Sabtu, 03 Maret 2012

Sosok Itu.

"Tha, lo kenapa sih? Kok kayaknya gue perhatiin ngelamun mulu dari tadi. Mikirin siapa?"

Talitha yang ke-gap asyik sendiri ngelamun di taman kampus bergidik kaget. Ia memalingkan wajah ke arah Eza, cowok yang menemaninya mengerjakan tugas pulang dari kelas tadi dan tersenyum polos.

"Masak sih? Emang gue ngelamun, gitu?"

"Iya. Kayak ada sesuatu yang ganggu, gitu. Kenapa?" Talitha tersenyum lagi. Kali ini senyum muram. Harus bercerita kah?

"Engng.." Talitha menggantung kalimat. Ia menelan ludah. Sosok yang baru saja lewat di hadapannya langsung membuyarkan seluruh konsentrasi Talitha. Pikirannya jadi bercabang. Ada sesuatu yang menyengat hatinya. Rindu. Talitha merindukan sosok itu. Sosok yang dulu pernah ia sia-siakan. Sosok yang dulu pernah ia anggap hanya sebagai angin lalu. Tadi ia lewat dengan ransel hitamnya. Sudah nyaris sepuluh hari terakhir ia tidak melihatnya di kampus, dan barusan sosok itu berjalan kalem ke arah perpustakaan. Perasaan itu menyerbu ulu hatinya seketika. Kangen sekangen-kangennya. Wajahnya masih sama seperti dulu, tapi ada sesuatu lain yang kini membuat Talitha ingin segera memeluk sosok itu



"Maaf, Di.. gue gak tega terus-terusan nyakitin lo. Gue gak mau kasih lo harapan palsu terus. Oke, gue ngaku gue salah. Harusnya sejak awal gue gak pernah nerima lo. Maaf, kita selesai sampai di sini.." Talitha berkata mantap. Seminggu penuh ia memikirkan ini matang-matang. Tiga bulan bersama Ardi, tidak sedikitpun Talitha menaruh hati pada cowok itu. Padahal yang Talitha lihat, Ardi bahkan lebih dari sekedar pacar buatnya. Perhatiannya, pengorbanannya, kesabarannya menghadapi sikap cuek dan judes Talitha. Ah, Ardi terlalu baik. Padahal Talitha sering membuatnya kecewa, padahal Talitha terlalu sering ingkar janji. Memperhatikan cowok itupun hanya tergantung dari mood-nya! Astaga..

"Aku tahu itu sejak awal Tha. Kalo itu memang yang terbaik buat kamu, kenapa nggak?" kata Ardi setelah Talitha selesai berucap. Ia agak menarik napas saat mengatakannya. "Tapi aku bakalan tetep nunggu kamu, kalo kamu niat balik sama aku." Talitha menggebrak meja.

"Cukup! Jangan terlalu bersikap baik sama gue. Itu yang bikin gue susah lepas dari lo. Gue gak tega ngomongnya!" lalu pergi. Talitha menghamburkan napas cepat sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Ardi di food court kampus yang saat itu sedang ramai.

"Tha.." Eza membuyarkan lagi lamunan Talitha. Setetes bening membasahi pipi gadis itu. Ia menatap Eza, tatapan bingung. Sebulan belakangan hanya nama Ardi yang berlari-lari di kepalanya. Perasaan kehilangan menjalar ke seluruh tubuhnya saat mengingat nama itu. Perhatian Ardi yang selalu bertanya 'lagi apa? lagi dimana? udah makan? udah shalat? udah ini, udah itu? Gimana tugasnya, udah selesai? Ada yang perlu aku bantu? kini tidak didapatnya lagi. Lalu ingatan Talitha berpindah saat suatu hari Ardi ingin datang mengunjunginya ke rumah. Talitha, dengan dalih yang macam-macam selalu berusaha mengelak. Dan dengan sabarnya Ardi tetap menerima alasan-alasan itu.

"Za, gue kangen Ardi Za. Kangen banget." ujar Talitha akhirnya. Eza menyimpan ballpoint-nya, lalu benar-benar memalingkan wajah ke arah Talitha. 

"Apa Tha? Gue gak salah denger?" Eza menyipitkan kedua matanya. Tiba-tiba perasaan jengah menyapa hatinya.

"So.. sorry Za. Tapi gue gak bisa boongin perasaan gue. Sejak gue mutusin dia bulan lalu, yang ada dikepala gue cuma Ardi." Talitha menundukkan kepala. Matanya terpejam, tidak berani membalas tatapan Eza.

"Tapi lo gak sayang sama dia, Talitha. Lo sendiri yang bilang, lo lebih nyaman deket sama gue dibanding Ardi. Mungkin karena dia biasa merhatiin lo, lo jadi ketergantungan sama dia. Lama-lama juga lupa. Percaya sama gue" Talitha menarik napas panjang. Seminggu pertama, Talitha memang merasa tenang sudah melepaskan sesuatu yang dulu membebani hatinya. Tapi makin lama, apa yang dilakukan Eza padanya tidak seperti apa yang dilakukan Ardi.

"Maaf Za.." perasaan sesal merasuki kepalanya. Tidak seharusnya ia menyia-nyiakan seseorang yang bahkan tidak pernah mengharapkan lebih darinya kecuali 'rasa'. Tidak seharusnya ia meninggalkan Ardi hanya untuk Eza, cowok yang bahkan tidak mengenalnya sama sekali meskipun mereka sudah lama dekat. Ardi... cowok itu tahu semua hal tentangnya, sedetail-detailnya. Sampai makanan kesukaan Talitha-pun ia tahu. Sementara Eza?

Talitha bangun, setengah berlari ke arah perpustakaan, tapi Eza mencekal pergelangan Talitha dengan kasar.

"Maksudnya apa sih Tha? Lo mau mainin gue, hah?" bentak Eza. Sesuatu yang lain menyambar batinnya. Ardi tidak pernah bicara sekeras ini padanya. Ia tidak akan bicara kasar meskipun tahu Talitha tidak menyimpan perasaan padanya. Tapi Eza memang benar. Ia mempermainkan Eza sekarang.

"Mumpung belum terlalu jauh, Za. Maaf. Lo boleh benci gue, tapi... tapi hati gue gak bisa bohong!"

"Ada apa sih dengan lo hari ini? Tadi pagi lo masih baik-baik aja, kan? Kenapa tiba-tiba bawa-bawa nama Ardi?"

"Eza, maaf.."

@@@

Kepala Talitha serasa ditimpa beban berat saat dalam perjalanan pulang setelah meninggalkan Eza ditaman tadi ia bertemu dengan Ardi. Yup. Sosok itu. Yang ia lamunkan tadi, yang ia pikirkan sebulan ini. Dadanya berdegup keras. Perasaan yang semula tidak pernah ia rasakan selama bersama cowok itu. Kini langkahnya seolah terpaku, tak bisa melangkah sedikitpun. Hanya mampu menatap dada bidang milik Ardi, napas Talitha seakan terhenti. Sesak. Ingin rasanya ia menenggelamkan wajah disana. Didada bidang cowok itu. Tapi perasaan bersalah akan semakin menggunung jika ia melakukannya. Setelah tiga bulan mengabaikan Ardi, sekarang tiba-tiba ia datang dan meminta untuk kembali?
Talitha muak dengan hatinya. Setelah ia mempermainkan Ardi, sekarang ia harus meninggalkan Eza pula. Cowok yang semula ia rasa cocok dengan hatinya. Cowok yang sudah mengganggu pikirannya selama ia bersama Ardi. Tapi setelah ia menjalaninya sebentar dengan Eza, cowok itu ternyata memang gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sikap Ardi selama ini, kecuali tampangnya yang agak-agak mirip Baim Wong.

"Talitha.." Ardi menyapa. Suaranya pelan, terdengar seperti berbisik. Talitha terlalu malu untuk mengatakan bahwa ia rindu. Masih tetap menunduk dengan airmata yang tertahan dipelupuk, Talitha berjalan menghindari, tapi lagi-lagi langkahnya tertahan saat sebuah sentuhan halus mendarat di bahu-nya. Perasaan Talitha bergetar.

"Ar.. Ardi. Maafin gue. Gue nyesel udah nyia-nyiain lo." Talitha terbata, tapi masih tetap berat untuk mengaku bahwa ia merindukannya.

"Maaf kenapa? Sia-siain yang mana?" Ardi balik bertanya. Ah, disaat seperti ini saja dia masih mampu berkata seolah tidak terjadi apa-apa.

"Gue kangen lo, Ardi!" akhirnya Talitha tak kuasa menahan perasaan. Dia mendorong badannya, memeluk Ardi tanpa sadar saat ini ia tengah berada di koridor yang ramai. Ardi tidak berucap apa-apa. kebingungan dengan sikap Talitha yang mendadak ini. Ia melepas pelukan Talitha, menatap gadis itu.

"Maaf, tapi gue gak akan minta..."

"Tawaran itu masih berlaku, Talitha.." Masih hening beberapa menit kemudian, saat tiba-tiba dari arah belakang. Senyum keduanya hampir mengembang ketika.

"Talitha.." Eza ada disana. Wajah Talitha bersemu merah. Apa yang harus ia lakukan?

"Emang bener. Lo seharusnya gak nyia-nyiain orang yang selalu ada buat lo, cuma demi gue. Gue yang gak ada apa-apanya.." Eza berkata pelan. Talitha menggigit bibir. Tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah Eza yang lagsung pergi begitu mengucapkan kalimatnya yang terakhir. talitha menatap Ardi.

"Gue gak bakal nyia-nyiain lo lagi, Di.." seandainya hari ini gue gak liat lo lewat didepan gue, mungkin gue masih harus terus menyesali diri sendiri pernah gak nganggap lo ada, terusnya dalam hati.

#end
Sabtu Mendung, 03 Maret 2012, 17 : 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar