Minggu, 08 Januari 2012

Pelangi Itu Kini Tak Seindah Dulu

"Kamu gak pa-pa, Niur?"
seseorang menepuk bahuku, menyadarkanku sepenuhnya dari lamunan panjangku. Aku menoleh cepat dan tersenyum pada sosok jangkung yang berdiri dibelakangku, menatapku khawatir dengan dua bola mata hitamnya, kemudian mengangguk meyakinkan.
"Mikirin apa? Daritadi aku lihat kayaknya kamu ngelamun terus." akhirnya ia mendaratkan tubuh disampingku, menyentuh bahuku ragu-ragu. Aku masih diam. Tatapan kosongku menerawang jauh ke depan, menatapi gerimis-gerimis yang jatuh ke bumi, mengundang bau tanah yang menyengat hidung. Dadaku berdegup sangat keras. Daritadi katanya? Bukannya sejak kejadian itu aku jadi banyak melamun? Bukannya sejak aku mengetahui bagaimana cerita sebenarnya, melamun sudah menjadi kegiatan rutinku? Apa dia tidak menyadarinya? Tidak melihatnya? Atau berpura-pura melupakannya?
"Dav," aku menggumam pelan. Tiba-tiba aku merasakan rindu menyengat hatiku. Rindu pada sosok yang biasa menenangkanku, yang biasa kurengkuh tubuhnya jika aku lelah, jika aku terluka.
"Ya.." Davi menyahut antusias, semakin mendekatkan matanya ke wajahku.
"Kenapa pelangi itu gak pernah ada lagi?"
"Pelangi?" Davi memandangku sambil menelan ludah, tapi aku tak peduli. Pelangi.. ya, dimana pelangi itu sebenarnya? Ketika aku telah menemukan sosok yang mampu memberikan warna bagai pelangi buat hari-hariku, kenapa secepat ini ia meninggalkanku? Tuhan, kenyataan seperti apa lagi yang Kau ujikan padaku? Sakit sekali rasanya.


"Tunggu sampai gerimis ini berhenti." Davi tersenyum ceria, mungkin berpura-pura tidak mengerti apa yang kumaksudkan. Padahal ia tahu betul, aku sangat menyukai pelangi, dia tahu ceritaku bersama kedua orangtuaku tentang pelangi dulu, saat aku masih kecil, dan pelangi terindahku saat aku bersamanya.
"Hmm.." aku tersenyum kecut. Kumainkan rerumputan basah yang tumbuh segar dihadapanku. Diam, aku tidak bertanya lagi. Kejadian tadi pagi menyentak sisi lain hatiku. Tepatnya saat Papa berkata bahwa ia ingin membawaku, tinggal bersamanya di Makassar. Aku tahu, mungkin itu satu-satunya cara terbaik agar aku dapat segera melupakannya. Dapat segera "mengganti" sosoknya yang dulu sebagai.......
"Niur, kamu.. ikut Papa?" airmataku menetes mendengar kalimat itu. Aku menghela napas panjang, menoleh ke arahnya. Menatap matanya dengan tatapan menantang meskipun wajahnya terlihat samar, terhalang oleh airmata yang terlanjur menggenang dikelopak mata. Davi menggigit bibir.
"Kamu setuju?" aku bertanya balik.
"Itu yang terbaik." aku memejamkan mata. Davi benar-benar telah berubah. Dan aku tahu, akupun harus berubah, karena semua yang dulu pernah terasa indah bagiku kini benar-benar tidak boleh terjadi. "Aku yakin disana kamu bakal nemu pelangi-pelangi lain yang lebih indah," terusnya.
"Tapi.."
Davi memelukku tiba-tiba. Erat sekali. Ia mencium puncak kepalaku, tapi rasanya hambar. Tidak seperti dulu lagi. Tidak seperti saat aku belum mengetahui bahwa ia.. adalah kakak tiriku. Deg! Mendengarnya saja aku merasa bagai ditikam sejuta pedang katana, tepat dijantungku. Ditambah kenyataan bahwa sekarang aku harus jauh darinya. Benar-benar jauh.
"Kita harus benar-benar berpisah, Niur. Kalau aku tetap melihatmu didekatku, aku takut aku tak bisa menahan perasaanku. Maaf, semalam aku yang bicara dengan Papa."
"Ja.. jadi.." aku tercekat, lalu melepas pelukan Davi dan memelototinya. "Kamu yang memintanya?"
"Kembali ke Makassar Niur, disana tempatmu. Tempat Papa juga. Papa akan mengurus restoran-nya. Ada Kak Jamil yang mengurus restoran Papa disini." penyesalan itu kini merobek perasaanku kian dalam. Seandainya saja dua bulan lalu aku tidak mempermasalahkan nama Papa-nya yang sama dengan Papa-ku. Andai saja aku tidak ngotot bertemu dengan Papa-nya, mungkin aku dan Davi tak akan berpisah, mungkin aku tidak mengetahui siapa istri pertama Papa, mungkin aku tidak akan tinggal bersamanya dua bulan terakhir ini. Mungkin aku tidak akan merasakan sakit yang luar biasa sakitnya, seperti hari ini. Mungkin.. dan mungkin lainnya.
"Lalu.. kuliahku?"
"Kamu kan masih semester awal, tahun depan masih bisa mengulang."
"Kenapa gak kamu aja yang pergi? Kenapa harus aku? Kenapa kamu seenaknya aja ngambil keputusan?"
"Karena memang tempatmu disana, Niur. Maaf aku harus lakukan ini. Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu... adikku! Kalau kita terus-terusan kayak gini, aku takut aku malah gak bisa lupain kamu sebagai orang yang pernah berarti buat aku." ADIK. Statusku sekarang hanya sebagai adiknya. Terdengar menyakitkan.
"Harusnya sejak awal kamu gak setuju aku tinggal disini kalau akhirnya kamu nyuruh aku pergi juga!"
"Niur, sejak aku tahu kalau kamu adikku, apa harus aku biarin kamu pergi, sendiri? Aku peduli sama kamu. Aku sayang sama kamu. Apa kamu pikir ini mudah buat aku? Dua bulan ini aku coba untuk bisa bersikap seolah-olah kita gak pernah berhubungan lebih. Kamu lihat, kan Papa juga berusaha untuk menganggap bahwa kita bener-bener adik kakak? Tapi dua bulan ini juga aku lihat, kamu... kamu selalu murung, sedih. Aku lebih sedih setiap lihat kamu ngelamun kayak gini. Aku pikir, memang ini jalan yang harus kita ambil, Niur."
"Kita? Kamu yang ambil keputusan sendiri!!!"
Diam beberapa menit lamanya. Davi tidak membalas kata-kataku lagi, sementara aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, memikirkan berbagai kemungkinan jika memang aku terus bersamanya, dan jika aku pergi. Oh God, seandainya dulu aku menuruti kata Mama untuk kuliah di Makassar, tidak menyusul Papa-ku ke Bandung, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Jika saja dua bulan lalu aku menolak ajakan Papa untuk tinggal bersama.. dengan istri pertama, dan Davi.. kakak kelasku, pacarku, dan.. kakak tiriku?
Setengah jam berlalu saat kami saling diam. Davi membiarkan aku berpikir. Baiklah, tak ada yang abadi didunia ini. Ada pertemuan, ada perpisahan. Mungkin inilah saatnya kami berpisah meskipun berat rasanya. Yakinku, menguatkan diri yang sebenarnya sangat rapuh. Aku berdiri setelah menghela napas panjang, ketika Papa muncul diambang pintu.
"Ada yang ingin Papa bicarakan, Niur." katanya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Nanti Niur nyusul." Papa melirik ke arah Davi. Sepertinya mereka sudah merencanakan ini. Setelah Papa menghilang dibalik pintu, aku kembali menatap Davi.
"Kak.." untuk yang pertama kalinya sejak aku mengenal Davi, aku memanggilnya Kakak. Davi tersenyum. Melebarkan tangannya untuk kembali memelukku.
"Adikku, aku.. sayang sekali sama kamu. Terimakasih untuk pelangi-pelangi indah selama ini. Carilah pelangi lain yang lebih berwarna disana, nanti. Aku percaya, kamu bisa lebih bahagia tanpa aku disana. Tapi jangan lupa kabari aku. Jika ada waktu luang, datanglah ke sini, atau aku yang akan menyusulmu ke sana nanti." Aku tersenyum dibalik tangisku yang tersendat. Berat melepaskannya, melepaskan sepuluh bulan kebersamaanku yang bermakna dengannya, tapi berat juga jika aku harus selalu bersamanya dengan status dan hubungan yang tidak seperti dulu. Davi benar. Inilah jalan terbaik untuk kami. Kupejamkan mata, memberanikan diri mencium pipinya untuk yang terakhir kali. Lalu beranjak pergi ke dalam, bicara dengan Papa dan mengepak pakaianku, kembali ke Makassar. Melupakan pelangi indah yang pernah tergores dihari-hariku. Mencoba melukis pelangi sendiri, walau aku tahu. Pelangiku disana tak seindah pelangiku disini.
"Niur.." Davi mencekal pergelangan tanganku. Aku menoleh.
"Lihat pelagi itu.." Davi menunjuk ke arah barat. Gerimis berhenti, tergatikan segaris besar pelangi yang tersenyum padaku, menyambutku untuk lepas dari Davi, mungkin. Tapi aku merasa lain. Pelangi itu kini tak seindah dulu. #end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar