Minggu, 25 Maret 2012

My Dearest Ex

         Dear Bagas,
Maaf kalau akhirnya aku harus mengirimkan surat ini untukmu. Aku benar-benar tidak bisa menghapus bayanganmu dari kepalaku. Aku benar-benar merindukanmu. Sangat merindukan dan membutuhkanmu!
Untuk sekedar mengingatkanmu tentang cerita 4 tahun kita yang tiba-tiba harus berakhir 6 bulan lalu. Masih ingatkah diary tebal yang kamu berikan padaku saat hari pertama kita jadian? Halaman terakhir diary itu aku isi enam bulan lalu, cerita tentang akhir perjalanan kita. Sesak rasanya saat aku harus meneteskan airmataku di atas sana, padahal selama ini aku selalu berusaha keras menjaganya agar tidak tersentuh. Oleh debu sekalipun.


Masih ingatkah kalung berliontin hati yang kamu pakaikan dileherku saat anniversary pertama kita? Enam bulan lalu, untuk pertama kalinya aku harus melepaskan itu. Tiba-tiba aku merasa leherku mengecil saat benda itu tak lagi bertengger di sana. Mungkin kamu tak akan lupa hal konyol apa yang terjadi di anniversary kita yang ke-dua. Kamu hampir lupa ulangtahun kita saking sibuknya mengurus tugas-tugas kuliahmu. Kalau saat itu aku tidak ngambek, mungkin kamu akan benar-benar lupa, dan tidak akan rela huja-hujanan datang ke rumahku malam-malam sambil membawakan sepotong kue tart. Benar-benar sepotong, sekerat, atau apapun istilahnya! Kamu juga bawakan aku mawar.. mawar layu karena terkena siraman hujan. Huhu. Tapi sejak malam itu, kamu jadi rajin kirimi aku mawar setiap bulan sebagai tanda penyesalanmu. Tapi tidak sejak enam bulan lalu. Keramik kecil tempat mawar yang biasa aku ciumi setiap pagi kini kosong melompong. Aku sama sekali tak ada selera untuk membelinya sendiri. Tahun ketiga, kamu bawa aku ke tempat yang katamu akan membuatku selalu mengingat kamu. Kafe dengan background perkebunan teh. Kamu mengajakku makan di sana. Saat itu gerimis dan kamu memelukku seraya memberikan aku cincin perak, lalu berkata, "Happy third anniversary, My Dearest Dzikra.." setahun terakhir, aku selalu rajin mengajakmu makan di sana. Tapi seminggu sebelum kita putus, tempat itu sudah tak ada. Bangkrut katanya. Lalu cincin perak berukirka namamu kamu sendiri yang melepas dan melempar benda itu ke dasar sungai, sungai di taman tempat kamu mengakhiri cerita kita. Tahun ke-empat, tahun terakhir kita bersama. Kamu menghadiahiku sebuah mug bergambarkan wajahmu dan wajahku. Tapi lima jam sebelum kita putus, tak sengaja aku menyenggolnya dan pecah. Pranggggg! Hancur berkeping-keping tanpa sisa. Apa kita memang buka jodoh? Kenapa kamu memutuskan aku sepihak tanpa sebab? Kenapa kamu meminta aku untuk membuang semua kenangan tentang kita? Apa salahku?
Hari ini dan enam bulan ke belakang, aku selalu merindukamu dan menyebutkan namamu dalam doaku. Aku membutuhkanmu, benar-benar membutuhkanmu. Aku masih berharap semua yang terjadi antara kita hanya mimpi buruk yang akan segera menghilang jika aku terbangun nanti. Tapi ternyata tidak. Karena sampai hari ini kamu menghilang sama sekali, tidak mengabari aku apalagi mendatangi rumahku. Apa kamu akan dengan rela melupakan hari-hari indah kita? Pertengkaran-pertengkaran kecil yang selalu berakhir dengan melingkarkan jari kelingking kita? Celotehan-celotehanku yang kadang membuatmu kesal, tapi jika sehari saja kamu tidak mendengarnya, kamu malah jadi kelabakan sendiri, seperti katamu? Kamu tidak ingat kita pernah menghabiskan waktu di rumah sakit selama seminggu? Kamu menemaniku tanpa keluh. Ingatkah kamu janji kita untuk tetap saling menjaga meski ada banyak hal yang mengganggu, termasuk gadis yang sering kamu ceritakan itu? Gadis yang kamu bilang akan dijodohkan denganmu? Sekarang, memudarkah janji itu?
Ada sejuta cerita jika aku harus menuliskannya di sini. Aku tak sanggup, karena aku takut aku akan benar-benar nekat mencarimu, sementara kamu meminta supaya aku tidak menghubungimu lagi. Kamu tahu bagaimana rasanya? Lebih dari sekedar disengat lebah! Tapi entah kenapa, tiba-tiba hari ini rindu itu sangat menyengat kalbuku. Ada apa denganmu? Baik-baik saja kah dirimu? Kuharap begitu. Karena aku takkan pernah lelah merindukanmu sampai kamu memberiku alasan tentang perpisahan kita...

Dzikra masih hendak menulis lagi ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Ibu masuk dan menatap Dzikra dengan tatapan iba. Tangannya menggenggam sebuah surat berwana cokelat ditangan kanannya..
"Dzik.." seru Ibu pelan. Dzikra menoleh setelah menghapus titik bening yang mengalir perlahan dipipinya. Ibu balas tersenyum, mengerti benar apa yang dirasakan Dzikra.
"Kenapa Bu?" suara Dzikra tersendat.
"Kamu gak pa-pa? Lagi apa?"
"Gak pa-pa, Bu. Ini lagi... nulis." jawab Dzikra tanpa bohong.
"Ada surat untuk kamu. Ibu taruh disini ya. Eh, kamu kan belum makan. Mau ibu masakin apa?"
"Hmm.. sayur bayam & perkedel jagung kayaknya enak, Bu.." sahut Dzikra. Ibu keluar kamar setelah berkata iya dan mengingatkan Dzikra tentang surat yang baru saja diterimanya.

***

"Ini alasannya. Maaf, kami (Aku dan Kinanti) terlalu sakit untuk memberitahumu langsung. Kamu sendiri tahu bagaimana keadaan Ibu. Kuharap kamu bisa datang."

Memo singkat yang terselip dibalik undangan pertunangan itu menyentak batin Dzikra seketika. Menusuk-nusuk ulu hatinya tanpa ampun! Kinanti adalah teman baiknya semasa SMA, yang merupakan teman semasa kecil Bagas. Dzikra mengenal Bagas dari Kinanti. Bagas memang pernah bercerita bahwa ibunya yang terserang penyakit stroke selalu keukeuh menjodohkan Bagas dengan gadis lain, tapi Dzikra tidak tahu bahwa gadis yang selama ini dibicarakan Bagas adalah... Kinanti, sahabatnya. Lalu kenapa Kinanti tidak pernah bercerita?
Ia mengalihkan pandangan ke arah selembar kertas yang sudah nyaris penuh oleh tulisan tangannya. Sekuat tenaga ia menahan agar airmatanya tidak jatuh. Tapi pada akhirnya, kristal bening itu luruh juga. Ah, benarkah kita memang bukan jodoh? Benarkah ini jawaban atas kerinduannya hari ini? Inikah jawabannya? Dzikra menelan ludah. Pahit. Ia kehilangan minat untuk benar-benar mengirimkan surat itu, kini. Yang tersisa hanya perasaan sesal yang mendalam. Serasa ada batu besar yang menghalangi paru-parunya untuk sekedar menghela napas. Tangan kanannya meraih surat yang hendak ia selesaikan. Kemudian ia meremas dan melemparnya ke luar jendela kamar. Biar hujan yang meluruhkan kertas itu hingga hancur, sehancur hatinya.

2 komentar:

  1. tulisan yang bagus :)

    salam kenal dan terimakasih sudah mampir ke blog "bias senja" ^^

    BalasHapus
  2. terimakasih..

    iyaa, salam kenal juga. terimakasih jg sudah mampir =)

    BalasHapus