Ah, ada
lagi!
Aku menghentikan langkah. Menelan
ludah dan menatap ke arah cowok itu tanpa berkedip. Ya Tuhan, ini keajaiban!
Aku bertemu lagi dengannya setelah sebulan lamanya aku mencari cowok itu.
Pangeran baik hati yang sempat membuatku tersungkur ditepi lapangan basket
kampus. Beberapa detik mataku terpaku pada satu sosok yang tengah men-dribble bola itu. Rasanya kakiku
tertimpa beban berat sehingga aku tak bisa melangkah ke manapun. Aku menghela
napas kuat-kuat. Ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar tiba-tiba saat aku
menyadari kalau cowok yang sekarang jaraknya hanya beberapa meter dariku ini
adalah benar. Cowok yang membuatku jatuh sebulan lalu. Duh, apa yang harus
kulakukan sekarang?
Aku mendekap diktatku semakin erat,
berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghampirinya. Bertanya siapa nama dan
dari fakultas mana. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Saat bola
basketnya menghantam dahiku waktu itu, dia menolongku dan mengucapkan maaf
dengan wajah sangat menyesal. Tapi tidak menyebutkan namanya waktu dia
memapahku dan membawaku ke ruang UKS. Sejak saat itu aku jadi selalu terngiang-ngiang
tentang wajah dan sikapnya.
Kutarik lagi napasku dalam-dalam.
Aku melangkahkan kaki saat tiba-tiba bola bundar berwarna oranye itu
menggelinding dan berhenti di kakiku. Oh! Cupid
pasti mendengar harapanku, sampai dia mempermudah segalanya! Terimakasih.
Kuambil bola itu, lalu kuangkat dan
kuperhatikan siapa yang akan mengambilnya. Benar! Pangeran baik hati itu
berjalan ke arahku. Senyum manisnya membuat aku meleleh kalau saja aku terbuat
dari es.
“Hey, makasih ya!” ucapnya. Aku
menyodorkan bola itu dan berharap jantungku tidak berhenti berdetak. Aku
menunggu. Menunggu apakah ia mengenaliku atau tidak. Tapi nyatanya, setelah ia
mengambil bola itu, ia membalikkan badan dan pergi begitu saja. Aku hanya dapat
bengong saat tubuhnya makin menjauh.
***
Jadi
selama ini, aku hanya memikirkan orang yang tidak pernah mengingatku sama
sekali? Uh! Pangeran baik hati, pangeran baik hati! Julukan itu kuhapus
sempurna. Aku kecewa atas sikapnya minggu kemarin. Sama sekali tidak ingat
wajahku ya? Yakin?
Tapi dua minggu ini, aku justru
malah sering bertemu dengannya. Di perpustakaan lah, di koridor, bahkan di food court kampus seperti saat ini. Dan
aku masih saja merasa jantungku dag-dig-dug saat bertemu dengannya. Selalu
seperti itu jika aku bertemu dengannya, bahkan jika hanya aku merasakan
tanda-tanda kehadirannya. Iih!
“Kenapa sih Yu, gelisah amat?” tanya
Jima, melihat aku gak tenang duduk dibangku-ku.
“Lo masih inget kan, pangeran baik
hati yang pernah gue ceritain itu?”
“Yang bikin lo jatuh, tapi nolong lo
sampe ke UKS?” aku mengangguk, seraya menyedot jus jerukku.
“Dua minggu kemaren gue ketemu dia
lagi. Dan belakangan malah jadi sering ketemu,” Aku mulai curhat.
“Truss? Lo berhasil ngajakin
kenalan?”
“Tadinya sih mau. Sebulan lebih gitu
lho gue nyariin dia gak ketemu melulu. Gue nggak mau dong nyia-nyiain
kesempatan,”
“Bagus dong. Siapa namanya?”
“Masalahnya...” aku menggantung
kalimatku. Kuhela napas dalam-dalam sebelum aku meneruskan cerita. “Dia
kayaknya gak inget wajah gue sama sekali, deh. Waktu bolanya ngegelinding ke
kaki gue, gue ambil terus gue kasiin gitu ke dia, dia cuman bilang makasih.
Terus balik lagi ke lapangan. Gak ngomong apa-apa.”
“Lo gak kejar?”
“Kejar, Ma? Setelah dia nyuekin gue
gitu? Padahal sebulan ini gue nyariin dia. Tapi apa hasilnya? Dia kenal gue aja
enggak!” Jima geleng-geleng kepala sambil berdecak. Kemudian meminum Cappucino
Latte-nya sebelum menatap tajam ke arahku.
“Ayuuu, Ayu. Lo itu kayak anak kecil
banget ya! Dalam waktu sebulan itu bukan cuman elo aja kali, cewek yang ketemu
sama dia. Emang dikampus ini, dia harus selalu inget-inget siapaaa gitu orang
yang udah bikin dia celaka. Gitu ya? Coba kalo lo kejar, sekedar nanyain
namanya. Terus bilang makasih buat tragedi bulan kemaren. Pasti sekarang lo
udah tahu siapa namanya. Atau mungkin udah deket sama dia.”
“Ya iya sih, Ma. Tapi.. ah, udahlah!
Kayaknya percuma juga gue terus ngarep dia.”
“Syukur lah kalo lo nyadar. Cowok
juga bukan cuman dia disini, kan?” komentarnya cuek.
“Tapi dua minggu ini gue malah
sering ketemu sama dia, dan sekarang dia deket sama gue. dia disini!” Jima
tersedak dan langsung batuk-batuk.
“Kenapa gak ngomong daritadi? Yang
mana sih orangnya?” Aku melirik ke bangku didepanku. Takut-takut menatapnya
yang.. eh, dia melihat aku. Dia menatapku! Menyipitkan matanya tapi kemudian
tersenyum. O My.. O My.. O My God. Jima
mengikuti arah tatapan mataku, lalu..
“Alfy?”
“Hah? Alfy? Siapa?”
“Yang pake kemeja kotak-kotak itu?”
aku mengangguk.
“Iya Alfy. Fakultas Hukum juga kok.
Kakak angkatan kita. Ketua tim basket kampus.”
“Lo yakin?”
“Dih, lo ke mana aja selama ini?
Segitu populernya dia, lo gak tau sama sekali?” aku membuang napas. Kalo cowok populer gitu, sih, aku bakalan mundur sebelum
berperang. Nggak heran dia gak ngenalin wajahku waktu ketemu. Mungkin cewek
yang deketin dia juga bejibun jumlahnya! Tapi.. aku balas tersenyum. Tepatnya
memaksakan senyumku agar mengembang senormal mungkin. Jangan biarkan aku salah
tingkah dihadapannya, please. Mulai
sekarang aku gak akan penasaran lagi sama cowok itu. Alfy. Setelah tahu siapa
dia. Sikap manisnya, wajah tampannya, belum jabatannya sebagai kapten tim
basket kampus. Siapa sih cewek yang gak bakal tertarik? Seandainya sejak awal
aku tahu kalau Alfy kapten tim basket kampus, gak bakal aku penasaran sampe-sampe..
lho, memang kalau dia tim basket kenapa? Gak boleh aku menyukainya? Udahlah,
cowok keren kayak gitu biasanya gak jauh-jauh dari sifat ‘playboy’ kan? Iya..
biasanya! Jadi, setelah mendengar pernyataan Jima tadi, aku akan berusaha
melupakan dan tidak akan tertarik padanya lagi. Titik. Yakinku pada diriku
sendiri.
***
“Lo
pulang duluan aja, Ma,” aku membereskan bukuku, dan beranjak meninggalkan
kelas. Jalan bersama Jima.
“Mau ke mana dulu?”
“Perpus.”
“Ngapain?”
“Ngepel. Ya pinjem buku lah. Lo
duluan aja. Biar gue pulang sendiri nanti.”
“Mau gue temenin?”
“Udah sana pulang. Udah mendung
juga. Nanti keujanan lagi,” aku mempercepat langkah. Berbelok ke arah
perpustakaan, sementara Jima mengambil motornya dilapang parkir dan ketika
sampai dipintu perpustakaan, tiba-tiba aku merasa lututku melemas. Jantungku
berdebar lebih keras. Ada apa ya? Biasanya, kalau sudah begini.. kupaksakan melangkah
lagi hingga akhirnya..
“Aduh,” seruan tertahan itu malah
membuatku semakin gak bisa bergerak. Aku jatuh terduduk, sebelum mengangkat
kepalaku karena aku tahu siapa orang yang bertabrakan denganku saat ini. Dan
jantungku berhenti berdegup.
“Kamu gak pa-pa?” deg!
“Gak pa-pa. Maaf ya.” Aku buru-buru
bangun, membantunya mengambil buku-buku yang berserakan, dan sempat menimpa
kakiku –sakit rasanya— kemudian membetulkan letak rokku. Tanpa mengangkat
wajah, aku berjalan cepat meninggalkannya. Aku sudah mau melupakannya, walaupun
perasaan gemetar itu masih saja tetap aku rasakan. Aku takut semakin kecewa
kalau aku keukeuh ingin berkenalan
dengannya. Lagipula, kenapa sih, waktu aku mulai mau mundur, malah sering
dipertemukan seperti ini?
***
Hujan
turun sangat deras ketika aku berjalan dilapangan menuju koridor. Huaaa! Kenapa
mendadak begini? Biasanya juga gerimis dulu, gitu. Aku buru-buru memasukkan
buku yang kupinjam dari perpustakaan tadi ke dalam tas. Air hujan telah sukses
membuat sebagian bahkan hampir seluruh tubuhku basah. Setelah berhasil
memasukkan buku ke dalam tas, aku mempercepat langkah. Lari-lari kecil menuju
koridor yang jaraknya cukup jauh.
“HEI..” Oh God, lindungi aku! Aku
berpura-pura tidak mendengar, mempercepat lariku, tetapi dia berhasil
menyeimbangi langkah kakiku. Aku merasa seluruh tubuhku membeku seketika. Jarak
koridor terasa semakin jauh.
“Kamu gak apa-apa, kan? Bener? Nggak
ada yang sakit?” suaranya kencang. Balapan dengan hujan yang semakin deras.
Akhirnya aku berhasil menyentuh lantai koridor. Air menetes dari bajuku. Kuyup!
Aku kebasahan. Ayu, jangan GR. Mungkin
sikapnya memang seperti ini pada setiap cewek.. maksudnya, setiap orang! Lo kan
udah janji nggak bakal tertarik lagi sama cowok ini. Jadi, bersikap biasa-biasa
aja ya! Aku menggumam dalam hati, walau aku nggak yakin apakah aku bisa
bersikap biasa-biasa atau tidak. Sekarang saja, rasanya aku mau tenggelam ke
dasar lautan.
“Aku nggak apa-apa,” aku membuka
suara. Hanya itu kata yang dapat terucap.
“Maaf ya. Aku buru-buru tadi. Tapi
beneran nggak apa-apa? Buku-bukunya gak ada yang ngelukain kamu, kan?” Ampun,
perhatian sekali cowok ini!
“Iya sih. Tapi aku gak apa-apa,”
sahutku lagi. Pendek.
“Kedinginan ya?” aku hanya tersenyum
tipis. Tak berani menatap wajahnya. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan sebuah
jaket dari ranselnya setelah ia meletakkan buku-bukunya ke atas kursi panjang.
“Kamu pake ini. Anggap aja
permintaan maaf kar’na tadi udah selebor di perpus. Sorry ya. Sorry banget. Aku
gak sengaja.” Ya Tuhan! Kenapa sih, orang ini? Padahal dia kan gak sengaja
jatuhin buku-buku itu. Kenapa merasa bersalahnya sampai se-berlebihan ini.
“Ah, aku masih ada kelas. Oya, namaku Alfy. Kalo mau cari
aku, kamu bisa datang ke sanggar basket. Aku duluan ya. Bye..” aku melongo.
Bengong. Jaket cokelatnya masih tergenggam ditanganku. Dalam pikiranku saat ini
yang terlintas adalah... aku tidak akan melupakannya. Walaupun gak jadi pacar, seenggaknya aku bisa mengenalnya. Lagipula,
nanti aku harus mengembalikan jaket cokelat ini, kan? Pikirku, seraya
mengenakan jaket cokelat itu dan melenggak pulang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar