Jumat, 20 April 2012

Sepotong Senja Bersama Iren..

"Kamu lebih cantik dari siapapun, waktu kamu senyum.." katanya sambil menepuk bahu Iren. Yang disentuh bergeming. Tapi napasnya mulai berdetak tidak beraturan. Dia orang pertama yang mengatakan itu padanya. Setelah sekian lama, setelah kepercayadiriannya memuai entah ke mana, dan setelah Iren berjanji tidak akan memedulikan atau bahkan memercayai apapun yang dikatakan orang tentangnya. Baginya, semua cuma basa-basi, cuma supaya Iren nggak banyak ngabisin waktu sendirian. Cuma supaya Iren nggak terlalu larut dalam dunianya sendiri. Dan saat ini, walaupun akalnya masih berpikir bahwa semua yang berada disekelilingnya cuma menyapanya sebagai tanda 'kepedulian palsu', tapi nuraninya menentang habis-habisan.

"dia memang ngomong jujur. Nggak ada unsur apapun dalam kalimatnya tadi.." Iren menarik napas panjang. Kedua kuku jarinya beradu. Matanya tertunduk, masih belum berani balas menatap langsung Rio yang duduk didepannya, menatapnya dengan bola mata sehitam malam. Iren harus tetap berhati-hati. Ia tidak ingin kejadian itu kembali terjadi. 



"Aku nggak peduli kamu suka aku bilang ini atau nggak. Aku nggak peduli kamu lebih suka sendiri. Aku nggak peduli kamu lebih sayang sama laptop dan duniamu sendiri dibanding orang-orang yang nyata ada didekat kamu. Tapi kamu harus tahu, diluar sana banyak orang yang peduli sama kamu. Termasuk aku."

"Rio.." Iren menengadahkan kepala, menatap langit-langit balkon halaman rumahnya. Senja hampir tiba, dan ia lebih suka menikmati langit jingga itu dengan laptop dan cerita-ceritanya, bukan dengan orang yang malah sengaja datang ke rumah hanya untuk membicarakan hal yang sebenarnya sudah Iren tahu dan sudah Iren sadari.

"Ren, kamu harusnya tahu. Ada banyak orang yang bangga sama kamu. Kamu tahu, waktu dengar kalau novel-mu menang diperlombaan, waktu novel pertamamu jadi best seller di toko-toko buku, semua orang berlomba untuk bisa jadi seperti kamu. Dan tadi, waktu tahu kalo naskah drama kamu menang, semua teman-teman cari kamu. Mereka ingin kasih selamat. Kenapa kamu malah pulang diem-diem?"

"Ini maunya aku kok. Lagian, diluar sana, berjuta-juta orang bahkan udah pernah nulis ratusan novel. Aku baru dua, itu juga.."

"Kamu cuma ngerendah, Ren. Buka mata kamu, Ren. Buka!! Kamu berharga. Kamu punya sesuatu yang bisa kamu banggain. Kamu cuma perlu ubah apa yang sebenarnya bukan 'diri kamu' itu. Kamu terlalu diem, kamu terlalu senang sendiri, kamu selalu ngerutin dahi, kamu nggak pernah tersenyum, kamu terkesan selalu menghindar. Kamu.."

"Aku nyaman sama keadaan aku kayak gini, kamu nggak bisa larang-larang aku untuk jadi apa yang aku mau."

"Tapi kamu hidup dengan oranglain, bukan cuma untuk kamu sendiri. Ren, bisa nggak kamu buang semua sikap itu? Aku tahu kok, kamu sebenernya bukan sosok yang kayak gini.  Lihat, dengar, rasakan. Banyak yang peduli sama kamu. Kamu cuma terlalu banyak mikirin hal yang enggak-enggak tentang mereka."

Iren diam. Sekali lagi, nuraninya membenarkan pernyataan Rio. Rio yang dengan gamblang menyebutkan semua keburukan diri Iren. Bukan oranglain yang membuat Iren jadi seperti ini, tapi ia yang tidak mau mengubah dirinya sendiri. Kejadian itu, saat di mana ia kehilangan semua yang membuatnya bahagia sudah berlalu lama sekali. Orang-orang yang sudah menghilangkan kepercayaannya kini bahkan sudah beda alam dengannya.

"Aku datang ke sini karena aku yang pertama dengar kalo naskah kamu menang, Ren. Kamu berhasil ngalahin ribuan pesaing. Itu artinya, kamu punya sesuatu yang istimewa dalam diri kamu. Jangan melulu nganggap kamu nggak ada artinya cuma karena kamu punya kekurangan yang pasti dipunyain setiap orang juga."

Hati Iren berbunga. Meski tak pelak kata-kata itu menyentuh perasaannya, tapi Rio memang benar. Selama ini ia tidak mau berbaur dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Bukan karena tidak mau, tapi ia malu dengan keadaan fisiknya yang tidak sempurna. Ia tidak memiliki kaki. Iya, kaki kanannya terpaksa diamputasi akibat malpraktek yang dilakukan sepupu Ibunya empat tahun lalu. Saat luka kecil di lututnya tiba-tiba menjadi besar, dan katanya tidak bisa ditangani kecuali amputasi. Sejak saat itu, Iren kehilangan kepercayaan terhadap apapun, termasuk pada Rio yang setahun terakhir terus-menerus memperhatikannya. Iren tahu itu. Karena diam-diam ia juga memerhatikan Rio. Iren hanya tidak ingin sakit hati, tidak mau kecewa lagi.

"Jangan suka masang wajah murung, orang-orang nggak suka."

"Aku udah kehilangan senyum.."

"Karena ini?" Rio mendekat, menyentuh lutut kanan Iren. Iren menunduk.

"Ini bukan alasan. Kamu manis, Iren. Kamu berbakat. Kamu cantik. Aku tahu sebenarnya kamu juga seneng kan waktu dengar nama kamu yang tercatat sebagai pemenang? Aku tahu kamu juga ingin ikut rayain kemenangan kamu, tapi kakimu ini jadi penghalang. Iya, kan?" Iren mengangguk. Sedikit-demi sedikit kepalanya terangkat. Jingga sudah mulai menghias langit. Warna terang perlahan meredup.

"Aku sebenarnya udah lama perhatiin kamu. Aku cuma takut, lihat penolakan kamu yang terus-terusan kayak gitu. Tapi makin lama, aku makin tahu kalo kamu bisa berubah kalo kamu mau. Iren, jangan terlalu mikirin apa yang kurang sama kmu, tapi lihat sesuatu yang bisa kamu banggainn. Kamu cantik. Sayang kalo wajah kamu harus ketutup mendung. Senyum dong, Ren."

Iren merasa ada sesuatu yang menyentuh ulu hatinya secara halus. Meresap pelan hingga ke perasaan terdalamnya. Logika-nya tidak mampu lagi menampung penolakan-penolakan yang selalu ia lakukan selama ini. Dalam hati, rasa bahagia tak terelak begitu mendengar kalimat-demi kalimat yang dilontarkan Rio. Iren tersenyum. Rio takjub melihatnya, ia lalu melebarkan senyum, dan, pelan tapi pasti, mendekat ke arah Iren yang terduduk di atas sofa. Kedua tangannya menggenggam tangan Iren.

"Satu pengakuan terakhir. Aku.. aku sayang kamu, Ren.. sejak pertama lihat kamu di kampus.." Iren memelototkan mata semakin bulat.

"Gak perlu dijawab sekarang. Coba kamu pikirin baik-baik. Kalo kamu udah yakin, kabarin aku. Maaf aku ganggu kesenengan kamu. Aku sengaja datang sekarang. Cuma mau nikmatin sunset dengan kamu, dan  pengen tau, apa sih yang bagus dari senja? Ternyata memang bener, senja itu indah. Apalagi waktu lihat kamu senyum kayak gini. Maniiis banget.

Iren merasa lahir kembali. Padahal siang tadi, saat mendengar kemenangannya. Perasaannya biasa-biasa saja, meski banyak yang menyelamatinya. Tapi saat senja ini ia habiskan bersama Rio, dan kalimat-kalimat itu menyapa telinganya, seluruh perasaan negatifnya mulai terhapus. Tinggal menerapkannya secara nyata dikehidupannya.

"Ren, aku siap bantu kamu. Soal apapun itu. Jangan jadi si pemurung lagi, ya? Senyum dong. Orang-orang peduli dan sayang sama kamu. Lebih dari yang kamu tahu."

Senyum Iren semakin lebar. Sepertinya ia harus sering-sering berada disamping Rio, agar terus bisa menyunggingkan senyumnya :)


2 komentar: