Kamis, 07 Februari 2013

Minggu Depan, Ditempat Ini





Nada menatap ke jendela kaca yang dipenuhi titik-titik air. Hujan deras yang turun sejak tadi belum juga berhenti, sementara cup berisi Cappucino Latte yang dipesannya sudah ludes setengah jam yang lalu. Nada menopang dagu, menghela napas cepat dan membuangnya lambat-lambat. Rinai hujan turun berirama, menyenandungkan sebuah ketenangan ke balik hati Nada yang dibuat kacau oleh peristiwa bulan lalu. Ramadhan dan Diana. Halah! Sudahlah.  Ini minggu ke-tiga sejak Nada rajin berkunjung ke kafe ini. Memesan cappucino latte dan memandangi jalanan dari balik jendela. Hanya itu yang dilakukannya setiap kali datang kemari. Tapi minggu ini, ada hal lain yang membawanya datang lagi. Entah apa. Nada memalingkan wajah dari jendela, mengedarkan wajah ke semua arah ketika..
“Boleh, aku duduk disini?” Nada menoleh dan mengerutkan dahi. Seorang cowok berkaus abu dengan jeans hitam yang dua minggu terakhir juga dijumpainya ditempat ini tersenyum kecil, seraya mendaratkan tubuh didepan Nada sebelum Nada meng-iyakan. Nada balas tersenyum, tapi  detik berikutnya wajahnya kembali fokus pada rintik hujan diluar sana.


“Lagi galau, ya?” tanyanya lagi. Menyeruput minuman yang berada dalam cangkir yang digenggamnya, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Nada. Nada menoleh, menggeleng pelan.
“Ini memang kafe langganan kamu, atau kamu datang ke sini kalau perasaanmu lagi nggak baik?” tanyanya lagi.
“Dua-duanya.” Sahut Nada singkat.
“Hari ini, alasannya pasti yang ke-dua.”
“Hah?”
            “Perasaan kamu lagi nggak baik, kan?” Nada mengerutkan dahi semakin dalam. Tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Kembali hanyut dalam lamunannya, menatapi jendela. Cowok itu diam, tapi Nada tahu bahwa ia tengah diperhatikan. Hal sama yang selalu dilakukan cowok itu dua minggu terakhir dikursi yang berbeda. Bedanya, kali ini ia bersuara. Menyapa. Dan mendekati. Nada menyandarkan kepala pada sandaran sofa krem, matanya menerawang ke langit-langit kafe. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk meninggalkan tempat ini sejak ia bertemu dengan cowok yang sekarang duduk didepannya.

***

            Sejak mengetahui bahwa orang yang ia sukai, Ramadhan, menjalin hubungan dengan teman dekatnya, Diana, Nada tidak tahu apa yang ia rasakan. Kecewa, mungkin ya. Marah, memang. Tapi apa yang dapat ia lakukan, sementara Diana dan Ramadhan sudah saling mengenal bahkan sebelum Nada mengenal mereka?
Suatu siang pulang sekolah. Sehari setelah Nada mendengar kabar itu, Nada terjebak hujan saat pulang dari sebuah toko buku. Hujan lebat yang memaksanya menepi di pelataran kafe ini. Kedinginan, lapar, dan haus. Itu yang Nada rasakan saat ia menoleh ke dalam kafe dan menemukan seorang cowok duduk manis dipojok kafe tengah meneguk secangkir minuman. Beberapa detik penuh ia terpaku, sebelum akhirnya memutuskan masuk dan mengambil tempat diseberang si cowok. Memesan cappucino latte dan menatapi jalanan. Sesekali mencuri pandang ke arah cowok yang dilihatnya tadi. Minggu kemarin, dijam yang sama, Nada kembali ke sana, dan mendapati cowok itu lagi. Minggu kemarin cowok itu tersenyum kepadanya.
“Kamu belum jawab pertanyaanku. Perasaanmu lagi nggak baik, kan?” lamunan Nada buyar sepenuhnya. Ia menatap cowok yang duduk didepannya beberapa lama.
“Mungkin ya. Mungkin juga nggak.” Jawab Nada. Cowok itu tersenyum.
“Sikap kamu nggak bisa menyembunyikannya,” kata si cowok kalem. Sekali lagi ia menyeruput minumannya. “Minggu kemaren, dan dua minggu yang lalu aku juga lihat ada sesuatu yang lagi kamu pikirin.” Cowok itu menyimpan cangkirnya. Menghela napas pendek dan menyimpan kedua tangan ke atas meja. Nada mengerjapkan mata, menggigit bibir dan mendekatkan wajah ke arah si cowok.
“Kamu..” seru Nada tertahan.
“Ya.. memangnya aku nggak merhatiin kamu? Sejak pertama kali kamu datang dua minggu yang lalu, minggu kemarin. Dan sekarang..” senyum paten itu merekah. Memaksa jantung Nada untuk berdetak lebih cepat.
“Ta-tapi..”
“Kamu boleh cerita kalau kamu mau..”
“Bukan masalah berat,”
“Masalah hati?” tanyanya. Nada tersenyum kecut.
“Kamu.. kenapa sering ada disini?” kalimat yang sempat tertahan ditenggorokan Nada itu kini sudah mulai lumer. Ia bertanya dengan suara datar, tidak terlalu ingin tahu. Mata si cowok menyipit.
“Tempat ini bisa bikin kepalaku berpikir lebih tenang. Apalagi kalau hujan dan embunnya nempel di jendela. Romantis, kan?” Nada tertawa kecil. Cowok itu tetap memasang wajah serius. Sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Kok sama?” akhirnya keramahan Nada tercipta juga. Telapak tangan Nada menyentuh jendela, mengusap embun yang membuat pemandangan menjadi kabur.
“Karena aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Aku nggak tahu kamu kecewa karena apa. Marah karena apa. Tapi sikap kamu sejak datang ke sini dua minggu lalu menggambarkan semua itu, persis seperti apa yang aku rasakan, dan itu yang membuatku tertarik untuk mendekati kamu sekarang. Saat ini, akupun tengah dilanda kecewa. Sama sepertimu.”
“Oya?” Nada meyakinkan. Cowok itu mengangguk.
“Kamu menyimpan semuanya sendiri. Makanya kamu bersikap seperti itu. Seandainya kamu cerita. Ayo, kamu bisa percaya sama aku. Aku mengerti gimana rasanya kecewa dan aku nggak mau oranglain merasa hal yang sama karenaku, biarpun aku belum mengenal siapa kamu,” Ada keseriusan dalam nada ucapan itu. Nada menatap lagi cowok itu, lebih lama dan lebih serius hingga akhirnya senyum Nada merekah luas.
“Ah, maaf. Mungkin nggak sekarang. Tapi aku pasti akan dan selalu mau dengar semuanya, sekalipun kita belum kenal.” Nada mengangguk lagi. Kekecewaan itu melenyap seketika.
Telepon berdering sesaat setelah si cowok menyelesaikan kalimat terakhirnya. Si cowok mengangkatnya, berkata serius dan kembali menyimpan ponsel-nya ke dalam kantung setelah mengucap salam.
“Aku harus pergi. Tapi aku janji akan bikin kamu cerita, seenggaknya supaya kekecewaan—tentang apapun itu—yang kamu rasakan hilang. Ya? Namaku Anggit. Minggu depan kita bertemu lagi. Ditempat ini.”
Hujan bernyanyi semakin merdu. Menuai ketenangan hatinya untuk kesekian kali. Mata teduh itu. Dada bidang yang terlihat dari kaus ketat yang cowok itu kenakan. Hah! Ternyata itulah yang menarik Nada untuk kembali datang dan enggan pergi dari tempat ini, selain alasan untuk menenangkan diri. Dan minggu depan Nada akan kembali ke sini, bertemu dengannya lagi. Di sini, ditempat ini.***

2 komentar: