Senin, 08 Oktober 2012

Jaket Cokelat

Ah, ada lagi!

Aku menghentikan langkah. Menelan ludah dan menatap ke arah cowok itu tanpa berkedip. Ya Tuhan, ini keajaiban! Aku bertemu lagi dengannya setelah sebulan lamanya aku mencari cowok itu. Pangeran baik hati yang sempat membuatku tersungkur ditepi lapangan basket kampus. Beberapa detik mataku terpaku pada satu sosok yang tengah men-dribble bola itu. Rasanya kakiku tertimpa beban berat sehingga aku tak bisa melangkah ke manapun. Aku menghela napas kuat-kuat. Ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar tiba-tiba saat aku menyadari kalau cowok yang sekarang jaraknya hanya beberapa meter dariku ini adalah benar. Cowok yang membuatku jatuh sebulan lalu. Duh, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku mendekap diktatku semakin erat, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghampirinya. Bertanya siapa nama dan dari fakultas mana. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Saat bola basketnya menghantam dahiku waktu itu, dia menolongku dan mengucapkan maaf dengan wajah sangat menyesal. Tapi tidak menyebutkan namanya waktu dia memapahku dan membawaku ke ruang UKS. Sejak saat itu aku jadi selalu terngiang-ngiang tentang wajah dan sikapnya.



Kutarik lagi napasku dalam-dalam. Aku melangkahkan kaki saat tiba-tiba bola bundar berwarna oranye itu menggelinding dan berhenti di kakiku. Oh! Cupid pasti mendengar harapanku, sampai dia mempermudah segalanya! Terimakasih.

Kuambil bola itu, lalu kuangkat dan kuperhatikan siapa yang akan mengambilnya. Benar! Pangeran baik hati itu berjalan ke arahku. Senyum manisnya membuat aku meleleh kalau saja aku terbuat dari es.

“Hey, makasih ya!” ucapnya. Aku menyodorkan bola itu dan berharap jantungku tidak berhenti berdetak. Aku menunggu. Menunggu apakah ia mengenaliku atau tidak. Tapi nyatanya, setelah ia mengambil bola itu, ia membalikkan badan dan pergi begitu saja. Aku hanya dapat bengong saat tubuhnya makin menjauh.

***

Jadi selama ini, aku hanya memikirkan orang yang tidak pernah mengingatku sama sekali? Uh! Pangeran baik hati, pangeran baik hati! Julukan itu kuhapus sempurna. Aku kecewa atas sikapnya minggu kemarin. Sama sekali tidak ingat wajahku ya? Yakin?

Tapi dua minggu ini, aku justru malah sering bertemu dengannya. Di perpustakaan lah, di koridor, bahkan di food court kampus seperti saat ini. Dan aku masih saja merasa jantungku dag-dig-dug saat bertemu dengannya. Selalu seperti itu jika aku bertemu dengannya, bahkan jika hanya aku merasakan tanda-tanda kehadirannya. Iih!

“Kenapa sih Yu, gelisah amat?” tanya Jima, melihat aku gak tenang duduk dibangku-ku.

“Lo masih inget kan, pangeran baik hati yang pernah gue ceritain itu?”

“Yang bikin lo jatuh, tapi nolong lo sampe ke UKS?” aku mengangguk, seraya menyedot jus jerukku.

“Dua minggu kemaren gue ketemu dia lagi. Dan belakangan malah jadi sering ketemu,” Aku mulai curhat.

“Truss? Lo berhasil ngajakin kenalan?”

“Tadinya sih mau. Sebulan lebih gitu lho gue nyariin dia gak ketemu melulu. Gue nggak mau dong nyia-nyiain kesempatan,”

“Bagus dong. Siapa namanya?”

“Masalahnya...” aku menggantung kalimatku. Kuhela napas dalam-dalam sebelum aku meneruskan cerita. “Dia kayaknya gak inget wajah gue sama sekali, deh. Waktu bolanya ngegelinding ke kaki gue, gue ambil terus gue kasiin gitu ke dia, dia cuman bilang makasih. Terus balik lagi ke lapangan. Gak ngomong apa-apa.”

“Lo gak kejar?”

“Kejar, Ma? Setelah dia nyuekin gue gitu? Padahal sebulan ini gue nyariin dia. Tapi apa hasilnya? Dia kenal gue aja enggak!” Jima geleng-geleng kepala sambil berdecak. Kemudian meminum Cappucino Latte-nya sebelum menatap tajam ke arahku.

“Ayuuu, Ayu. Lo itu kayak anak kecil banget ya! Dalam waktu sebulan itu bukan cuman elo aja kali, cewek yang ketemu sama dia. Emang dikampus ini, dia harus selalu inget-inget siapaaa gitu orang yang udah bikin dia celaka. Gitu ya? Coba kalo lo kejar, sekedar nanyain namanya. Terus bilang makasih buat tragedi bulan kemaren. Pasti sekarang lo udah tahu siapa namanya. Atau mungkin udah deket sama dia.”

“Ya iya sih, Ma. Tapi.. ah, udahlah! Kayaknya percuma juga gue terus ngarep dia.”

“Syukur lah kalo lo nyadar. Cowok juga bukan cuman dia disini, kan?” komentarnya cuek.

“Tapi dua minggu ini gue malah sering ketemu sama dia, dan sekarang dia deket sama gue. dia disini!” Jima tersedak dan langsung batuk-batuk.

“Kenapa gak ngomong daritadi? Yang mana sih orangnya?” Aku melirik ke bangku didepanku. Takut-takut menatapnya yang.. eh, dia melihat aku. Dia menatapku! Menyipitkan matanya tapi kemudian tersenyum. O My.. O My.. O My God. Jima mengikuti arah tatapan mataku, lalu..

“Alfy?”

“Hah? Alfy? Siapa?”

“Yang pake kemeja kotak-kotak itu?” aku mengangguk.

“Iya Alfy. Fakultas Hukum juga kok. Kakak angkatan kita. Ketua tim basket kampus.”

“Lo yakin?”

“Dih, lo ke mana aja selama ini? Segitu populernya dia, lo gak tau sama sekali?” aku membuang napas. Kalo cowok populer gitu, sih, aku bakalan mundur sebelum berperang. Nggak heran dia gak ngenalin wajahku waktu ketemu. Mungkin cewek yang deketin dia juga bejibun jumlahnya! Tapi.. aku balas tersenyum. Tepatnya memaksakan senyumku agar mengembang senormal mungkin. Jangan biarkan aku salah tingkah dihadapannya, please. Mulai sekarang aku gak akan penasaran lagi sama cowok itu. Alfy. Setelah tahu siapa dia. Sikap manisnya, wajah tampannya, belum jabatannya sebagai kapten tim basket kampus. Siapa sih cewek yang gak bakal tertarik? Seandainya sejak awal aku tahu kalau Alfy kapten tim basket kampus, gak bakal aku penasaran sampe-sampe.. lho, memang kalau dia tim basket kenapa? Gak boleh aku menyukainya? Udahlah, cowok keren kayak gitu biasanya gak jauh-jauh dari sifat ‘playboy’ kan? Iya.. biasanya! Jadi, setelah mendengar pernyataan Jima tadi, aku akan berusaha melupakan dan tidak akan tertarik padanya lagi. Titik. Yakinku pada diriku sendiri.

***

“Lo pulang duluan aja, Ma,” aku membereskan bukuku, dan beranjak meninggalkan kelas. Jalan bersama Jima.

“Mau ke mana dulu?”

“Perpus.”

“Ngapain?”

“Ngepel. Ya pinjem buku lah. Lo duluan aja. Biar gue pulang sendiri nanti.”

“Mau gue temenin?”

“Udah sana pulang. Udah mendung juga. Nanti keujanan lagi,” aku mempercepat langkah. Berbelok ke arah perpustakaan, sementara Jima mengambil motornya dilapang parkir dan ketika sampai dipintu perpustakaan, tiba-tiba aku merasa lututku melemas. Jantungku berdebar lebih keras. Ada apa ya? Biasanya, kalau sudah begini.. kupaksakan melangkah lagi hingga akhirnya..

“Aduh,” seruan tertahan itu malah membuatku semakin gak bisa bergerak. Aku jatuh terduduk, sebelum mengangkat kepalaku karena aku tahu siapa orang yang bertabrakan denganku saat ini. Dan jantungku berhenti berdegup.

“Kamu gak pa-pa?” deg!

“Gak pa-pa. Maaf ya.” Aku buru-buru bangun, membantunya mengambil buku-buku yang berserakan, dan sempat menimpa kakiku –sakit rasanya— kemudian membetulkan letak rokku. Tanpa mengangkat wajah, aku berjalan cepat meninggalkannya. Aku sudah mau melupakannya, walaupun perasaan gemetar itu masih saja tetap aku rasakan. Aku takut semakin kecewa kalau aku keukeuh ingin berkenalan dengannya. Lagipula, kenapa sih, waktu aku mulai mau mundur, malah sering dipertemukan seperti ini?

***

Hujan turun sangat deras ketika aku berjalan dilapangan menuju koridor. Huaaa! Kenapa mendadak begini? Biasanya juga gerimis dulu, gitu. Aku buru-buru memasukkan buku yang kupinjam dari perpustakaan tadi ke dalam tas. Air hujan telah sukses membuat sebagian bahkan hampir seluruh tubuhku basah. Setelah berhasil memasukkan buku ke dalam tas, aku mempercepat langkah. Lari-lari kecil menuju koridor yang jaraknya cukup jauh.

“HEI..” Oh God, lindungi aku! Aku berpura-pura tidak mendengar, mempercepat lariku, tetapi dia berhasil menyeimbangi langkah kakiku. Aku merasa seluruh tubuhku membeku seketika. Jarak koridor terasa semakin jauh.

“Kamu gak apa-apa, kan? Bener? Nggak ada yang sakit?” suaranya kencang. Balapan dengan hujan yang semakin deras. Akhirnya aku berhasil menyentuh lantai koridor. Air menetes dari bajuku. Kuyup! Aku kebasahan. Ayu, jangan GR. Mungkin sikapnya memang seperti ini pada setiap cewek.. maksudnya, setiap orang! Lo kan udah janji nggak bakal tertarik lagi sama cowok ini. Jadi, bersikap biasa-biasa aja ya! Aku menggumam dalam hati, walau aku nggak yakin apakah aku bisa bersikap biasa-biasa atau tidak. Sekarang saja, rasanya aku mau tenggelam ke dasar lautan.

“Aku nggak apa-apa,” aku membuka suara. Hanya itu kata yang dapat terucap.

“Maaf ya. Aku buru-buru tadi. Tapi beneran nggak apa-apa? Buku-bukunya gak ada yang ngelukain kamu, kan?” Ampun, perhatian sekali cowok ini!

“Iya sih. Tapi aku gak apa-apa,” sahutku lagi. Pendek.

“Kedinginan ya?” aku hanya tersenyum tipis. Tak berani menatap wajahnya. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan sebuah jaket dari ranselnya setelah ia meletakkan buku-bukunya ke atas kursi panjang.

“Kamu pake ini. Anggap aja permintaan maaf kar’na tadi udah selebor di perpus. Sorry ya. Sorry banget. Aku gak sengaja.” Ya Tuhan! Kenapa sih, orang ini? Padahal dia kan gak sengaja jatuhin buku-buku itu. Kenapa merasa bersalahnya sampai se-berlebihan ini.

“Ah, aku masih ada kelas. Oya, namaku Alfy. Kalo mau cari aku, kamu bisa datang ke sanggar basket. Aku duluan ya. Bye..” aku melongo. Bengong. Jaket cokelatnya masih tergenggam ditanganku. Dalam pikiranku saat ini yang terlintas adalah... aku tidak akan melupakannya. Walaupun gak jadi pacar, seenggaknya aku bisa mengenalnya. Lagipula, nanti aku harus mengembalikan jaket cokelat ini, kan? Pikirku, seraya mengenakan jaket cokelat itu dan melenggak pulang. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar