"Kyara.
Denger. Aku kakak kamu. Kamu lebih percaya cowok itu daripada aku?" aku
membentak, mencekal pergelangan tangan Kya yang terus merengek meminta aku
melepaskannya. Tapi aku tak peduli, aku terus memaksa Kya untuk tetap dirumah, tidak
menemui cowok itu. Apalagi secara tidak sengaja aku mendengar percakapan itu
ditepi jalan saat aku pulang kuliah.
"Kakak
cuma cemburu. Itu aja. Alasan Kakak nggak cukup kuat untuk buat aku lepas dari
dia. Dia nggak pernah bikin aku sakit hati atau apalah itu. "
"Belum
sekarang! Nanti. Nanti kamu pasti.."
"Itu
cuma alibi! Kakak masih suka, kan, sama Ragil?!" Kya memotong kalimat dan
mengibaskan tanganku kasar. Nadanya terdengar seolah ia ingin membalas atas apa
yang pernah aku lakukan padanya. Dan aku memang menyesal telah berlaku seperti
itu padanya, terlebih lagi, menyesal karena...
Kya
membetulkan baju dan mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai. Sekali lagi
mematut diri didepan cermin sebelum ia pergi dengan membanting pintu. Aku hanya
membuang napas cemas. Pikiranku melayang lagi pada insiden itu.
Semua
berawal dari pertemuan kami dengan cowok bernama Ragil. Cowok tampan yang mampu
menghipnotis aku dan Kya, bahkan hanya dalam sekali menatapnya. Kami bertemu
dengannya disebuah swalayan. Ia tengah memilih sayuran saat itu. Terlihat kalem
dengan senyum yang selalu merekah dibibirnya. Aku tertarik! Bukan hanya aku,
Kya juga. Lucunya, kami berdua tak lepas memandangi cowok itu. Terus-terusan,
sampai-sampai lupa apa tujuan kami datang ke swalayan ini. Dasar gila!
Si cowok
yang sadar kami terus memperhatikan dengan memasang wajah "tertarik"
kemudian mendekat. Menyalami aku dan Kya tanpa basa-basi.
"Ragil!"
katanya, seraya menaikkan sebelah alis, mengulurkan tangannya padaku dan Kya
bergantian. Detik berikutnya, tangannya gesit menuliskan sesuatu pada secarik
kertas. Selesai menulis, ia menyerahkannya padaku. Sederetan angka tertera
disana, lalu chao!
pergi setelah mengedipkan mata kanannya.
Sebulan
setelah pertemuan kami diswalayan itu, aku bersaing terang-terangan dengan Kya,
untuk mendapatkan perhatian Ragil. Mengirimi cowok itu SMS setiap malam, yang
langsung dibalas dengan telpon. Kadang aku tertawa mengejek jika Ragil
meneleponku, sementara Kya memberengut sirik disampingku. Tapi aku tidak peduli.
Aku terlanjur terhipnotis dengan Ragil. Aneh, kan? Ragil lebih memilih aku
dibanding Kya.
Sampai suatu
hari ia mengajakku bertemu, menyatakan perasaannya. Aku kaget, tentu saja. Ini
kali kedua kami bertemu. Rasanyaa.. Ah, tapi memangnya kenapa? Aku saja
langsung menyukainya saat pertama kali melihat. Lagipula, dengan ini aku bisa
membuktikan pada Kya bahwa akulah pemenangnya. Yang berhasil menarik perhatian
Ragil, lebih dulu. Entah darimana datangnya pikiran jahat itu.
Seminggu,
dua minggu, tiga minggu. Aku menjalaninya dengan Ragil. Tak ada yang aneh.
Ragil selalu tampil sebagai cowok care yang selalu memperhatikan aku. Senyumnya
selalu menghiburku sampai suatu ketika, dibulan kedua kedekatan kami, sesuatu
darinya menampar-nampar perasaanku. Menusuk ulu hati tanpa perasaan, membuatku
menyesal pernah mengenal dan menyukainya.
Dia
meneleponku suatu malam, mengatakan padaku bahwa ia sakit dan ingin aku
membawakannya sup jagung, makanan favoritnya. Dengan tanpa rasa curiga aku
melakukannya, membuatkan sup itu dan membawa ke tempat kost-nya. Kya sempat
mencibir melihat aku grasak-grusuk bongkar lemari es demi membuatkan Ragil sup
jagung. Masih kesal karena Ragil malah memilih aku, padahal iapun mendekati
Ragil dengan cara yang sama denganku.
Setibanya
disana, aku dikagetkan dengan kenyataan bahwa keadaan Ragil kontras dengan apa
yang dikatakannya padaku. Sehat, bahkan tawa kerasnya terdengar ketika aku
sampai didepan gerbang kost-nya. Kamarnya terlihat ramai.
Aku masih
sempat berpikir positif. Mungkin teman-teman kampusnya menjenguk, dan
kuteruskan langkahku.
Bau alkohol
langsung menusuk hidung. Kepulan asap menggangu mata dan pernapasanku. Aku
tercekat. Demi apapun, aku berani bersumpah. Ini pertama kalinya aku mencium
aroma yang membuat perutku mual itu. Ragil tersenyum sok polos, tanpa
dosa.Wajah
innocent-nya membuatku curiga.
"Safira,
udah datang?" tanyanya sambil menghisap rokok dan mengepulkan asapnya.
Tangan kananya menepuk lantai, menyuruhku duduk disampingnya. Aku masih tidak
percaya. Sebelumnya bahkan aku yakin bahwa cowok seperti Ragil tidak akan
melakukan hal-hal seperti yang kulihat saat ini.
"Jadi
ini, cewek baru yang naksir elo itu?" suara berat seorang cowok
menenggelamkan suaraku. Aku tak dapat berkata. Jikapun bisa, entah apa yang
akan kukatakan saat ini.
"Astaga!
Selera lo kok jatuh banget Gil? Kalo dibandingin sama Sarah, jauh
kemana-mana!" tawa keras menggema diseluruh ruangan. Aku terkesiap. Harga
diriku terinjak-injak. Airmata mulai menggenang dipelupuk.
"Hahaha.
Bego! Kalo seandainya dia nggak ngeliatin Ragil dengan wajah
"mupengnya" diswalayan waktu itu, mana mungkin Ragil mau!"
"Hebat
Gil! Elo berhasil! Dia cewek ke.. engng, ke berapa Ndre?" saling
bersahutan. Melecehkan. Menghina. Mengejek.
"Ke-10!"
Perfect!"
seru suara lain.
Ragil mendekatiku,
mencoba bersikap manis. Tangannya menyentuh kepalaku, siap mendaratkan bibirnya
ke bibirku. Aku melotot, memaksakan diri berlari dari hinaan menyakitkan itu.
Diujung
jalan, kulihat Ragil mengejar sambil memanggil namaku.
***
Apa
dikehidupan sebelumnya aku pernah melukai hati Ragil? Atau memang.. memang..
bodoh! Aku merutuki diriku sendiri. Baru kusadari Ragil memang cowok yang hanya
memanfaatkan rupa bagusnya untuk mempermainkan perasaan. Aku mencoba
menghilangkan ingatan tentang insiden yang terjadi malam tadi. Kutatap
langit-langit kamar. Mataku sudah membengkak dengan kantung hitam yang
menggantung. Menyebalkan! Kya yang sekamar dan tidur disampingku menatap heran,
tanpa bertanya. Aku tentu saja tidak menceritakan hal ini padanya. Kadung malu!
Siangnya
Ragil datang menemuiku ke rumah. Aku shock. Tidak puaskah dengan perlakuannya
padaku tadi malam? Kya dengan seball menghentakkan kaki ke lantai, memberitahuku
bahwa Ragil menungguku diluar. Aku berniat menolak, tapi masih terlalu gengsi
untuk mengatakan yang sebenarnya pada Kya. Kuurungkan niat itu. Dan kutemui
Ragil didepan rumah. Ia tersenyum melihatku. Aku memasang wajah judes,
menyambutnya mau tak mau.
"Maaf
buat ulah temen-temen aku tadi malem ya!" bujuknya. Tangan kanannya
menyodorkan sebuah kotak, tempat sup jagung yang kubawakan untuknya. Mata
bundarnya bermain lincah, membuat aku terkesima setiap kali menatapnya. Tapi
tidak sejak tragedi malam tadi. Aku diam saja. Mata Ragil terus bermain.
Melirik ke arah Kya yang tiba-tiba muncul membawakan kami dua gelas Orange
Juice.
***
Tiga bulan
berlalu sejak insiden itu. Aku sudah melupakannya dan berjanji pada diriku, tak
akan melakukan hal teledor seperti yang kulakukan di swalayan tujuh bulan lalu.
Terlalu memperlihatkan bahwa aku tertarik pada cowok yang kulihat! Yaiks, jijik
aku mengingatnya. Mengingat betapa Ragil.. Ragil.. huh! Aku sudah mengatakan
pada Kya bahwa aku dan Ragil sudah selesai. Berakhir baik-baik. Kya langsung
mengerutkan dahi saat aku mengatakannya. Tanpa bercerita karena aku masih
merasa malu.
Tapi
lagi-lagi aku tercekat saat bulan lalu aku mendengar kabar Kya dan Ragil
sekarang dekat. Pengakuan Kya itu membuat darahku surut seketika. Aku yakin,
Ragil akan melakukan hal yang sama Kya, seperti apa yang dilakukannya padaku. Lebih
tercekat lagi saat dengan keras kepalanya Kya menolak laranganku untuk tetap
diam dirumah, tidak menemui lagi cowok itu. kalau bisa selamanya! Selamanya!
Aku baru
sadar, kunjungannya ke rumahku saat itu juga adalah salah satu triknya untuk
mendekati Kya! Dan aku akan mencegah hal buruk apapun yang akan dilakukan Ragil
terjadi pada Kya. Apalagi saat aku melewati jalan sebelum kompleks rumahku,
tanpa sengaja aku melihat Ragil bersandar pada sebuah Eterna Hitam Metalik.
Disampingnya, cowok yang sempat kutemui malam itu berdiri. Mereka tertawa saat
Ragil berkata,
"Iya,
adiknya. Gue yakin tu cewek lebih bego dari kakaknya. Dan gue nggak akan pake
trik yang sama kayak yang gue lakuin ke si Fira. Gue gagal sama kakaknya, nggak
mungkin gue biarin adiknya lolos gitu aja! Kalo seandainya dia nolak apa yang
gue mau, ini yang bertindak! Liat aja! Malam ini juga!" Ragil mengacungkan
tangan kanannya yang mengepal. Aku tersentak. Segera kularikan motorku secepat
kubisa. Ada sesuatu yang nggak beres. Ragil pasti sedang menunggu Kya disini.
Sejak mendatangiku ke rumah, Ragil nggak pernah berani berkunjung lagi.
Sesampainya
dirumah, kudapati Kya berdiri didepan cermin. Membubuhkan bedak pada pipi
tirusnya. Napasku masih tersengal saat kulempar tas, bertanya basa-basi kemana
Kya akan pergi. Kya menjawab polos. Jujur. Lalu aku ceritakan semuanya,
sekaligus mencegahnya pergi. Tapi penolakan kerasnya tadi membuatku kalah juga.
Kya tidak percaya pada ceritaku. Cerita yang baru kusampaikan sekarang.
“Alibi!
Kakak masih suka, kan, sama Ragil?” Kalimat itu tadi membuatku menghela napas
dalam-dalam.
Lima belas
menit sejak kepergian Kya, aku jadi tersentak. Harus kususul Kya sebelum
sesuatu terjadi.
***
"Jangan
berani pegang!"
Aku
menyergah, keberanianku agak tertantang. Tak akan kubiarkan sedikitpun
tangannya melukai perasaan adikku. Cukup aku saja yang merasakannya. Ia melotot
garang. Aku balas melakukan itu, bahkan mungkin bisa lebih kasar darinya.
Tangan kananku siap menampar pipi-nya. Siap, sungguh siap. Tangan Ragil masih mengepal
ke atas, tertuju ke arah Kya yang ketakutan, setengah menjauh. Aku menghentikan
motorku, menatapnya galak. Ragil mendengus. Kutarik tangan Kya agar secepatnya
menjauh.
"Sekali
lagi lo gangguin gue atau adik gue, lo tau akibatnya!" ancamku
asal-asalan. Aku tak tahu apakah ancamanku tadi memang benar-benar akan
kulakukan, atau hanya gertakanku saja. Pedulilah! Yang penting sekarang aku dan
Kya selamat dari makhluk seperti Ragil. Kesal dengan kalimatku, Ragil memasang
posisi tangan siap menampar. Kutepis. kupukul telapak tangannya dengan tinjuku.
Kemudian aku yang balas menampar pipinya, didepan teman-temannya yang
bergerombol itu. Mempermalukannya. Sama seperti yang telah dia lakukan padaku.
Berbulan-bulan lalu. Tapi tak akan kubiarkan dia melakukan itu pada Kyara,
adikku. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar