Kamis, 26 Januari 2012

Cahaya dan Azzalia


Azzalia. Aku suka mendengar nama itu. sampai-sampai aku menjadikannya nickname di akun Facebook-ku. Aku mengenal nama itu darimu, Kak. Pacar yang akan jadi suamiku. Sekalipun aku masih 20 tahun, masih tingkat 2 disebuah sekolah tinggi, tapi tidak menghalangi niat kita untuk melangkah ke arah yang lebih jauh. Hubungan kita, bukan sekedar hubungan yang main2, katamu. Aku senang, dan siap dengan sepenuh hati, bahkan ketika kita berjanji bahwa jika kita menikah dan memiliki anak perempuan, kita akan memberinya nama itu. Kamu berkata, nama itu berarti cita-cita kita yang secantik Azzalia. Azzalia..... kamu sendiri masih merahasiakan kenapa kamu ingin memilih nama itu. Jika aku bertanya, kamu hanya menjawabnya dengan senyum tipis. Tapi aku yakin, apapun nama yang akan kamu beri untuk puteri kecil kita, pasti memiliki arti yang baik. Sampai suatu ketika, saat tidak sengaja aku menemukan selembar surat dengan amplop ungu muda dibalik jaketmu, aku tersentak. Siapa sebenarnya Azzalia?

 ***

Umur kita berselisih 6 tahun. Jarak yang cukup lumayan, tapi tidak menghalangi perasaanku padamu. Aku menyayangimu sejak pertama kita bertemu, 3 tahun lalu. Sampai hari inipun perasaan itu tidak berubah. Kamu tetaplah orang yang mampu menghibur, mampu menasihati, mampu meredam marah, mampu mengerti aku. Aku melihatmu sebagai sosok yang sempurna. Masalalumu tak aku ketahui, karena memang tak perlu. Lagipula selama denganku kamu tidak pernah membahasnya, dan aku percaya kamu bersikap seperti itu karena memang kamu sudah melupakannya. Tapi kenapa amplop ungu muda itu masih kamu simpan?

"Kamu percaya kan sama aku?" katamu saat aku bertanya. Aku mengangguk, walaupun dalam hati masih merasa resah. Sejak menerima amplop ungu muda itu sikapmu jadi agak lain padaku. Apa kamu bertemu lagi  dengan masa lalumu?

"Nama pengirim surat itu.. Azzalia?" aku mendesak.

"Ya, kenapa?" kamu balik bertanya, dingin.

"Siapa?"

"Teman lama," aku diam. Kugigit bibir bawahku dengan perasaan gelisah. Teman lama? Saat kulihat dari keadaan amplop yang masih terlipat rapi saja aku tahu itu bukan surat biasa.

"Kakak mau kasih nama anak kita sama dengan nama teman lama Kakak?"

"Kamu kenapa, sih? Udahlah. Gak usah dibahas. Yang penting aku gak bohong, kan? Aku suka nama Azzalia, itu gak ada hubungannya dengan masa laluku.."

"Masa lalu?" aku bertanya heran. Apa tadi aku membahas masa lalu? Tidak, kan? Kamu jadi gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir. Aku perempuan, bisa dengan mudah membaca apa yang sebenarnya terjadi dari sikapmu.

"Jangan menceracau gak jelas, Dea. Masalah kecil gak perlu kamu besar2in!"

aku menarik napas panjang. Berdebat dengan emosi yang sedang acak2an sepertiku saat ini memang tidak baik. Tapi aku  terusik dengan surat ungu itu. Aku tidak ingin jika kamu menikah denganku nanti, tapi setengah hatimu masih tertuju ke arah masa lalumu. 3 tahun aku mengenalmu, dan baru kali ini aku benar-benar merasa galau karenamu. Jika seandainya kamu tidak pernah membicarakan nama Azzalia, apalagi untuk anakku kelak, aku tak akan segamang ini melihat nama Azzalia di amplop ungu itu.

***

Bertengkar hanya karena nama anak, padahal belum tentu aku akan benar2 menikah denganmu, atau jikapun menikah, siapa yang bisa memastikan anak kita akan terlahir perempuan? Yang menjadi masalah adalah, kita berencana menikah enam bulan lagi. Saat aku liburan semester.
Seminggu sejak pertengkaran kita dirumahku, aku jadi penasaran dengan cerita2 masa lalumu. Aku tidak pernah mengenal siapa Azzalia. Membaca surat yang kutemukan dijaket cokelatmupun aku tak sempat karena aku takut jika isinya benar2 akan membuatku sakit hati. Aku masih menatapi rerumputan segar ditaman belakang rumahku, bermain di ayunan yang sengaja dibuat untuk adikku saat tiba2 kamu memelukku dari belakang.

"Maaf untuk Azzalia.." katamu dengan senyum hambar terhias dibibir. Kita tidak bertemu lagi sejak pertengkaran itu. Aku menatapmu heran, setengah masih merasa gelisah.

"Gak perlu minta maaf buat teman lama," seruku tertahan. Rasanya sekarang aku sudah mual mendengar nama itu meskipun aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Azzalia di masa lalumu.

"Kamu benar Dea, dia bukan hanya teman lamaku.." aku menarik napas panjang.

"Dea udah tau. Kakak akan balik sama dia?" tanyaku. Seminggu belakangan pikiranku mengembara jauh. Kamu tak ingin menceritakan masa lalumu padaku bukan karena kamu telah benar2 melupakannya, tapi karena kamu tahu dia akan kembali suatu hari nanti, tepatnya saat ini. Yang membuatku sakit adalah.. kenapa kamu mau menjalaninya denganku, bahkan nekat akan melamarku jika hatimu tidak padaku?

"Aku udah berpikir banyak sejak nerima surat itu lagi, Dea.." katanya. Aku menelan ludah pahit.

"Dea juga.." aku menyela. "kakak mau kasih nama anak kakak nanti dengan nama Azzalia, supaya bisa terus ingat dengan dia, kan? Sekarang dia udah kembali ke sini. Kenapa gak nikahi dia saja?"

"Jangan bicara macam-macam, Dea!" sentakmu agak tajam. Menyentuh ulu hatiku.

"Dea bener, kan? Dea masih terlalu kecil buat Kakak. Gak pantas. Kakak berubah sejak dia kembali ke sini,"

"Dea.."

"Dea udah ikhlas lepas kakak kalau memang kakak maunya seperti itu."

"Dea, denger." katamu sambil mengusap bahuku, berusaha menenangkan. Aku diam. Bersiap mendengar cerita masa lalunya yang entah apa itu.

"Dia adik tiriku, Dea. Dulu aku pernah sangat membencinya karena dia dan ibunya tiba2 datang ke kehidupan Papa setelah Mama meninggal," aku mengerutkan dahi. Adik tiri? Tiga tahun kita bersama, belum pernah aku tahu kamu punya adik tiri, apalagi yang bernama Azzalia. Aku memang tahu cerita tentang orangtuamu, tapi tidak tentang adik tiri atau apapun itu. Jangankan mengenalkan, menceritakannyapun kamu tak pernah. "Lima tahun lalu dia pernah aku buat celaka, sampai2 bisu saking shock-nya. Aku & dia sudah tidak bertemu sejak kejadian itu, dan aku berusaha menutupi cerita itu karena aku sangat menyesal. Menyesal setelah tahu bahwa saat aku menabraknya waktu itu, dia sedang membelikan kado untukku. Dia benar2 menyayangiku biarpun aku sering jahat sama dia." kamu menghela napas panjang.

"Namanya Azzalia?" potongku, nada suaraku merendah setelah mendengar ceritamu dengan wajah sedih.

"Azzalia nama tokoh novel favoritnya. Dia berniat memberikanku novel dengan judul itu waktu aku mau menabraknya. Aku senang dengan nama itu."

"Kenapa tiba2 dia datang lagi sekarang?"

"Dia baru lulus SMP, ingin mengabari aku kalau dia juara umum di sekolahnya. Lima tahun terakhir ini sebenarnya dia sering mengirimiku surat. Di surat pertamanya bahkan dia bilang 'kalau seandainya kakak menikah dan punya anak perempuan, apa kakak mau kasih nama anak kakak dengan nama Azzalia? Yang artinya gadis cantik penuh kelembutan hati, seperti tokoh novel yang pernah ia baca." aku ikut menghela napas, setengah menyesal karena telah berburuk sangka padamu.

"Kenapa kakak gak bilang? Kalau seandainya sejak aku nemuin surat itu kakak kasih tau yang sebenernya, aku pasti bisa nerima. Dan kenapa seminggu terakhir ini kakak bersikap beda padaku?" kataku. Kamu tersenyum.

"Aku sedang berpikir. Ingin mengajaknya tinggal bersama kita nanti, tapi takut kamu gak bisa nerima.."

"Itu aja?" tanyaku. Kau mengangguk. "Kenapa gak pernah cerita dari awal. Tentu aku mau Kak, bawa aja dia tinggal dengan kita nanti. Aku pasti bisa nerima. Sekarang dimana...."

"Cahaya.."

"Dimana Cahaya? Bawa aku ketemu dengannya.."

***

2 tahun berlalu sejak hari itu..
Kini kita tinggal bersama Azzalia kecil kita, juga si cantik Cahaya. Aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku, dan Cahaya baru diterima disebuah Universitas negeri kota Bandung, jurusan Psikologi. Saat SMA dia masuk kelas akselerasi. Aku bangga pada adik iparku itu. Keterbatasannya tak membatasi langkahnya. Tidak hanya pintar, dia juga pintar mengambil hati siapa saja. Aku buktinya. Kau juga, Kak. Apalagi si kecil Azzalia. Semoga kelak anak kita bisa tumbuh sepertinya. Azzalia-ku, Azzalia kita #end

2 komentar:

  1. mendadak otak gue langsung ngeblank ini...
    kenapa yah, kemungkinan besar habis baca ini.. wk kw kw
    keren kok, keren banget,,terinspirasi buat nulis juga nih.. w kwk

    BalasHapus
  2. hahaha, ga jelas yak ceritanya? masih belajar juga ney. ada saran? :p

    BalasHapus