Minggu, 15 Januari 2012

Kado Terakhir Ze

"Kalo seandainya.. besok, besok, atau mungkin besoknya lagi kita gak bisa ketemu, gimana?" Ze memalingkan wajah dari laptopnya ke arah Aqil, lalu mengerutkan dahi sambil menghela napas.
"Bukannya udah biasa, ya? Lo kuliah di Jakarta, gue di Bandung. Kalo ada waktu libur kita bisa ketemu kayak sekarang ini, kan?" tanya Ze lagi, kali ini dengan senyum yang ia pasang semanis mungkin. Aqil membuang napas. Menatap Ze tanpa berkedip, sebelum detik berikutnya ia mengacak-acak puncak kepala Ze. Ze akhirnya merasa terusik dengan pertanyaan itu. Ia menyimpan file bagian akhir novel yang sedang ia tulis, mematikan laptop, kemudian benar-benar memalingkan wajah ke arah Aqil.

"Kenapa sih Qil, kok nanyanya yang aneh-aneh gitu?"

"Ya gak apa-apa. Cuma, sebentar lagi kan anniversary kita yang ke-empat, tapi gue malah harus balik ke Jakarta. Gak kayak tahun-tahun sebelumnya"

"Gara-gara itu doang, Qil? Konyol banget sih Aqil? Gak usah lebay gitu, deh. Gak setiap tahun juga harus dirayain, kan? Lagian, dengan lo rela bolak-balik Jakarta-Bandung buat ketemu gue aja, gue udah syukur banget."

"Tapi Ze.."

"Aqil, udah deh.."



"Lo mau kado apa dari gue tahun ini?" Ze merasa ada sesuatu yang aneh pada diri cowok-nya dengan pertanyaan itu. Mata Aqil berkaca, menatap Ze seolah mereka tidak akan bertemu untuk jangka waktu yang lama. Sangat lama. Tapi tahun-tahun sebelumnya Ze bahkan tidak pernah mendengar Aqil bertanya seperti ini.

"Bab terakhir novel gue, endingnya kayak gimana ya baiknya?" tanya Ze, mengalihkan topik. Aqil mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan Ze.

"Bukannya lo bilang lo udah buat draft-nya?"

"Iya siy, tapi kok rasanya gak sreg ya? Datar banget ah, kalo akhirnya mereka balikan lagi.. terus ngulang cerita dari awal. Bla-bla-bla.. kayak sinetron. Gimana kalo akhirnya si cowok itu... mati karena sakit?"

* * *

Ze melipat surat yang sudah ditulisnya untuk Aqil, lirik lagu favorit mereka sejak pertama bertemu. Nothings Gonna Change My Love For You. Boneka bola hitam sudah terbungkus kado lucu berwarna ungu. Warna favorit Ze. Lagu lama dan benda yang sangat sederhana, tapi berkesan dalam bagi mereka berdua. Dan gak tahu kenapa, tiba-tiba Ze ingin memberikan surat serta boneka ini buat Aqil. Tahun ini sepertinya mereka gak bisa merayakan hari jadi mereka yang ke-empat karena Aqil harus kembali ke Jakarta. Setelah selesai memasukkan surat serta kadonya ke dalam tas, Ze menyambar HP yang terletak dimeja kecil samping tempat tidurnya. Menekan nomor yang sudah ia hapal diluar kepala.

"Ya, Ze?" sahut Aqil diseberang telepon. "Gue lagi packing baju. Gue ke rumah lo agak siangan, sekalian pamit sama Mama" Ze diam tanpa menyahut. Tiba-tiba ia merasa suara Aqil sangat dekat, sangat hangat.. dan.. begitu berat. Pertanyaan itu! Memori otak Ze berputar ke pertanyaan Aqil kemarin.

* * *

"Gue harus pulang sekarang.." Aqil memeluk Ze, tak peduli orang-orang yang berlalu-lalang distasiun ini memerhatikan mereka dengan tatapan aneh. Erat sekali. Rasanya ia tak ingin meninggalkan gadis ini. Gadis yang telah mengisi hari-harinya empat tahun ini. Gadis dengan senyum manis yang selalu menghiburnya. Gadis bawel yang selalu mengingatkannya ini-itu. Gadis yang selalu setia menulis cerita-cerita tentang mereka dalam novelnya. ini.. O Tuhaaan, bagaimana dengan akhir cerita yang Ze tulis dalam novelnya, seperti yang sudah ia katakan kemarin? Tiba-tiba pikiran Aqil melayang jauh, tepatnya sejak mengingat mimpi yang dua hari lalu menghampirinya. Mengganggu pikirannya tentang dia dan Ze. Ze melepas pelukan Aqil.

"Sesek, tahu!" katanya dengan mata berkaca. Dalam hati ia merasa gelisah juga. Takut terjadi apa-apa pada Aqil diperjalanannya, mengingat sikap Aqil yang sejak dua hari lalu berbeda.

"Kalo boleh milih, rasanya gue gak mau pulang aja, Ze!"

"Apasih, Aqil? Jangan ngomong yang aneh-aneh begitu. Kuliah aja yang bener. Kalo ada waktu libur kan lo bisa balik."

"Kalo enggak?"

"Aqil!" Ze mencubit keras perut Aqil, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.

"Nih!" serunya, menyerahkan sekotak kado, dan sepucuk surat dengan amplop ungu centil. "Jangan buka ini sebelum sampai di Jakarta!" Aqil tersenyum. Matanya berkaca (lagi), menatap Ze tanpa berkedip.

"Maaf ya tahun ini kita gak bisa rayain anniversary-an bareng. Tapi.. lo harus tahu, gue bakal tetep sayang sama lo sampai kapanpun. Gue bakal setia jaga elo, jaga hati gue buat lo." Aqil mengecup dahi Ze yang tertutup poni-nya. Ze menghela napas. Ia melebarkan senyum yang dipaksakan, padahal hatinya gemetar hebat saat Aqil berkata seperti itu. Ze merasa tak akan mendengar kalimat itu meluncur lagi dari mulut Aqil. Aqil bukan type cowok romantis dan jarang berkata seperti itu. Kenapa sekarang tiba-tiba dia dengan lancarnya berucap begitu?

"Kereta lo mau berangkat. Hati-hati. Kabarin kalo udah sampai. Kuliah yang bener ya. Gue juga sayang Qil sama lo. Cuma sama lo, sampai kapanpun. Sampai nanti gue atau lo udah gak ada lagi. Jaga hati lo ya. Jangan dulu dibuka kadonya. Sorry gue gak bisa kasih yang lebih. Gue sayang Qil.. sayang banget sama lo. Thanks buat seminggu menyenangkan ini. Gue bakalan kangen ini. Gue..." tangis Ze meledak akhirnya. Kenapa ia seolah mengucapkan kalimat perpisahan?

"I promise Ze." Aqil mengecup dahi Ze untuk terakhir kali sebelum ia berjalan dengan berat ke arah kereta-nya, sementara Ze dengan airmata tertahan menyalakan mesin motornya dan kembali ke rumah.

* * *

Sebuah kecelakaan kereta. Menghancurkan hampir seluruh badan kereta, menghilangkan nyawa beberapa penumpang, menyisakan luka berat beberapa penumpang lainnya. Jalanan padat, dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha membantu dan menonton. diiringi suara sirine polisi yang memekakkan telinga.
Klik.

Aqil menekan tombol power pada remote-nya dan menghela napas panjang. Kecelakaan kereta lagi. Ia baru saja sampai ke Jakarta, dan langsung menyalakan TV yang tengah menayangkan sekilas berita tentang kecelakaan tadi, dalam hati bersyukur karena mimpi itu bukan pertanda apa-apa. Ya.. ia bermimpi menemukan dirinya tergeletak disamping jalan dengan berlumuran darah, sementara disampingnya Ze menangis meraung-raung. Ia selamat sampai tujuan. Firasat itu tidak benar. Berarti masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Ze-nya nanti. Ta-tapi.. astaga. Kenapa bisa ia sampai selupa ini? Aqil belum memberikan Ze apapun, padahal ia pernah bertanya apa yang Ze inginkan darinya, kado untuk anniversary-nya. Dan kenapa Ze belum membalas SMS serta mengangkat teleponnya tadi?

Aqil bangun dari tidurnya, membuka tas dan mengeluarkan kotak yang diberikan Ze distasiun tadi.

If I had to live my life without you near me, The days would all be empty, The nights would seem so long. With you I see forever oh, so clearly. I might have been in love before. But it never felt this strong. Our dreams are young and we both know. They’ll take us where we want to go. Hold me now, touch me now. I don’t want to live without you. Nothing’s gonna change my love for you. You oughta know by now how much I love you. One thing you can be sure of. I’ll never ask for more than your love. So come with me and share this view. I’ll help you see forever too. Hold me now, touch me now. I don’t want to live without you.
"Baik-baik di Jakarta. I love You, love You more than I can say.. Jaga diri di sana. Gue bakalan kangen banget sama lo. Bakal kangen banget. Pelukcium dari jauh. Zenata :*"

Aqil tersenyum, berulangkali membaca lirik lagu itu, menciuminya dengan perasaan kangen. Padahal baru siang tadi ia bertemu dengan Ze, kenapa sudah sekangen ini? Aqil memutuskan untuk menelepon Ze lagi sampai tepat ketika HP-nya berdering.

"Halo.." kata Aqil.

"Aqil.. Zena.. Zenaa Qil.." suara itu terisak dibalik tangisnya. Teriak pilu bercampur gelisah, cemas dan panik. Wajah Aqil merah padam. Hatinya berdegup tak menentu, diiringi suara gemuruh serta rusuh diseberang telepon. Ini suara kakak Ze.

"Zena kenapa Kak? Ze.. dimana Zena?" masih terdengar suara teriak panik diujung sana, tiba-tiba Aqil mendengar sebuah suara mendengung yang panjang. Tiiiiiiiiiiiiiiiiiid, beserta teriakan.

"Zenataaaaa!" #end


1 komentar: