiannya udah lama banget. Terlebih lagi kalau Vita inget dengan Akmal, anggota karate yang menjadi musuhnya selama ikutan olahraga itu.
     “Jadi, besok lo harus temenin gue. Jam dua belas. Ya.. Vit.. Vita.. ihh, kok tidur, sih?”


**

     “Jangan mentang-mentang gue cewek, lo jadi ngeremehin gue gitu, dong!” teriak Vita kalap, saat Akmal menantangnya berkelahi. Dan kepalan tangan Vita langsung terbang ke arah pipi Akmal, begitu Vita selesai mengucapkan kalimatnya.
     “Sekeras apa pun pukulan lo, nggak bakal bikin gue cedera!” cela Akmal tanpa dosa.
     “Sombong amat sih lo!” Vita hendak memberikan pukulan lagi, sayangnya Erik menahan tangannya dan menyeret Vita ke belakang.
     “Lo tuh gimana, sih. Terang aja lo nggak punya cowok. Sama cowok kok kasar begitu. Lagian, gue perhatiin, kalian kok sering banget berantem,” Komentar Erik begitu jarak Vita dan Akmal sudah lebih jauh. Erik sama sekali nggak tahu, kalo sebenernya Vita punya trauma tersendiri dengan cowok. Selain karena ditinggalin Dito, Vita juga pernah ditodong 4 perampok waktu dia masih SMP. Itulah alasan Vita ikut karate selama ini.
     “Bukan gue kok yang mulai. Udah ah. Gue capek. Bilang sama Kak Edo, gue udahan dulu latihannya. Ada janji sama si Tery.” Vita melirik kembali SMS dari Tery, lalu bangkit dan berjalan ke kamar ganti.
     “Nggak ada asap kalau nggak ada api. Kalian nggak akan musuhan kan, kalo nggak ada sebab?”
     “Gue juga bingung.” Jawab Vita tak acuh, sambil terus berjalan. Bukan bohong, tapi Vita memang tidak mengerti mengapa Akmal memperlakukannya seperti itu, padahal awalnya mereka sama sekali tidak memiliki masalah.
     “Bingung?”
     “Yang pasti kar’na dia cowok. Gue benci cowok, lo tau?”
     “Gue juga cowok. Tapi lo mau temenan ama gue,” Erik menggumam.

**

“Vita! Lama amat sih. Ke mana dulu?” suara Tery kesal saat melihat Vita berjalan mendekatinya.
     “Berantem.” Sahut Vita cuek.
     “What, Vita? Berantem? Sama siapa?” Tery terbelalak kaget demi mendengar cerita Vita.
     “Cowoklah. Kalo cewek, mana mungkin gue ajak berantem.” Kata Vita lagi.
     “Iya.. iya.. gue tahu. Tapi syukurnya, lo nggak nolak, ya, nemenin gue yang mau beli hadiah buat cowok.” Celetuk Tery. Tadinya dia berniat mengucapkan itu pelan, tapi sepertinya Vita mendengar apa yang baru saja Tery ucapkan.
     “Buat cowok? Lo nggak salah apa? Kenapa nggak bilang sebelumnya?” teriak Vita sedikit kesal. Langkahnya terhenti, padahal Tery sudah beberapa meter di depannya.
     “Tery, lo kenapa nggak bilang sebelumnya?” teriak Vita sekali lagi, sambil menyusul langkah Tery.
     Tery menoleh.
     “Ampun deh, Vita. Jadi semalem lo nggak denger cerita gue? Yah, percuma deh, gue curhat sama lo.”
     Vita termenung. Mengingat kembali apa saja yang diceritakan Tery semalam. Hening beberapa detik, sampai Tery memanggil namanya.
     “Buruan dong, Vit.” Kata Tery. Vita segera menyusul walaupun wajahnya menekuk.

**

“Lo tau nggak, kenapa gue lebih seneng curhat ke elo kalo lo lagi ngantuk?” Tery bertanya. Masih sambil menjejeri setumpuk baju  yang berjajar pada gantungan di sebuah distro kecil di daerah Dago. Vita menggeleng tanpa minat. Memang sih, belakangan ini Tery sering cerita di atas jam sepuluh malam. Makanya, Vita sering juga lupa apa aja yang suka Tery ceritain.
     “Eh, menurut lo, mending yang warna coklat, atau abu-abu ini?” Tery mengalihkan pembicaraannya sambil mengambil dua buah sweater dan memperlihatkannya pada Vita.
     “Terserah lo. Yang mau ngasih hadiah kan elo, bukan gue. Jadi baiknya, lo yang pilih sendiri, kan?” Vita balik bertanya.
     “Yee.. percuma, dong, gue ajak lo ke sini.”
     “Lagian elo. Tau kalo gue benci banget sama cowok, tapi masiiih aja minta temenin gue,”
     “Tapi lo mau, kan? Eh, lo nggak mau denger, alasan kenapa gue lebih sering cerita ke elo kalo lo lagi ngantuk?”Vita menggerakkan bibir dan dagunya tanpa menjawab, lalu memperhatikan keadaan sekeliling, hingga tiba-tiba matanya tertuju pada seorang yang tengah berjalan bersama kedua teman lelakinya. Vita mengernyit meyakinkan, tapi hatinya tetap yakin kalau cowok itu adalah Akmal, walaupun sikapnya jauh berbeda dari Akmal yang biasanya.
     “Kok dia bisa ada di sini, sih?” Vita bertanya pada dirinya sendiri.
     “Siapa, Vit?” Tery ikut bertanya. Vita diam sejenak, kemudian menggeleng.
     “Kenapa lo suka curhat ke gue kalo gue lagi ngantuk?” Vita mengalihkan topik.
     “Soalnya lo tu suka nggak sadar apa yang lagi gue ceritain kalo lo lagi ngantuk. Lo suka asal komentar, tapi omongan lo itu malah jadi masukan buat gue. Lagian Vit, lo sadar nggak sih, kalo sebenernya temen cowok lo lebih banyak ketimbang cewek? Kadang gue bingung deh, sama lo. Katanya benci sama cowok. Apalagi sama yang... siapa tuh namanya? Akmal? Ya, Akmal ya..lo benciii banget sama dia. Tapi temen cowok lo juga banyak. Makanya gue ajak lo nemenin gue ke sini, biar bisa tau selera cowok kayak gimana. Biarpun benci, tapi kalo lama-lama deket sama cowok, seenggaknya kan lo bisa ngerti gimana maunya cowok. Ya nggak? ” Kata Tery panjang lebar, yang hanya dijawab senyuman tipis dari Vita. Jangankan Tery, Vita aja kadang suka bingung sama dirinya sendiri.
     “Jadi menurut lo gue harus pilih yang mana?” Tery mengacungkan kembali dua sweater yang barusan dipilihnya.
     “Yang Abu, deh.” Kata Vita akhirnya, mengalah.
     Tery tersenyum dan menyimpan kembali sweater coklat yang tidak jadi dibelinya. Mereka berjalan menuju kasir, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat Tery mencegat tangan Vita.
     “Kenapa?” tanya Vita, melihat wajah Tery berubah menjadi semu merah. Tery memundurkan langkahnya, seraya menarik pergelangan tangan Vita.
     “Ih, Tery. Lo kenapa, sih?” Vita jadi bingung sendiri.
     “Cowok yang gue taksir ada di sini,” Tery mendesis perlahan, tepat di sisi telinga Vita.
     “Yang.. mana?” Vita mengerutkan dahi, celingukan mencari siapa gerangan cowok yang lagi Tery suka.
     “Tuh. Yang pake baju biru,” Tery memainkan telunjuknya, sementara Vita mengikuti ke mana arah telunjuk Tery.
     “YANG LAGI JALAN SAMA TEMENNYA ITU?” teriak Vita.
     “Sssst.. iya, tapi pelan-pelan aja ngomongnya!”
     “Gue nggak setuju! Pokoknya gue nggak suka kalo lo sampai pacaran sama dia!” Vita memelototi Tery, lalu berlari meninggalkannya.

**

Tery membuka pintu kamar setengah paksa. Dilemparnya tas yang berisi sweater yang baru saja dibelinya ke atas tempat tidur, lalu melirik Vita yang juga tengah terbaring di tempat tidurnya.
     “Pokoknya gue nggak akan rela kalo lo sampai pacaran sama tu cowok,” kata Vita tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Tery, sementara Tery hanya diam tak menjawab.
     “Dia suka ngeremehin gue, mentang-mentang gue satu-satunya cewek di tempat karate. Dia tu cowok, tapi nggak pernah ngehargai cewek sama sekali. Gue nggak pernah punya masalah sama dia, tapi dia kayaknya benci banget sama gue,” Vita berceloteh.
     “Karate? Dia nggak ikutan karate, kok.” Tery membela diri.
     “Dia itu Akmal! Gue kan sering cerita sama lo!”
     “Namanya Ahsan, bukan Akmal.” Tery semakin ngotot.
     “Pokoknya gue tetep..”
     “Terserah lo! Gue tau lo punya trauma sama cowok. Tapi nggak usah sampai larang-larang gue pacaran sama orang yang lo benci, dong! Masalah lo ya selesaiin aja sendiri, gue nggak usah dibawa-bawa!”
     Tery keluar dari kamar, dan BRAKK! Dibantingnya pintu kamar keras-keras.

**

Hari ini satu minggu sudah Vita dan Tery tidak saling menyapa, walaupun mereka masih menempati kamar yang sama, dalam tempat kost yang sama. Sebenarnya nggak enak juga kalo harus musuhan lama-lama begini. Apalagi mereka sudah berteman hampir delapan tahun, sejak kelas satu SMP.
     Sekali lagi Vita memandang Akmal yang tengah berlari mengelilingi matras. Kok rasanya dia beda banget sama yang Vita temui di distro minggu kemaren? Apa dia punya kepribadian ganda? Buktinya, dia juga ngeganti namanya jadi Ahsan, kan? Ih, amit-amit. Jangan sampai Tery bener-bener pacaran sama orang kayak dia, katanya dalam hati.
     Sambil berpangku tangan, Vita terus memperhatikan Akmal.
     “Katanya benci, tapi merhatiin terus!” sebuah suara berat mengagetkannya. Vita menoleh, dan Kak Edo tengah berdiri di belakangnya.
     “Kak Edo,” Vita yang ke-gap lagi merhatiin Akmal jadi salah tingkah. Pelatih karate berusia dua puluh lima-an itu hanya tersenyum melihat tingkah Vita.
     “Oke, latihan cukup untuk hari ini!” teriak Edo sambil bertepuk tangan dan menjauhi dirinya dari Vita yang asyik berdiri. Vita menghela nafas dalam-dalam dan berjalan menuju kamar ganti.
     “Lo nggak ikut tanding kan, bulan depan?” suara Akmal menghentikan langkah Vita.
     “Tanding?” tanya Vita memastikan.
     “Kak Edo nggak milih lo, karna lo cewek.” Akmal menepuk bahu Vita dan pergi, meninggalkan Vita yang masih belum mengerti apa yang baru Akmal ucapkan. Vita mendelik jengah, dan mengacuhkannya begitu saja.

**

Vita melongo tak percaya, menatap Tery turun dari sebuah motor matic hitam. Bukan, bukan motornya yang bikin Vita bengong. Tapi cowok yang membonceng Tery.
     “Vita,” Tery memanggilnya, lalu melepaskan helm dan memberikannya pada si cowok. Vita masih diam di tempat. Kedua tangannya memegang erat ransel yang manggantung di bahu-nya.
     “Tery.. Akmal??” ragu-ragu, Vita membuka suaranya. Akmal tersenyum manis. Beda dengan Akmal biasa yang dikenalnya. Tapi.. kok Akmal bisa ada di sini? Bukannya tadi masih ada di dalem?
     “Gue kan udah bilang, kalo...” suara Tery terputus ketika sebuah suara terdengar di telinganya.
     “Ahsan, lo ngapain di sini?” Tery, Vita, dan Akmal.. eh, Ahsan, menoleh seketika.
     “Tuh kan..” kata Tery, meneruskan kembali kalimatnya yang sempat terhenti. Vita masih terhenyak di tempat. Akmal berdiri di belakangnya, sementara kini, Tery menggamit mesra lengan Ahsan.
     “Udah selesai latihannya, Mal?” Ahsan yang sedari tadi diam, ikut buka suara. Membuat Vita benar-benar kebingungan. Melihat sobat kentalnya itu memasang tampang bloon, Tery menghampiri Vita dan membisikkan sesuatu di telinganya.
     “Akmal sama Ahsan itu kembar. En Akmal, punya trauma yang sama kayak lo. Bedanya, kalo lo trauma sama cowok, dia trauma sama.. cewek! Ahsan yang cerita sama gue kemarin, setelah gue ceritain semua tentang lo.” Begitu kata Tery.Vita mengedipkan kedua matanya, lalu menatap Akmal yang  juga terpaku dan tempatnya. Jadi, ternyata Akmal ada dua?! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar