Jumat, 20 Januari 2012

Catatan Hati Wening

Airmata semakin menderas, mengalir dipipi, jatuh didagunya. Gadis itu berlutut. Memungut sebuah buku tebal yang kertasnya berhamburan ke mana-mana. Ada luka dimatanya. Ada sakit yang terbias dari caranya memandang buku itu. Kupandangi ia dari jauh. Iba menyelusup, namun aku tak berani mendekat. Bentakannya beberapa hari lalu masih menyisakan sedikit trauma.
Tapi perasaan itu terus mendesak, mendesak agar aku mendekat. Menyapanya, merengkuhnya. Dalam nyata, bukan sekedar hanya bayangan seperti yang selalu aku lakukan setiap kali kulihat gadis pendiam itu. Sejak aku melihatnya satu tahun lalu, jangankan balas menyapa, tersenyumpun ia tak pernah.
Wening bangun, kertas-kertas itu telah terkumpul ditangannya. Tergenggam erat, seolah takut kehilangan untuk kedua kalinya. Mata itu masih basah. Masih merah, masih memperlihatkan perasaan luka yang begitu menyayat. Aku dapat merasakannya sekalipun aku tak tahu apa yang dirasakan Wening saat ini.
Kakinya bergetar saat ia melangkah, menyebrangi jalan sambil menggigit bibir. Kusampirkan tas, berjalan terburu-buru untuk mendekatinya. Pedulilah apa yang akan dilakukan gadis itu padaku nanti. Aku hanya takut langkahnya semakin melemah dipertengahan jalan.
Wening yang menyadari kehadiranku berjalan semakin tergopoh, berusaha tidak mengacuhkan aku yang kini hanya berjarak beberapa meter darinya.



"Wening, tunggu!" aku berseru. Wening mengabaikanku. Berjalan lagi, semakin cepat. Semakin membuat kecemasanku meninggi, karena saat ini jalanan begitu ramai. Hingga akhirnya aku bernapas lega saat Wening telah sampai diseberang jalan, kubalikkan badan. Mendekati gadis cantik nan pendiam itu bukan perkara mudah, tapi aku tak akan berhenti sampai di sini. Dia selalu sendiri, sengaja menyendirikan diri. Baiklah, mungkin tidak sekarang. Tapi nanti, nanti pasti aku akan menemukan cara untuk mendekatinya.
Kutatapi jalanan seraya berjalan pulang. Ingat kembali kejadian yang terjadi pada Wening tadi. Saat seseorang menabraknya, membentaknya dengan kata-kata yang tak dapat kudengar, merebut buku yang berusaha dipertahankan Wening, melemparnya hingga kertas-keras itu berserakan. Dan yah.. hatiku ikut perih melihatnya. Entah apa yang tiba-tiba membawaku ingin mengikutinya tadi. Dan apa yang dapat kulakukan?

Kususuri lagi jalan, ketika mataku tertuju ke arah sebuah kertas. Kertas yang tergeletak begitu saja disamping trotoar. Ah, milik Wening!

Buku ini hidupku. Satu-satunya yang tak akan kubuat hatinya terluka sekalipun aku salah bicara. Salah menuliskan sesuatu. Tidak seperti yang lain. Yang hidup. Yang akan marah jika aku melakukan kesalahan. Yang pergi meninggalkanku dalam kesendirianku seperti saat ini. Mereka terluka atas aku. Mereka pergi atas apa yang telah kulakukan pada mereka, padahal mereka tahu. Tak pernah terlintas sedikitpun dihatiku untuk melakukan hal itu. Menyakiti hati mereka? Tidak. Lalu apa yang terjadi padaku saat ini? Adilkah ini? Aku sakit. Akupun ingin merasakan indahnya berbagi. Pada yang dapat kupercayai. Semuanya. Tapi aku tak ingin ulangi lagi kesalahan itu. Aku tidak mau ditinggalkan untuk kedua kalinya. Sendiri saja. Cukup dengan sendiri, maka aku tak akan ditinggalkan siapapun lagi. Berat, memang berat rasanya sampai mereka menyerahkan benda ini sebelum pergi dari hidupku. Buku tebal ini. Buku tebal yang kini menjadi teman terbaikku. Yang tidak akan meninggalkanku lagi. Yang tahu apa yang aku rasakan.  Sepenuh hati, tak akan kubiarkan siapapun merebutnya, menghilangkannya. Dan kau, laki-laki yang selalu menatapku dari kejauhan. Aku tahu itu. Maaf, aku tak ingin siapapun meninggalkanku lagi. Biarlah aku dan catatan hatiku ini yang tahu, betapa aku pun sebenarnya ingin mengenalmu.

Mataku masih belum mengedip sampai akhir paragraf yang ditulis Wening dikertas ini. Wening ditinggalkan lagi, bahkan oleh benda mati yang mungkin bisa terganti. Tapi tidak secara hati, secara memori. Entah memori tentang apa itu. Mata itu, airmata dan luka itu. Aku meringis. Hatiku sakit. Beberapa detik kemudian, aku menelan ludah dan denting syukur bergema. Kutemukan caranya. Kutemukan bagian terpenting dari perasaannya. Tunggu aku datang, dan akan kuperbaiki semuanya, Wening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar